Menko Luhut Sebut Ancaman Nuklir Semakin Nyata

Saat ini Rusia justru memainkan retorika perang nuklir. Tentu saja, ancaman nuklir ini juga akan berdampak ke Indonesia.

oleh Liputan6.com diperbarui 12 Okt 2022, 15:30 WIB
Diterbitkan 12 Okt 2022, 15:30 WIB
Presiden Rusia Vladimir Putin Peringatkan Tak Ragu Pakai Senjata Nuklir Lawan Ukraina
Presiden Rusia Vladimir Putin memegang teropong saat menonton latihan militer Center-2019 di lapangan tembak Donguz dekat Orenburg, Rusia, 20 September 2019. Presiden Rusia Vladimir Putin memperingatkan bahwa dia tidak akan ragu menggunakan senjata nuklir untuk menangkal upaya Ukraina merebut kembali kendali atas wilayah yang didudukinya yang akan diserap Moskow. (Alexei Nikolsky, Sputnik, Kremlin Pool Photo via AP, File)

Liputan6.com, Jakarta - Bukan mereda, perang antara Rusia dengan Ukraina semakin memanas. Bahkan saat ini Rusia justru memainkan retorika perang nuklir. Tentu saja, ancaman nuklir ini juga akan berdampak ke Indonesia. 

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan melihat ancaman perang nuklir antara Rusia dan Ukraina ini akan semakin meningkatkan ketidakpastian ekonomi global.

“Kemungkinan ancaman nuklir semakin nyata, meningkatkan ketidakpastian di ekonomi global,” katanya dalam paparan di Investor Daily Summit 2022 dikutip dari Antara, Rabu (12/10/2022).

Perang Rusia-Ukraina tidak juga menunjukkan tanda-tanda akan mereda dan bisa jadi akan berlangsung lebih lama. Ia juga mengaku sudah berbicara dengan sejumlah pihak dari AS dan Eropa yang memprediksi hal yang sama.

Hal itu lantaran kondisi terakhir di mana masih terjadi serangan saling membalas antara kedua pihak.

“Kalau hari ini kita lihat bagaimana Rusia bombardir tembak kota Kiev lagi di Ukraina, itu akan menambah keadaan tidak bagus. Dan kalau kita lihat jembatan merah, ini sekarang dibombardir jembatannya, Rusia membalas. Jadi sampai kapan ini terjadi kita tidak tahu. Artinya kalau kita tidak tahu maka minyak dari Rusia, pangan dari Rusia dan Ukraina, itu tidak akan bisa mereka ekspor ke tempat lain,” katanya.

Luhut pun meminta kondisi di luar negeri itu perlu jadi perhatian semua meski masih kondisi di dalam negeri masih relatif baik.

“Di luar itu bisa terjadi macam-macam. Saya lihat kemarin ada concern baru mengenai kapal selam dari Rusia, sekarang tiba-tiba muncul di Arktik,” katanya.

Hal tersebut, menurut Luhut, akan semakin mendorong ketidakpastian begitu pula dengan risiko geopolitik.

“Itu masalah yang perlu kita hadapi untuk kita buat perencanaan di negeri kita ke depan,” katanya.

 

Perfect Storm

BI Prediksi Ekonomi RI Tumbuh 5,4 Persen di 2019
Pemandangan gedung bertingkat di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Kamis (14/3). Bank Indonesia (BI) meyakini pada tahun ini inflasi masih akan terkendali. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Lebih lanjut, Luhut mengatakan Indonesia akan menghadapi the perfect storm di mana ketidakpastian ekonomi dunia sangat tinggi. Oleh karena itu, ia meminta semua pihak untuk hati-hati dan waspada.

Pemerintah sendiri, lanjut Luhut, sepakat untuk melakukan stress test di berbagai bidang jika badai tersebut terjadi. Stress test dilakukan untuk mengidentifikasi risiko yang dapat menjadi titik lemah ekonomi Indonesia sekaligus langkah untuk mengatasinya. Sebagai tentara, upaya kontigensi merupakan hal yang dilakukan dalam menghadapi ancaman.

“Kita akan menghadapi perfect storm ini, jadi tolong kita semua hati-hati. Ketidakpastian ekonomi dunia menurut saya sangat tinggi maka Indonesia harus menyiapkan skenario terburuk,” katanya.

Potensi Krisis Global Semakin Besar dengan Adanya Ancaman Perang Nuklir

Jokowi Buka Pertemuan P20
Presiden Joko Widodo bersama Ketua DPR RI Puan Maharani, dan Presiden Inter-Parliamentary Union (IPU) Duarte Pacheco saat pembukaan the 8th G20 Parliamentary Speakers' Summit (P20) di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, (6/10/2022). P20 merupakan forum yang delegasinya terdiri atas parlemen dari seluruh negara G20 dan diselenggarakan dalam satu rangkaian KTT G20, dalam forum tersebut DPR RI yang menjadi tuan rumah mengusung tema ‘Stronger Parliament for Sustainable Recovery'. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, G20 punya kekuatan besar untuk bisa mengatasi krisis global. Hal ini pernah terjadi juga pada krisis yang terjadi pada 2008. Namun memang, potensi krisis global kali ini lebih besar dengan adanya ancaman perang nuklir beberapa negara.

"Kita hadapi tantangan yang lebih besar lagi, karena ini ada ancaman perang nuklir," kata Presiden Persatuan Antar-Parlemen atau President of Inter-Parliamentary Union (IPU), Duarte Pacheco dalam pembukaan The 8th G20 Parliamentary Speaker's Summit (P20) di Gedung DPR-MPR, Jakarta, Kamis (6/10/2022).

Duarte mengatakan, sebagai perkumpulan Parlemen Negara G20 harus bisa bertindak dan bertanggungjawab atas nama rakyat. Sebab menurutnya tidak akan ada pembangunan tanpa adanya perdamaian, begitu juga sebaliknya.

"Tidak ada kan ada perdamaian tanpa pembangunan dan tak ada pembangunan tanpa perdamaian," kata dia.

Pembangunan berkelanjutan juga harus menjunjung tinggi penghormatan terhadap kebebasan fundamental. Agar kebijakan tetap fokus untuk masyarakat, maka perlu bagi negara anggota G20 untuk memperbaharui komitmen bersama. Mulai dari isu kesetaraan gender hingga keterlibatan investasi untuk mengembangkan dimensi tata kelola global.

"Kami sudah bangun parlemen yang kuat dan akuntabilitas kerjasama dengan anggota kami dan ," kata dia.

Berbagai hal tersebut perlu dilakukan dengan komitmen dan tanggung jawab dalam rangka menghadapi tantangan global sekarang. Salah satunya dengan menjalankan fungsi anggaran dan pengawasan dalam rangka pelaksanaan G20. Sehingga bisa memenuhi tujuan dan visi G20.

 

Skenario Konflik Ukraina-Rusia: 90 Juta Orang Tewas Jika Perang Nuklir Terjadi

Presiden Rusia Vladimir Putin Peringatkan Tak Ragu Pakai Senjata Nuklir Lawan Ukraina
Dalam foto selebaran ini yang dirilis oleh Layanan Pers Badan Antariksa Roscosmos pada 20 April 2022, rudal balistik antarbenua Sarmat diluncurkan dari Plesetsk di barat laut Rusia. Para analis mengatakan tujuan Rusia dalam menggunakan bom nuklir taktis di Ukraina adalah untuk menakut-nakutinya agar menyerah atau tunduk pada negosiasi, dan untuk membagi pendukung Barat negara itu. (Roscosmos Space Agency Press Service via AP, File)

Sejak Perang Dingin, ancaman perang nuklir habis-habisan telah terasa seperti ancama samar yang entah bagaimana tidak pernah hilang.

Setelah invasi Rusia ke Ukraina, percakapan seputar kemungkinan negara adidaya dunia masuk ke dalam pemboman nuklir telah menjadi sangat relevan sekali lagi.

Sementara kita semua tahu betapa dahsyatnya satu nuklir (seperti di Hiroshima dan Nagasaki), kebanyakan dari kita mungkin masih gagal memahami betapa dahsyatnya jika keadaan perang nuklir dimulai.

Bagi mereka di antara kita yang cukup berani bahkan ingin memahami efek dari skenario seperti itu, Universitas Princeton di AS telah memberikan pandangan tentang hasil yang paling mungkin berkat simulasi yang dilakukan oleh program Sains dan Keamanan Global (SGS) universitas.

Simulasi yang dilakukan pada tahun 2019 dan berjudul "PLAN A" berusaha memprediksi bagaimana perang akan dimulai, bagaimana dan dari mana nuklir dunia akan dikerahkan, dan seberapa tinggi jumlah korban tewas bisa naik saat perang berlangsung.

Simulasi memperkirakan bahwa hanya dalam beberapa jam setelah konflik dimulai, 90 juta orang akan tewas atau terluka parah, Princeton memperkirakan sebagaimana dikutip dari Mashable Asia, Sabtu (4/3/2022).

Hal ini didasarkan pada peristiwa bahwa satu "tembakan peringatan" dikirim oleh Rusia terhadap pangkalan militer yang berlawanan yang dioperasikan oleh pasukan AS-NATO.

Serangan pertama kemudian akan bertindak sebagai domino pertama dalam serangkaian peristiwa yang akan melihat pihak-pihak yang bertikai mengerahkan ratusan senjata nuklir dalam upaya untuk saling beradu, dengan jumlah korban tewas meningkat dengan cepat ketika konflik pindah ke tahap yang berbeda.

Tahap pertama akan melihat Rusia berusaha untuk menghancurkan pangkalan NATO di seluruh Eropa melalui penggunaan 300 nuklir, sementara NATO akan menanggapi dengan 180 dari mereka sendiri, dengan 2,6 juta tewas dalam tiga jam pertama.

Serangan Nuklir Balasan

Fase berikutnya yang disebut "rencana Counterforce" kemudian akan melihat sebagian besar pasukan militer Eropa hancur, dengan AS kemudian dipaksa mengirim 600 rudal ke Rusia dan menyebabkan sekitar 3,4 juta kematian hanya dalam waktu 45 menit.

Dengan begitu banyak kerusakan yang dilakukan, kedua belah pihak kemudian akan memasuki "rencana Countervalue" dengan tujuan sangat melukai sumber daya masing-masing negara. Ini kemudian akan melihat 30 kota terpadat dan pusat ekonomi mereka terkena masing-masing lima hingga sepuluh hulu ledak, dengan jumlah korban tewas selama fase ini terbukti menjadi yang paling menakutkan dari semuanya – 85,3 juta tewas dalam waktu 45 menit.

Simulasi kemudian menunjukkan bahwa masih akan ada nuklir sisa yang tersedia setelah bencana, yang dapat mendorong angka naik lebih tinggi.

Yang terpenting, simulasi itu bahkan tidak melukiskan gambaran tentang apa yang bisa terjadi di luar negara-negara yang terlibat dalam perang, yang berarti bahwa jumlah korban tewas bisa naik jauh lebih tinggi dari perkiraan 90 juta.

Meskipun itu semua hanya proyeksi, dan hal-hal bisa terjadi secara berbeda, peristiwa yang ditunjukkan dalam "PLAN A" sebenarnya sangat banyak dalam ranah kemungkinan, dan mudah-mudahan tidak akan pernah terjadi.

infografis Negara dengan Senjata Nuklir Terbesar
Negara dengan senjata nuklir terbesar
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya