Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati melakukan pertemuan bilateral dengan Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Jane Yellen. Keduanya menyepakati akan mengatasi krisis pangan dan energi di dunia.
Hal ini menyusul, adanya isu mengenai krisis pangan dan energi yang jadi tantangan di semua negara secara global. Ini juga jadi isu penting yang dibahas keduanya saat bertemu di sela-sela pertemuan ketiga Menteri Keuangan dan Bank Sentral Dunia (FMCBG) di Bali.
Baca Juga
Pertemuan ini merupakan pertemuan fisik pertama antara kedua menteri setelah Spring Meetings IMF-World Bank 22 April lalu.
Advertisement
Sri Mulyani dan Janet Yellen mengawali pertemuan dengan membahas isu-isu energi dan lingkungan, serta kebijakan negara masing-masing terkait isu tersebut. Sri Mulyani menekankan pentingnya langkah konkret dan teknis, tidak sebatas pada ranah konseptual.
Tujuannya, untuk mendukung implementasi peralihan penggunaan pembangkit listrik ke sumber energi yang ramah lingkungan, di mana memerlukan pembiayaan yang besar. Salah satunya adalah melalui kebijakan Energy Transition Mechanism (ETM) yang telah diinisiasi dan dicanangkan oleh Indonesia bersama Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB)
Sri Mulyani dan Janet Yellen sepakat untuk menggarisbawahi bahwa konsekuensi isu geopolitik yang belum mengalami de-eskalasi menjadi penyebab krisis pangan dan energi yang sedang terjadi.
“Penanganan krisis pangan dan energi di dunia harus diakselerasi karena sejatinya siapapun berhak untuk mengakses makanan dan energi secara terjangkau,” kata Sri Mulyani, mengutip keterangan resmi, Minggu (17/7/2022).
Hal ini mengingat berbagai dampak yang ditimbulkan oleh konflik di Ukraina menjadi salah satu pemicu terus melambungnya harga energi dunia, dan menyebabkan munculnya tantangan pada perekonomian global.
Untuk mengatasi hal tersebut, berbagai opsi kebijakan perlu didiskusikan agar pasokan minyak dunia tetap terjaga dan harga minyak dunia dapat kembali kepada level sebelum konflik.
Menkeu Sri Mulyani juga menegaskan bahwa hasil dari Pertemuan Ketiga FMCBG akan dikomunikasikan dengan baik kepada masyarakat dunia. Hal tersebut selaras dengan semangat Presidensi G20 Indonesia untuk terus bekerja keras dan berkontribusi dalam menangani berbagai permasalahan utama di dunia.
Hal tersebut juga menjadi bukti nyata atas signifikansi dan relevansi peran Presidensi G20 Indonesia untuk mencapai pemulihan ekonomi global secara bersama, selaras dengan arah tema Presidensi G20 Indonesia, “Recover Together, Recover Stronger”.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Harga Pangan Terus Naik
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan lonjakan harga pangan sampai akhir tahun diperkirakan masih berlanjut jelang tahun 2022. Per Maret tahun ini kenaikan harga pangan telah mencapai 13 persen, maka sampai akhir tahun kenaikan ini bisa mencapai 20 persen.
"Kemungkinan akan naik lebih jauh, berpotensi hingga 20 persen menjelang akhir tahun 2022," kata Sri Mulyani dalam Seminar Internasional: Global Collaboration for Tackling Food Insecurity, Nusa Dua, Bali, Jumat (15/7).
Ancaman krisis pangan ini tidak terlepas dari dampak pandemi Covid-19 yang terjadi pada tahun 2020. Termasuk perang di Ukraina yang mengakibatkan pembatasan ekspor.
"Pandemi COVID-19 yang belum terselesaikan, serta perang yang sedang berlangsung di Ukraina kemungkinan akan memperburuk kerawanan pangan akut 2022 yang sudah parah yang sudah kita lihat," katanya.
Selain itu, ketidaksesuaian permintaan pasokan dan gangguan pasokan yang mendorong harga pangan naik ke level tertingginya. Dia pun memperkirakan tantangan terhadap ekonomi global kemungkinan akan terus berlanjut.
"Situasi kita di sini pada tahun 2022 diproyeksikan akan semakin memburuk dan ini bukan kabar baik bagi kita semua," kata dia.
Advertisement
Krisis Pupuk
Selain itu, krisis pupuk yang membayangi juga berpotensi memperparah krisis pangan. Tak hanya tahun ini bahkan hingga tahun 2023 dan seterusnya.
Sehingga dia menilai ancaman krisis pangan ini harus segera diatasi. Pengerahan semua mekanisme pembiayaan yang tersedia perlu segera dilakukan untuk menyelamatkan nyawa dan memperkuat stabilitas keuangan, termasuk sebagai respons dari sisi sosial.
"Hal ini sangat mendesak bagi banyak negara berpenghasilan rendah dan negara berkembang," kata dia.
Dia mengakui, pembahasan tentang ketahanan pangan dan krisis pangan bukanlah hal baru. Namun dalam kondisi ini, Indonesia menilai masalah krisis pangan masih sangat penting untuk dibahas dalam Presidensi G20.