Liputan6.com, Jakarta Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, jelang tutup tahun pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menetapkan upah minimum untuk tingkat provinsi atau UMP dan tingkat kabupaten/kota atau UMK.
Untuk 2023, Kemnaker menetapkan upah minimum naik maksimal 10 persen. Artinya, kenaikan UMP 2023 maupun UMK tahun depan tidak boleh lebih dari 10 persen dari upah minimum yang berlaku pada tahun ini.
Baca Juga
Hal tersebut dituangkan dalam Peraturan Menaker Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023. Aturan ini ditetapkan 16 November 2022 dan diundangkan pada 17 November 2022.
Advertisement
Dikutip Liputan6.com dalam aturan tersebut, dalam Pasal 7 tertulis bahwa penetapan atas penyesuaian nilai upah minimum tidak boleh melebihi 10 persen. Selain itu, dalam hal hasil penghitungan penyesuaian nilai upah minimum melebihi 10 persen, Gubernur menetapkan upah minimum dengan penyesuaian paling tinggi 10 persen.
Jika pertumbuhan ekonomi bernilai negatif, penyesuaian nilai upah minimum hanya mempertimbangkan variabel inflasi.
Dalam Permenaker Nomor 18 Tahun 2023 itu juga tertulis Upah Minimum Provinsi 2023 ditetapkan oleh Gubernur dan paling lambat diumumkan pada 28 November 2022. Gubernur juga dapat menetapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota 2023 dan diumumkan paling lambat 7 Desember 2022.
Upah Minimum 2023 provinsi dan kabupaten/kota yang telah ditetapkan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2023.
Dalam Pasal 13, Gubernur wajib menetapkan Upah Minimum provinsi sesuai dengan perhitungan yang telah ditentukan.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah berharap seluruh kepala daerah menetapkan UMP 2023 sesuai dengan aturan yang telah dirilis dengan penyesuaian formula penetapan diharapkan dapat menjaga daya beli masyarakat.
Ida menjelaskan, aspirasi yang berkembang ditemukan bahwa penetapan upah minimum melalui formulasi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan belum dapat mengakomodasi kondisi sosial ekonomi masyarakat saat ini.
Dia menyoroti kondisi di mana upah minimum 2022 tidak dapat menyeimbangkan laju kenaikan harga-harga barang yang mengakibatkan menurunnya daya beli pekerja. Hal itu dikhawatirkan dapat terjadi juga pada 2023.
"Dengan adanya penyesuaian formula upah minimum 2023, saya berharap daya beli dan konsumsi masyarakat tetap terjaga dan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya akan menciptakan lapangan kerja," kata Ida dikutip dari Antara, Minggu (20/11/2022).
"Saya juga meminta seluruh kepala daerah melaksanakan kebijakan penghitungan upah minimum 2023 sesuai dengan Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 ini," tambahnya.
Dia menjelaskan bahwa saat ini kondisi sosial ekonomi masyarakat akibat dampak pandemi COVID-19 belum sepenuhnya pulih diikuti dengan ketidakpastian ekonomi global yang berimplikasi menekan laju pemulihan ekonomi nasional.
Padahal, struktur ekonomi nasional mayoritas disumbang oleh konsumsi masyarakat dipengaruhi daya beli dan fluktuasi harga.
Mempertimbangkan hal tersebut pemerintah mengambil kebijakan penyesuaian upah minimum untuk tahun 2023 dengan terbitnya Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023.
Di dalamnya perhitungan upah minimum 2023 didasarkan pada kemampuan daya beli yang diwakili variabel tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang tercipta dari indikator produktivitas dan perluasan kesempatan kerja.
Produktivitas dan perluasan kesempatan kerja dipandang merupakan dua indikator yang dapat mewakili unsur pekerja dan buruh serta pengusaha.
Secara umum kebijakan penetapan upah minimum 2023 mengatur dua hal yaitu penyempurnaan formula penghitungan formula upah minimum 2023 dan perubahan waktu penetapan oleh gubernur.
Perhitungan Upah Minimum
Penetapan Upah Minimum provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) aturan tersebut dilakukan berdasarkan penghitungan penyesuaian nilai Upah Minimum.
Penghitungan penyesuaian nilai Upah Minimum provinsi dilakukan sesuai formula sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4).
Dalam Pasal 6 disebut bahwa Penyesuaian nilai Upah Minimum untuk tahun 2023 dihitung menggunakan formula penghitungan Upah Minimum dengan mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.
Sedangkan rumus yang dipakai adalah Penyesuaian Nilai UM = Inflasi + (PE x α).
Dijelaskan bahwa Penyesuaian Nilai UM adalah Penyesuaian nilai Upah Minimum yang merupakan penjumlahan antara inflasi dengan perkalian pertumbuhan ekonomi dan α.
Inflasi adalah inflasi provinsi yang dihitung dari periode September tahun sebelumnya sampai dengan periode Septem bertahun berjalan (dalam persen).
Sedangkan PE adalah Pertumbuhan ekonomi yang dihitung dari perubahan pertumbuhan ekonomi provinsi kuartal I, kuartal II, kuartal III tahun berjalan, dan kuartal IV pada tahun sebelumnya terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi kuartal I, kuartal II, kuartal III tahun sebelumnya, dan kuartal IV pada 2 tahun sebelumnya.
Untuk α adalah Wujudwindeks tertentu yang menggambarkan kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi dengan nilai tertentu dalam rentang tertentu yaitu 0,10 sampai dengan 0,30.
Cerita Dibalik Penetapan Upah Minimum 2023
Penetapan UMP 2023 rupanya tidak diputuskan dalam waktu singkat. Hal tersebut diungkapkan Presiden KSPSI, Andi Gani Nena Wea bercerita pertemuan dia dengan Jokowi dalam membahas besaran upah buruh 2023 yang telah ditetapkan pemerintah, dengan besaran maksimum 10 persen.
"Jadi ini panjang, bukan tiba-tiba muncul, sudah empat bulan lalu, kemudian ditindak lanjuti oleh tim teknis Kemenaker dan Dirjen PHI, Bu Puti Anggoro. Keluarlah Permenaker nomor 18, banyak usulan-usulan, tetapi ini mungkin yang terbaik," ujar Presiden KSPSI, Andi Gani Nena Wea.
Dikatakan jika menggunakan formula lama dalam PP nomor 36 mengenai pengupahan, akan ada banyak daerah yang tidak mengalami kenaikan upah.
Sedangkan dengan formula terbaru, maka buruh di seluruh daerah akan mendapatkan kenaikan upah dengan besaran bervariasi. Bahkan kenaikan upah juga pernah disampaikan oleh perwakilan buruh, pada Musra di Jawa Barat (Jabar).
"Minimal itu perkiraan kami (upah) di Banten atau di Tangerang sekitar 7 sampai 8 persen akan naik, batasnya 10 persen, sangat luar biasa. Tapi dengan PP 36, ada daerah yang tidak naik (UM) nya," ucapnya.
Pembahasan upah yang sudah dilakukan lama sejak empat bulan terakhir, diharapkan menjadi jalan tengah antara buruh, pengusaha dan pemerintah. Penerapannya bisa dilakukan mulai awal tahun mendatang.
"Memang pertemuan saya dengan presiden RI cukup panjang, hampir empat bulan. Dihitung lagi pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Pengumuman upah mundur jadi 28 November, tadinya kan 20 November. Penerapannya di tahun depan. Untuk UMK sama dengan itu, mengacu pada Permenaker nomor 18," jelasnya.
Jadi Pertanda Inflasi Melonjak di Tahun Depan
Patokan kenaikan UMP 2023 yang jauh lebih tinggi dibanding upah minimum 2022 ini pun dinilai jadi pertanda, dunia kerja harus siap menghadapi lonjakan inflasi tahun depan.
Hal tersebut diungkapkan Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjudin Nur Effendi. Meskipun inflasi Oktober 2022 mulai menunjukan tren penurunan menjadi 5,71 persen secara tahunan, namun ia masih mewaspadai kembali terjadinya lonjakan inflasi di akhir tahun menjadi 6 persen.
"Menurut saya, upah ditingkatkan 10 persen itu harusnya setara dengan inflasi. Kalau inflasinya 5-6 persen, kenaikannya (upah minimum/UMP) ya di atas itu kan," ujar Tadjudin kepada Liputan6.com.
"Kalau sudah mencapai 10 persen, menurut hemat saya agar nilai upah pekerja tidak turun, karena ada sisa 4 persen, jadi tidak tergerus dengan inflasi," ungkap dia.
Tadjudin lantas menyoroti rata-rata kenaikan upah minimum 2022 yang hanya 1,09 persen. Padahal tingkat inflasi di sepanjang tahun lalu lebih dari itu, sekitar 1,87 persen.
"Kemudian, dalam kenyataan tahun 2022, ternyata inflasi di atas 3 persen, dan sekarang 5 persen," imbuh Tadjudin.
Dengan demikian, ia menilai daya beli pekerja di tahun ini tergerus sekitar 3-4 persen, lantaran nilai upah minimum yang masih jauh di bawah laju inflasi yang kini di atas 5 persen.
"Kalau betul itu (upah minimum) jadinya 10 persen, itu mereka masih mempunyai kelonggaran 4 persen. Artinya, tidak tergerus, upahnya masih bisa tutupi kenaikan inflasi," pungkas Tadjudin.
Advertisement
Dikeluhkan Pengusaha dan Buruh
Kenaikan UMP 2023 sebesar 10 persen rupanya tidak membuat buruh dan pengusaha puas. Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Anton J Supit, menilai pemerintah tidak banyak mempertimbangkan pengusaha atau pemberi kerja dalam putusan kenaikan upah minimum, atau UMP 2023 maksimal 10 persen.
"Menurut saya yang tidak bijaksananya, peraturan ini tidak mengacu kepada kepentingan pencari kerja," ujar Anton kepada Liputan6.com
Anton mengeluhkan, pemerintah cenderung melihat dunia usaha dari kacamata sempit dalam menetapkan aturan upah minimum 2023, yakni pada sektor-sektor yang sedang meraup keuntungan besar seperti sawit, batu bara, dan nikel.
"Beberapa sektor sekarang justru lagi kesulitan, seperti garmen. Itu order dari luar negeri turun rata-rata 30 persen. Kalau sepatu turunnya 50 persen. Permintaan karet pun turun," ungkapnya.
Saat permintaan atas produksi barang tersebut turun, ia menambahkan, pengusaha garmen, sepatu dan karet juga mempekerjakan orang yang tidak sedikit.
"Bayangkan saja, kalau pabrik sepatu dibilang ada 10.000 pekerja itu kecil, karena ada yang 100.000 (orang). Dengan 10.000 (pekerjak saja, kalau gaji rata-rata Rp 5 juta, kali aja, itu sebulan Rp 50 miliar musti bayar," paparnya.
"Kalau pabrik tidak ada pekerjaan, you sanggup tahan berapa lama?" singgung Anton.
Oleh karenanya, ia berpikir perhitungan kenaikan upah minimum 2023 yang tercantum dalam Permenaker 18/2022 masih belum tepat dan bijaksana. Selain itu, aturan tersebut juga diasumsikannya seakan hanya ingin memenuhi kelompok kepentingan tertentu saja, yakni sebagian buruh formal.
"Jadi saya tidak mau mengatakan setuju atau tidak setuju, tapi sangat memprihatinkan kebijakan yang keluar itu, karena kebijakan ini harus ada yang bayar ongkos. Siapa yang bayar ongkos, adalah para pencari kerja," tegasnya.
Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menilai, kenaikan upah minimum provinsi atau UMP 2023 yang tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022, terkesan membingungkan.
"Partai buruh dan serikat buruh menyayangkan rumus yang dipakai ngejelimet dan ruwet. Seharusnya, tidak perlu seperti itu," kata Said Iqbal dalam pesan tertulis.
Dalam hal ini, ia coba memberikan dua alternatif. Pertama, kenaikan upah minimum sama dengan inflansi plus pertumbuhan ekonomi. Menurut dia, itu lazim berlaku di seluruh dunia, dimana kenaikan UMP mengacu pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi Januari-Desember pada tahun berjalan.
Sedangkan alternatif kedua, menghitung standar biaya hidup atau living cost.
"Di mana untuk Indonesia standard biaya hidup tersebut dinamai kebutuhan hidup layak (KHL), yang terdiri dari 64 item KHL mulai dari harga daging, beras, baju, dan seterusnya. Hasil survei kebutuhan hidup layak ini lah yang dirundingkan di Dewan Pengupahan untuk dikrekomendasikan kepada bupati/walikota maupun gubernur," sebutnya.
Ia pun menyoroti isi Permenaker 18/2022, khususnya pada salah satu poin yang menyebut kenaikan upah minimum maksimal 10 persen.
"Kalimat tentang maksimal 10 persen ini menimbulkan kebingungan dan pengertian yang keliru tentang upah minimum. Upah minimum itu minimum, tidak ada kata maksimum," kata Said Iqbal.
Menurutnya, upah minimum di dalam konvensi ILO Nomor 133 atau UU Nomor 13 Tahun 2003 adalah jaring pengaman (safety net) agar buruh tidak absolut miskin. Karena itu, ia mendesak negara harus melindungi masyarakat yang akan memasuki dunia kerja dengan menetapkan kebijakan upah minimum.
"Upah minimum kan safety net. Kenapa harus menjadi maksimum? Oleh karena itu, seharusnya tidak ada definisi maksimal 10 persen," tegas kata Said Iqbal.
Organsiasi serikat buruh menyerukan agar setiap daerah dengan dasar hukum Permenaker 18/2022 tadi, Dewan Pengupahannya berjuang minimal kenaikan upah minimum 10 persen. Jika lebih dari 10 persen, itu adalah hasil dari perundingan.
"Maka organisasi serikat buruh menyerukan, agar UMK di tingkat kabupaten/kota dan UMP di tingkat provinsi berjuanglah minimal naiknya 10 persen," tegas dia.
"Kalau ditanya sikap Partai Buruh dan organsiasi serikat buruh, sikap kami tetap naik 13 persen. Kami berharap sekali dapat dikabulkan adalah 13 persen dengan menghitung inflasi dan pertumbuhan ekonomi," pintanya.
Win-Win Solution
Namun demikian, Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjudin Nur Effendi, menilai kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 2023 tak lebih dari 10 persen merupakan solusi terbaik untuk mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja atau PHK massal.
Kendati pun besaran tersebut masih lebih kecil dibanding tuntutan kaum buruh yang meminta kenaikan upah minimum sebesar 13 persen.
"Ini kan win-win solution. Kalau 13 persen mungkin pada perusahaan jangan-jangan agak berkeberatan. Berarti kan kalau inflasinya 5 persen minta 13 persen, itu berarti kan dua kalo lipat dari inflasi. Mungkin, jangan-jangan menurut saya, perusahaan berkeberatan," ujarnya kepada Liputan6.com.
"Malah justru menurut hemat saya, kalau dinaikan sekian, perusahaan tidak sanggup membayar, kemudian terjadi PHK, siapa yang rugi?" tegas Tadjudin.
Menurut dia, pemerintah pasti sudah mempertimbangkan matang-matang kenaikan UMP maksimal 10 persen. Terlebih situasi ekonomi tahun depan diprediksi masih akan sulit, mengingat dana moneter internasional (IMF) hingga Bank Dunia yang merevisi ke bawah pertumbuhan ekonomi global.
Adapun kenaikan upah minimum maksimal 10 persen ini pun sudah jauh lebih tinggi ketimbang pada 2022, yang secara rata-rata berada di kisaran 1,09 persen. Tadjudin pun percaya, UMP 2023 tetap bisa meredam laju inflasi bila sampai tembus 6 persen.
"Jadi harus dipikirkan juga, jangan kenaikannya terlalu gede banget. Saat ini sudah lebih baik lah dibanding tahun yang lalu. Artinya, nilai upah yang diterima pekerja tidak tergerus, bahkan lebih tinggi 4 persen daripada inflasi," ungkapnya.
"Kalau nanti katakan tahun 2023 inflasi sekitar 5-6 persen kan masih ada 4 persen longgar. Mudah-mudahan tahun 2023 tidak terjadi inflasi (tinggi)," kata Tadjudin.
Keputusan Pemda
Sejumlah pemerintah daerah (pemda) pun telah menetapkan upah minimum 2023. Salah satunya Riau yang resmi menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) Riau tahun 2023 sebesar Rp 3,1 juta, naik 5,96 persen dibandingkan tahun 2022 sebesar Rp 2.938.564.
"UMP Provinsi Riau sebesar Rp3,1 juta lebih ditetapkan melalui sidang dewan pengupahan yang digelar Selasa (15/11), melibatkan Apindo, Serikat Pekerja, BPJS Ketenagkerjaan dan BPS serta Pemprov Riau," kata Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Riau, Imron Rosyadi di Pekanbaru.
Imron mengatakan, penghitungan UMP Riau tahun 2023 masih menggunakan formulasi yang lama, yakni PP 36 tahun 2021 tentang Pengupahan. Dengan sudah ditetapkannya UMP Riau 2023 sebesar itu, pemprov akan segera menyiapkan Surat Keputusan (SK) Gubernur Riau perihal penetapan UMP Riau 2023.
"Nanti kita buatkan SKnya, kemudian direkomendasikan untuk ditetapkan karena sesuai Undang-Undang SK penetapan UMP itu yang menetapkan adalah Gubernur Riau," ujarnya.
Jika SK Gubernur tentang penetapan UMP Riau tahun 2023 sudah dikeluarkan pihaknya akan langsung menyurati pemerintah kabupaten kota dan perusahaan agar UMP itu bisa direalisasikan mulai awal tahun 2023.
Karenanya itu, katanya berharap kepada seluruh perusahaan di Riau mulai Januari 2023 pembayaran gaji karyawan harus mempedomani UMP Riau yang sudah ditetapkan dan disepakati bersama tersebut.
Papua Barat
Selanjutnya Dewan Pengupahan Provinsi Papua Barat menetapkan Upah minimum Provinsi Papua Barat tahun 2023 di wilayah tersebut sebesar Rp3.282.000 atau mengalami kenaikan Rp82.000 dari tahun sebelumnya.
UMP Papua Barat Tahun 2023 ditandatangani oleh Penjabat Gubernur Papua Barat yang diwakili oleh asisten II bidang Ekonomi Pembangunan Melkias Werinussa di Manokwari, dilansir Antara.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Papua Barat, Frederik Saidui di Manokwari, mengatakan UMP 2023 naik sebesar Rp82.000 dari tahun 2022 yang sebesar Rp3.200.000.
"Mengalami kenaikan namun sedikit, dengan memperhitungkan rata-rata konsumsi perkapita tahun 2022 dan aspek lainnya seperti inflasi dan pertumbuhan ekonomi daerah," kata Saidui.
Menurut Saidui, Penerapan UMP Papua Barat mengacu kepada PP 36/2021 tentang pengupahan, dimana merupakan siknkronisasi dari data Badan Pusat Statistik (BPS).
Disebutkan, penetapan UMP merupakan upaya mewujudkan hak pekerja atau buruh untuk kehidupan yang layak, dalam penetapannya UMP wajib diberikan oleh pemberi kerja kepada seluruh pekerjanya.
"Nanti dalam pelaksanaannya dinas Tenaga kerja akan melakukan pengawasan, bahkan hingga menerima aduan pekerja yang dibayar tidak sesuai ketapan,"lanjut dia.
Selanjutnya, setelah penetapan UMP di tingkat Provinsi Papua Barat akan diikuti juga penetapan Upah Minimum di 13 kabupaten dan Kota di Provinsi Papua Barat.
Jawa Barat
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat (Jabar), Rachmat Taufik Garsadi, menyebut perkiraan kenaikan upah minimum untuk tahun 2023 berada di kisaran 7-8 persen. Angka itu lebih rendah daripada mayoritas tuntutan kalangan buruh yang mencapai 13 persen.
"Diperkirakan akan ada kenaikan antara 7–8 persen dari upah yang sekarang," dikutip Liputan6.com.
Rachmat mengatakan, arahan dari Menteri Dalam Negeri dan Menteri Ketenagakerjaan, Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) ada perubahan.
UMP dan UMK, sambung Rachmat, seharusnya menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, yang menggunakan penambahan inflasi dan Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) serta ada koreksi batas atas, dan batas bawah.
"Namun, sekarang dengan formulasi yang baru dipastikan upah akan naik,” kata dia.
Menurut Rachmat, jika kenaikan upah memang mengacu pada formulasi PP Nomor 36, maka besaran upah di empat kabupaten di Jawa Barat tidak akan naik, yaitu Kabupaten Bekasi, Purwakarta, Bogor dan Karawang.
“Untuk angka-angka lebih jelasnya kita masih menunggu surat dari Ibu Menteri Ketenagakerjaan. Itu juga hasil kompromi karena para buruh menginginkannya 13 persen. Sementara kondisi sekarang juga tidak terlalu baik, khususnya untuk padat karya,” jelasnya.
DKI Jakarta Masih Dihitung
Sementara itu, Penjabat (Pj) Gubenur DKI Jakarta Heru Budi Hartono mengatakan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta 2023 tengah dihitung.
"Itu sedang dihitung,” kata Heru kepada wartawan di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Minggu 12 November 2022.
Sebelumnya, Heru juga sempat bertemu dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian untuk membahas UMP DKI 2023. Kendati masih belum mengetahui pasti berapa kenaikan UMP DKI 2023, dia berharap yang terbaik untuk teman-teman pekerja.
"Mudah-mudahkan yang terbaik buat teman-teman pekerja,” katanya.
Advertisement
Sanksi Menanti Pemda Tak Patuh
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menegaskan kalau pemerintah daerah maupun pengusaha yang tak mengikuti aturan penetapan upah minimum provinsi atau UMP 2023 akan kena sanksi. Sanksinya berupa sanksi administratif.
Sanksi ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Meski, aturan penetapan upah minimum 2023 baru saja diubah ke Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Kemnaker Indah Anggoro Putri mengonfirmasi hal tersebut. Indah tak berkata banyak soal sanksi yang dibebankan kepada Pemda, dia hanya melampirkan foto yang menyebutkan adanya sanksi soal penetapan UMP 2023.
"Pemerintah Daerah provinsi dan kabupaten/kota yang masih memberlakukan keputusan tentang Upah Minimum yang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai pemerintah daerah," tulis dokumen yang dikirim Indah kepada Liputan6.com, Senin (21/11/2022)
Dokumen ini diketahui adalah Pasal 81 PP 36/2021. Indah memberikan tanda khusus dengan warna hijau terang pada bagian 'Pasal 81' dan 'sanksi administratif' pada dokumen tersebut.
Mengutip PP 36/2021, sanksi tersebut memang dituangkan dalam pasal 79 sampai pasal 81. Pada bagian ini, mengatur sanksi yang dijatuhkan bagi pengusaha yang tak menaati aturan penetapan upah. Baru pada Pasal 81, disinggung mengenai sanksi bagi pemerintah daerah.
4 Jenis Sanksi
Pasal 79 PP 36/2021 memuat setidaknya 4 jenis sanksi. Yakni, sanksi administratif berupa teguran tertulis, sanksi berupa pembatasan kegiatan usaha, sanksi pengehntian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, dan sanksi berupa pembekuan kegiatan usaha.
Pada ayat 2 disebutkan, pengenaan sanksi administratif tersebut dilakukan secara bertahap. Kemudian, teguran tertulis yang tertuang merupakan peringatan tertulis atas pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha.
"Pembatasan kegiatan usaha sebagaimana dinaksud pada ayat 1 huruf b meliputi: a. Pembatasan kapasitas produksi barang dan/atau jasa dalam wsktu tertentu; dan/atau, b. Penundaan pemberian izin usaha di salah satu atau beberapa lokasi bagi Perusahaan yang memiliki proyek di beberapa lokasi," tulis Pasal 79 ayat 4, seperti dikutip.
Sementara, pada ayat 5 dan ayat 6 Pasal 79, memuat keterangan kalau penghentian sebagai sanksi dilakukan dalam periode waktu tertentu. Termasuk penghentian kegiatan proses produksi oleh perusahaan.
Pasal 80 PP 36/2021
Sementara itu, Pasal 80 PP 36/2021 yang merupakan Bab XIII soal Sanksi Administratif tertuang sebagai berikut.
Pasal 80
(1) Menteri, menteri terkait, gubernur, bupati/wali kota, atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan kewenangannya mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam oasal 79 kepada Pengusaha.
(2) Pengenaan sanksi administratif diberikan berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Pengawas Ketenagakerjaan yang berasal dari: a. Pengaduan; dan/atau, b. Tindak lanjut hasil pengawasan ketenagakerjaan.
(3) Tindak lanjut hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Pengawas Ketenagakerjaan dituangkan dalam nota pemeriksaan.
(4) Dalam hal nota pemeriksaan tidak dilaksanakan oleh Pengusaha, Pengawas Ketenagakerjaan menyampaikan laporan ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan beserta nota pemeriksaan kepada: a. Direktur jenderal yang membidangi pengawasan ketenagakerjaan pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan, untuk Pengawas Ketenagakerjaan di kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidany ketenagakerjaan, atau; b. Kepala dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan provinsi, untuk Pengawas Ketenagakerjaan pada dinas yany menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan provinsi.
(5) Direktur jenderal atau kepala dinas sebagaimana dimaksud pada ayat 4 menyampaikan rekomendasi kepada pejabat yang berwenang mengenakan sanksi administratif.
(6) Menteri terkait, gubernur, bupati/wali kota, atau pejabat yang ditunjuk memberitahukan pelaksanaan pengenaan sanksi administratif kepada Menteri.
Namun demikian, Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjudin Nur Effendi, sanksi yang diterbitkan pemerintah tidak dijalankan.
Tadjudin lantas menyoroti tindakan mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang melanggar PP Pengupahan, dengan menaikan UMP 2022 melewati ketentuan batas seharusnya, dari 0,8 persen menjadi 5,1 persen.
Meskipun ide Anies kalah dari putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, namun dirinya seakan lepas dari jeratan sanksi.
"Tapi enggak ada sanksi apa-apa kan. Jadi Pemda melakukan pelanggaran dalam perhitungan, itu enggak ada sanksinya," ujar Tadjudin kepada Liputan6.com.
Dia lantas memaparkan skema penentuan upah minimum, yang bermula dari putusan pemerintah pusat seperti Permenaker 18/2022. Namun, putusan akhirnya tetap ada di masing-masing gubernur.
Contohnya, Tadjudin menyebut Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang bernegosiasi terlebih dahulu dengan pengusaha, sebelum menentukan putusan final upah minimum di sana. Meskipun, ia tidak menyebut adanya bentuk pelanggaran yang dilakukan Ganjar melalui langkah tersebut.
"Jadi itu sebetulnya penerapan dari Permenaker itu di tangan gubernur. Masing-masing provinsi melakukan perhitungan kembali. Itu tergantung dengan gubernur dengan Dewan Pengupahan di masing-masing daerah," tuturnya.
Adapun perubahan formula perhitungan upah minimum yang tertuang dalam Permenaker 18/2022 memang masih menimbulkan pertanyaan, utamanya terkait pemberian sanksi bagi pemerintah daerah (pemda) yang tidak mematuhinya.
Pasalnya, dalam aturan lama yang tertuang pada PP 36/2021, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah sempat mengancam bakal memberhentikan secara permanen gubernur atau kepala daerah yang tidak mengikuti formulasi penghitungan upah minimum.
Menaker Ida menyatakan, sanksi itu diambil untuk memastikan program strategis nasional perihal upah minimum dapat ditaati oleh setiap daerah. Sanksi administrasi itu di antaranya teguran tertulis, pemberhentian sementara, hingga pemberhentian permanen.
Adapun landasan hukum dari sanksi itu tertuang dalam Undang Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.