Liputan6.com, Jakarta Peneliti dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), Frisda Rimbun Panjaitan mendukung penuh program Kementerian Koperasi dan UKM untuk membangun pabrik minyak makan merah.
Menurut Frisda, minyak makan merah memiliki manfaat besar. Bahkan dia mengatakan, mengkonsumsi minyak makan merah merupakan momentum tepat untuk memperbaiki gizi terhadap balita.
Baca Juga
"Minyak makan merah ini nantinya akan menolong kita di dalam perbaiki gizi, terutama untuk balita," ujar Frisda di kantor Kementerian Koperasi dan UKM, Selasa (8/11).
Advertisement
"Dan itu bisa merupakan suplemen atau pranata gizi untuk stunting," sambungnya.
Frisda menuturkan, minyak makan merah memiliki kandungan Provitamin A dan E yang sangat tinggi dibandingkan dengan minyak nabati lainnya.
Selain itu, nutrisi lain yang terkandung dalam minyak makan merah yaitu fitosterol, dan squalen. Keduanya memiliki manfaat untuk menyeimbangkan lemak jahat dan lemak baik dalam tubuh.
"Ini hampir tidak dipunyai oleh minyak nabati mana pun di dunia," ucapnya.
Frisda kemudian menjelaskan mengapa minyak makan merah mengandung banyak nutrisi, bahkan disebutnya tepat untuk memperbaiki gizi. Alasan utama adalah, warna asli dari minyak hasil sawit tersebut tetap dipertahankan.
"Kita mempertahankan warna, kita mempertahankan kandungan nutrisi yang ada di dalam sawit sehingga itu masih bisa kita asup," imbuhnya.
Komponen Bermanfaat
Mengutip dari aocs.org, warna alami minyak dari kelapa sawit memang merah. Di dalamnya terkandung komponen bermanfaat seperti karoten dan antioksidan.
Pada sejumlah penelitian, minyak makan merah banyak menunjukkan harapan untuk dapat menanggulangi kekurangan vitamin A di beberapa bagian dunia.
Selain warna merahnya, karakteristik minyak merah yaitu bau yang menyengat. Tanpa pengolahan apapun, pemanfaatan minyak ini sangat terbatas untuk kegiatan di dapur.
"Minyak sawit merah dalam bentuk mentahnya memiliki rasa yang sangat kuat. Ini sangat menyengat dan memiliki bau seperti jamur yang terlalu matang. Ini sangat tidak enak," kata Neil Blomquist, chief commercial officer untuk Natural Habitats (Rotterdam, Belanda), pemasok minyak sawit organik dari Ekuador dan Afrika Barat.
Selain itu, minyak tanpa proses panjang ini juga mengandung asam lemak bebas (free fatty acid, FFA), kelembaban, trace logam, dan kotoran lainnya yang membatasi umur simpannya. Sehingga, pelaku industri minyak sawit melakukan proses pemurnian (refining) untuk menghilangkan bau, rasa yang kurang selera bagi masyarakat.
Advertisement
Minyak Makan Merah Indonesia Lebih Sehat Dibanding yang Beredar di Malaysia
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Teten Masduki memastikan bahwa minyak makan merah layak konsumsi. Hal ini setelah Kementerian Koperasi dan UKM (KemenkopUKM) telah menerima Standarisasi Nasional Indonesia (SNI) minyak makan merah oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) dengan Nomor SNI 9098 tahun 2022.
Teten melanjutkan, minyak makan merah memiliki keunggulan karena harga yang murah jika dibandingkan dengan minyak masak lainnya seperti minyak sawit, minyak kelapa dan minyak bunga matahari.
Selain itu, minyak makan merah yang akan diproduksi Indonesia ini telah teruji lebih sehat dibanding minyak makan merah yang diproduksi Malaysia.
"Bahkan dengan teknologi yang dikembangkan untuk minyak makan merah ini teruji lebih sehat dari minyak sawit merah yang beredar di Malaysia," ujar Teten kepada Merdeka.com, Selasa (18/10/2022).
Teten menuturkan, uji kelayakan minyak makan merah produksi Indonesia telah dilakukan oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS).
Dari hasil uji tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa minyak makan merah lebih sehat dari minyak makan komersil karena mempertahankan fito-nutrient seperti Vitamin A, Vitamim E dan Squalene, serta dapat mengatasi gizi buruk atau stunting pada anak.
Lagi pula, imbuh Teten, faktor penyebab harga minyak makan merah menjadi kompetitif karena dikelola oleh koperasi secara closed loop economy system, terintegrasi dalam satu ekosistem.
"Sehingga jarak antara kebun, pabrik CPO dan pabrik minyak makan merah lebih berdekatan dan mengakibatkan pengelolaan yang lebih efisien," jelasnya.
"Teknologi khusus yang telah dikembangkan oleh PPKS, dengan teknologi yang sederhana tetapi kualitas produk atau fito-nutrien yang terjaga," sambung Teten Masduki.
Pengusaha Sawit Bilang Lebih Mahal
Dikonfirmasi secara terpisah, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Goreng Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat M Sinaga mengatakan produksi harga minyak makan merah atau dikenal dengan minyak merah, lebih mahal dibandingkan minyak goreng biasa. Hal ini dikarenakan nutrisi alami pada minyak merah tetap utuh.
Sahat mengatakan, saat masih berada di satu perusahaan nasional, pernah memproduksi minyak merah pada 1997. Namun, krisis moneter pada 1998 menyebabkan masyarakat tak ada lagi ada yang membeli minyak goreng bervitamin karena harga tinggi. Produksi pun berhenti.
"Saat itu kami menggunakan teknologi yang mahal, molecular distillation, untuk dapat menjaga vitamin alaminya tetap berada di dalam minyak sawitnya," ujar Sahat kepada merdeka.com, pada 13 Oktober 202.
Pada 1997, saat perusahaan tempat Sahat bekerja masih memproduksi minyak merah, tim juga melakukan penelitian pasar dan pola penggorengan yang dikerjakan oleh Institut Pertanian Bogor.
Hasil dari penelitian menunjukan, nutrisi alami yang ada di minyak, bila dipanaskan di atas 120 derajat celcius untuk menggoreng, hanya sedikit yang masuk ke dalam makanan atau gorengan.
"Kebanyakannya nutrisi alami itu menguap ke udara," ungkapnya.
Advertisement