Liputan6.com, Jakarta Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Tauhid menilai keputusan pemerintah untuk memberlakukan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen pada 1 April mendatang akan semakin menambah beban bagi konsumen.
Menurut Ahmad, kenaikan tarif PPN akan memicu inflasi semakin tinggi. Ia lalu menunjuk sejumlah harga pangan yang terus merangkak naik saat ini. Harga minyak goreng, kedelai yang tinggi naik dan beras yang sudah mulai naik harga, akan menjadi pendorong inflasi.
Baca Juga
"Kenaikan inflasi pangan ini akan menurunkan daya beli masyarakat. Sektor makanan dan minuman (mamin) yang terdampak kenaikan tarif PPN akan sangat dirasakan konsumen. Menurut saya menaikkan tarif PPN di tengah kondisi seperti saat ini kurang pas," ujar Ahmad dalam keterangan di Jakarta, Senin.
Advertisement
Ia menyampaikan, bagi sektor usaha, kenaikan tarif PPN akan menambah beban perusahaan. Angka pertambahan tarif PPN memang terkesan kecil, hanya satu persen, namun jika diakumulasikan, nominalnya akan sangat besar, tergantung transaksi perusahaan. Ia menunjuk sejumlah sektor seperti besi dan baja yang akan terkena dampak karena tarif PPN.
"Kenaikan tarif PPN akan berakibat pada harga jual produk. Implikasinya peningkatan penjualan perusahaan juga tidak akan terjadi dengan cepat. Beban tarif PPN ini pada akhirnya konsumen yang harus membayarnya," kata Ahmad.
Ahmad mengatakan, sektor usaha properti dan otomotif masih akan menikmati insentif PPN hingga akhir tahun ini. Adanya insentif tersebut membuat kenaikan tarif PPN tidak serta merta menaikkan harga jual produknya.
Hanya saja, jika insentif berakhir, pelaku usaha otomotif dan properti pasti akan melakukan penyesuaian harga akibat perubahan tarif PPN tersebut.
Ia juga melihat adanya perpanjangan insentif ke sektor otomotif dan properti pada 2022 lantaran kedua sektor tersebut mampu mengoptimalkan insentif dan berdampak ke pertumbuhan ekonomi nasional.
"Kebijakan insentif harus memacu sektor usaha untuk memberikan nilai tambah yang lebih besar kepada ekonomi nasional. Seperti sektor properti dan otomotif yang berhasil menaikkan penjualan dan berpengaruh ke sektor usaha lainnya," ujar Ahmad.
Selain itu sesuai Undang-Undang (UU) HPP terdapat beberapa obyek pajak baru yang akan terkena kebijakan kenaikan PPN, di antaranya barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan orang banyak dan barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Kenaikan Tarif PPN 1 April
Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu optimis kenaikan tarif PPN 1 April nanti akan berdampak terbatas terhadap inflasi.
"Dampak kenaikan tarif PPN akan cukup terbatas karena kenaikannya juga terbatas dari 10 persen menjadi 11 persen. Itu pun mulai 1 April. Jadi dalam konteks setahun dampaknya hanya berlaku selama tiga kuartal," ujar Febrio dalam sebuah sebuah diskusi virtual beberapa waktu lalu.
Kebijakan kenaikan tarif PPN merupakan upaya pemerintah untuk menaikkan rasio penerimaan pajak terhadap PDB atau tax ratio pada 2022. Febrio memperkirakan rasio pajak pada tahun ini bisa mencapai hingga 9,5 persen terhadap PDB. Melalui ekstensifikasi pajak tersebut, pemerintah menargetkan tax ratio pada akhir 2024 mencapai 10 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Selain kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen mulai April 2022, UU HPP juga mengatur penambahan tax bracket PPh 35 persen bagi wajib pajak berpendapatan di atas Rp5 miliar setiap tahun. Selain itu juga terdapat program pengungkapan sukarela (PPS) hingga Juni 2022 (tax amnesty) dan penerapan pajak karbon.
Advertisement