DPR: Aturan Baru JHT Sesuai UU Sistem Jaminan Sosial Nasional

Aturan pencairan JHT hanya bisa dilakukan saat umur 56 tahun sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

oleh Arief Rahman H diperbarui 14 Feb 2022, 20:30 WIB
Diterbitkan 14 Feb 2022, 20:30 WIB
Jaminan Tenaga Kerja
Pekerja membersihkan kaca gedung bertingkat di Jakarta, Kamis (2/4/2020). Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 Tahun 2019 yang resmi berlaku pada 2 Desember 2019 diharapkan dapat meningkatkan jumlah perusahaan dan pekerja peserta skema BP Jamsostek. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Anggota Komisi IX Rahmad Handoyo menilai bahwa pemerintah harus melakukan dialog untuk menyelesaikan penolakan aturan baru mengenai Jaminan Hari Tua (JHT). Tujuannya untuk mendapatkan solusi dari polemik yang terjadi.

Ia menekankan dengan demikian, semua pihak yang terlibat bisa memandang secara positif terlebih dahulu. Kembali, tujuannya untuk mendapatkan solusi yang paling tepat dari adanya pro-kontra kebijakan baru soal Jaminan Hari Tua ini.

“Kita dorong pemerintah untuk berdialog diskusi dengan stakeholder yang lain para pekerja mulai dari serikat, perwakilan serikat, federasi termasuk perwakilan konfederasi. Nah ini saya kira penting sebagai upaya untuk mencari jalan tengah, yang penting kita harus berpikiran positif dulu, jangan tidak pokoknya tidak, yang penting jalan tengah,” katanya kepada Liputan6.com, Senin (14/2/2022).

Ia meyakini, sebelum keluarnya aturan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 ini, pemerintah telah melakukan pembahasan dengan sejumlah pihak terkait. Termasuk juga membahas dengan pihak pekerja sebagai pemilik hak atas dana JHT tersebut.

“Meskipun pada akhirnya permen ini memunculkan pro dan kontra, yang peting saat ini bagaimana kita menyikapi dengan arif menyikapi dengan bijak dan dengan dingin suasana batin seperti ini,” katanya.

Ia menyebutkan, dari sisi aturan yang mendasari, pemerintah telah mengacu pada peraturan yang sesuai. Dalam hal ini bisa dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Jadi Pelik

FOTO: Semester I 2020, Klaim Jaminan Kecelakaan Kerja Meningkat 128 persen
Aktivitas pekerja ketinggian di salah satu bagian gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (18/11/2020). Berdasarkan data BP Jamsostek, angka klaim kecelakaan kerja semester I 2020 meningkat 128% dari periode yang sama 2019, dari 85.109 kasus menjadi 108.573. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Lebih lanjut, ia memandang persoalan ini menajdi lebih pelik bagi pekerja yang mendapatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), atau mengundurkan diri yang tak bisa mencairkan JHT ini. Adanya aturan ini sedikit menutup peluang bagi pekerja yang terkena PHK dan berhenti bekerja untuk mencairkan JHT.

“Menjadi semakin pelik ketika yang mengundurkan diri atau PHK ini menjadikan JHT menjadi satu-satunya sandaran disaat tidak ada tabungan disaat tidak ada sumber pemasukan yang lain,ini yang perlu kita pahami,” katanya.

“Tentu kenapa saya sampaikan begitu, ini adalah dana pekerja, ini adalah hak pekerja, ini adalah tabungan pekerja yang dibayarkan tiap bulan sehingga ketika tidak ada tabungan dan PHK mereka berharap benar-benar dikeluarkan JHT,” imbuhnya.

Bukan tanpa dasar, ia menyebut, dalam tiga tahun terakhir hampir Rp 90 tiliun atau hampir mencapai Rp 100 triliun klaim terhadap dana termasuk dana JHT telah dikeluarkan oleh BPJS Ketenagakerjaan.

Ini pula yang jadi landasan menurutnya, pemerintah perlu melakukan dialog dengan berbagai stakeholder terkait. Guna mendapatkan solusi yang tepat bagi pekerja.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya