JHT Baru Cair di Usia 56 Tahun, BPJamsostek Sedang Krisis Keuangan?

Batas waktu pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) dari BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) tengah jadi sorotan lantara baru bisa dicairkan saat usia 56 tahun.

oleh Arief Rahman H diperbarui 14 Feb 2022, 13:30 WIB
Diterbitkan 14 Feb 2022, 13:30 WIB
BPJAMSOSTEK
Tingginya jumlah PHK turut berpengaruh pada peningkatan jumlah klaim Jaminan Hari Tua (JHT) yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan (BPJAMSOSTEK).

Liputan6.com, Jakarta Batas waktu pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) dari BPJS Ketenagakerjaan (BPJamsostek) tengah jadi sorotan. Muncul dugaan pembatasan pencairan hingga usia 56 tahun ini karena keadaan keuangan BPJamsostek sedang tidak dalam kondisi baik.

Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita menaksir, bisa jadi adanya pembatasan ini ada masalah di BPJamsostek seperti BPJS Kesehatan. Ia pun menilai, dengan pembayaran seperti aturan sebelumnya tak membebani BPJamsostek.

“Mengulur waktu pencairan dana hari tua sampai umur 56 tahun bagi yang telah di-PHK jauh hari sebelum umur 56, menimbulkan pertanyaan sederhana bahwa jangan-jangan BPJS-TK juga mulai bermasalah dengan likuiditas layaknya BPJS Kesehatan,” katanya kepada Liputan6.com, Senin (14/2/2022).

Dengan begitu, ia meminta Kementerian Ketenagakerjaan untuk memberikan penjelasan yang mendetail terkait aturan ini. Utamanya, kata Ronny, terkait kesiapan dan ketidaksiapan BP Jamsostek dalam mencairkan dana hari tua bagi pekerja yang di-PHK sebelum berusia 56 tahun.

Sementara, ia menilai pencairan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP)  sebagai gantinya bukanlah solusi karena jumlahnya yang dinilai kurang.

Misalnya, ia memandang enam bulan JKP pasca PHK sangat jauh di bawah gaji normal karyawan, yakni 45 persen dari gaji untuk 3 bulan pertama dan 25 persen untuk 3 bulan sisanya. 

“Jadi JKP sebenarnya bukanlah solusi, hanya semacam bantuan sederhana, menjelang korban PHK masuk dalam kategori tak berpenghasilan sama sekali,” katanya tegas.

Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), dari sekitar 15 juta orang yang kehilangan pekerjaan pada 2020, sebesar 13,13 persen adalah korban PHK. Lalu 14,35 persen habis kontrak dan sisanya berhenti bekerja karena berbagai alasan.

“Jadi dari total pekerja yang kehilangan pekerjaan,  hanya sebagian kecil yang bersatus karyawan tetap dan menerima JPK setelah di-PHK. Dengan jumlah itu,  semestinya BPJS tidak terbebani dengan pencairan dana hari tua atau dana pensiun setelah karyawan di-PHK,” kata dia.

 

Kurangi Kesempatan Kerja

Klaim JHT BPJAMSOSTEK
Lapak Asik merupakan Layanan Tanpa Kontak Fisik yang diaktifkan sebagai pedoman protokol layanan klaim JHT di kala kondisi pandemi Covid-19.

Kemudian, Ronny mengatakan, hal lain yang perlu jadi catatan yakni kondisi ekonomi selama Covid-19. Ia melihat, banyaknya orang yang kehilangan pekerjaan akibat Covid-19 mengurangi kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan pekerjaan kembali.

Dalam kondisi perekonomian tanah air yang belum sepenuhnya pulih, berarti juga belum banyaknya lapangan kerja yang tersedia. Lagi-lagi, ini jadi bagian sulitnya orang-orang yang diputus kerjanya untuk kembali mendapatkan kerja.

“Justru lapangan pekerjaan menyempit dan tidak tumbuh layaknya waktu normal. Jadi menunggu sampai umur 56 sama artinya dengan menutup peluang korban PHK untuk beralih menjadi wiraswasta,  karena otomatis dana JPK yang segelintir bukanlah nominal yang masuk akal untuk memulai usaha, sementara dana hari tua ditahan sampai umur 56 tahun,” tuturnya.

Tidak Manusiawi

Lebih lanjut, ia mengatakan, seharusnya pemerintah mendorong berkembangnya wirausaha, sehingga membuka kembali peluang pekerjaan bagi orang-orang yang kehilangan pekerjaan. Namun, adanya aturan baru ini, dipandang menghambat laju munculnya wirausahawan baru.

“Namun dengan aturan baru tersebut, pemerintah menzalimi para korban PHK yang di satu sisi sulit mendapatkan pekerjaan lagi tapi disisi lain juga dihalangi untuk menjadi wirausaha karena modalnya tertahan.  Dengan logika ini,  jelas bahwa Keputusan Kementerian Tenaga Kerja sangat tidak manusiawi dan aneh,” paparnya.

Ia mengatakan, Sebagai solusinya, Ronny memandang akan lebih baik jika dana JHT bisa dicairkan segera setelah pekerja tak lagi terdaftar sebagai penerima kerja dari perusahaan. Ini bisa dikatakan merujuk pada aturan yang sebelumnya berlaku, yakni Permenaker Nomor 19 tahun 2015.

Selain pencairan dana, ia memandang, perlu juga dibarengi dengan program tambahan dari Kemenaker seperti pelatihan wirausaha bagi korban PHK. Terutama tentang strategi pemanfaatan dana hari tua.

“terutama terkait dengan trik dan strategi menjadikan dana hari tua sebagai modal untuk menjadi wirausaha sukses. Bukan malah menunda dana hari tuanya dicairkan. Justru menjadi kebijakan aneh dan kontraproduktif,” tukasnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya