Aturan JHT Cair di Umur 56 Tahun Tak Bisa Diterapkan untuk Pekerja Kontrak

Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 yang mengatur pengambilan Jaminan Hari Tua (JHT) hanya bisa dilakukan di usia 56 tahun tidak tepat dan cenderung merugikan buruh.

oleh Arief Rahman Hakim diperbarui 14 Feb 2022, 14:15 WIB
Diterbitkan 14 Feb 2022, 14:15 WIB
FOTO: Semester I 2020, Klaim Jaminan Kecelakaan Kerja Meningkat 128 persen
Aktivitas pekerja ketinggian di salah satu bagian gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (18/11/2020). Berdasarkan data BP Jamsostek, angka klaim kecelakaan kerja semester I 2020 meningkat 128% dari periode yang sama 2019, dari 85.109 kasus menjadi 108.573. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Anggota Komisi X DPR RI Obon Tabroni memandang aturan baru pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) sulit dilaksanakan. Apalagi saat maraknya sistem kerja kontrak dan outsourcing yang tak menjamin pekerja bisa mencapai umur 56 tahun di pekerjaannya.

Ia menilai Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 yang mengatur pengambilan Jaminan Hari Tua (JHT) hanya bisa dilakukan di usia 56 tahun atau ketika buruh meninggal dunia tidak tepat dan cenderung merugikan buruh.

Dalam beleid sebelumnya, JHT bisa diambil satu bulan setelah buruh tidak lagi bekerja. Sedangkan dengan aturan yang baru, buruh baru bisa mengambil JHT nya setelah berusia 56 tahun.

"Saat ini sistem hubungan kerja cenderung fleksibel. Mudah rekrut dan mudah pecat, dengan sistem kerja kontrak dan outsourcing. Sehingga sangat sulit bagi buruh bisa bekerja hingga usia 56 tahun," kata Obon dalam keterangannya, Senin (14/2/2022).

Buruh kontrak dan outsourcing, lanjutnya, ketika sudah memasuki usia 25 tahun sudah sulit untuk mencari pekerjaan baru. Padahal buruh kontrak tidak mendapatkan pesangon. Dengan uang JHT itu, ia memandang buruh bisa memiliki sedikit modal untuk melanjutkan kehidupan setelah tidak lagi bekerja.

"Masak iya buruh harus menunggu selama 30 tahun untuk mengambil JHT-nya," tegas Obon.

Lebih lanjut, Obon menyampaikan, dengan adanya UU Cipta Kerja, pengusaha semakin mudah melakukan PHK terhadap buruh. Apalagi di masa pandemi dan situasi ekonomi yang tak kunjung membaik.

Sementara itu, di sisi lain, pesangon buruh juga ikut dikurangi dengan kondisi ekonomi nasional yang belum membaik.

"Masih belum puas juga membuat buruh susah. Sudahlah PHK dipermudah, pesangon dikurangi, sekarang pengambilan JHT pun dipersulit," kata Obon Tabroni.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Batalkan Permenaker 2/2022

FOTO: Semester I 2020, Klaim Jaminan Kecelakaan Kerja Meningkat 128 persen
Aktivitas pekerja ketinggian di salah satu bagian gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (18/11/2020). Berdasarkan data BP Jamsostek, angka klaim kecelakaan kerja semester I 2020 meningkat 128% dari periode yang sama 2019, dari 85.109 kasus menjadi 108.573. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Pria yang menjabat Deputy President Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) ini meminta kepada Menteri Ketenagakerjaan untuk membatalkan Permenaker No 2 Tahun 2022.

Apalagi selama ini, tidak ada permasalahan apa pun terkait peraturan yang lama berkenaan dengan pengambilan JHT yang bisa dilakukan satu bulan setelah buruh tidak lagi bekerja.

"Tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba aturannya diubah. Ini justru menimbulkan pertanyaan bagi publik. Ada apa dengan Menaker dan BPJS Ketenagakerjaan?" pungkas Obon.

 

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya