Liputan6.com, Jakarta Penetapan Upah Minimum Provinsi atau UMP 2023 mengundang pro dan kontra dikalangan buruh dan pengusaha. Pasalnya, buruh meminta UMP 2023 bisa naik 10 persen, namun nyatanya banyak perusahaan yang menaikan di bawah angka tersebut.
Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economics Action Institution Ronny P Sasmita, mengatakan sangat memahami aspirasi buruh mengapa mereka menolak angka kenaikan UMP yang baru. Ini karena rentang nilai kenaikannya sangat variatif, bahkan ada yang di bawah 5 persen. Sementara yang mendekati angka 10 persen sebagaimana ketetapan Permenaker nyaris tak ada.
Baca Juga
"Artinya secara umum angka kenaikan UMP sangat jauh dari aspirasi buruh yang mengusulkan 13 persen. Jadi, sangat bisa dipahami mengapa muncup resistensi dari asosiasi buruh karena nyatanya nilai kenaiakan UMP secara umum kurang sensitif terhadap aspirasi buruh," kata Ronny kepada Liputan6.com, Selasa (29/11/2022).
Advertisement
Menurut dia, jalan tengahnya sebenarnya ada di tangan pemerintah. Masalahnya Pemerintah tidak menetapkan batas bawah, hanya menetapkan batas atas. Alhasil, banyak sekali daerah yang menetapkan kenaikan upah minimum sangat jauh dari usulan buruh.
"Karena buruh mengusulkan 13 persen, maka setidaknya jalan tengahnya adalah 50-60 persen ke atas dari 13 persen. Artinya, batas bawahnya semestinya ditetapkan, misalnya 7-8 persen dan batas atasnya 10 persen. Dengan demikian, secara politis aspirasi buruh masih bisa dianggap didengar," ujarnya.
Hitungan Kenaikan UMP
Dia menjelaskan, soal perhitungan bisa sangat kontektual alias rumusnya bisa berbeda-beda, tergantung perkembangan ekonomi yang ada. Tapi sebenarnya variable perhitungan kenaikan yang paling krusial adalah inflasi, bukan pertumbuhan ekonomi. Karena tekanan pada pendapatan pekerja datang dari inflasi.
Variable inflasi tersebut adalah inflasi harga konsumen (IHK), inflasi komoditas pokok (makanan), inflasi pendapatan personal pekerja (personal consumer expenditures price inflation), dan inflasi produsen (producer inflation). Dan perhitungannya tentu harus dimulai dari tahun di mana UMP terakhir di naikan, apakah setahun lali atau dua tahun lalu.
"Karena itu, saya sering mengatakan angka ideal kenaikan UMP semestinya di atas 7 dan maksimum 10 persen. Untuk daerah-daerah tertentu yang inflasinya tinggi bisa mendekati 10 persen," jelasnya.
Advertisement
Kurang Peduli Terhadap Buruh
Maka dengan pengumuman kenaikan kemarin, dia mewajari mengapa buruh menolak. Karena, pertama nilai kenaikannya secara umum sangat kurang sensitif terhadap aspirasi buruh.
"Kedua, pemerintah tidak menetapkan batas bawahnya sehingga daerah-daerah dengan mudah menetapkan kenaikan jauh dadi aspirasi buruh, bahkan jauh dari setengah atas 13 persen permintaan buruh. Tentu buruh hasil tersebut menjadi tidak "win-win.","pungkasnya.
