Liputan6.com, Jakarta - Utang publik dan swasta global mengalami penurunan terbesar dalam 70 tahun pada 2021 setelah mencapai rekor tertinggi karena dampak Covid-19, tetapi secara keseluruhan masih jauh di atas tingkat pra-pandemi.
Hal itu diungkapkan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dalam sebuah blog yang dirilis dengan Global Debt Monitor perdananya.
Baca Juga
Mengutip US News, Selasa (13/12/2022) IMF mengatakan bahwa total utang publik dan swasta turun 10 poin persentase menjadi 247 persen dari produk domestik bruto (PDB) global pada 2021 dari puncaknya 257 persen pada 2020.
Advertisement
IMF mencatat, dalam dolar, utang global terus meningkat meski pada tingkat yang jauh lebih lambat, mencapai rekor USD 235 triliun di 2021.
Adapun utang swasta, yang mencakup perusahaan non-keuangan dan rumah tangga, mendorong pengurangan keseluruhan, turun 6 poin persentase menjadi 153 persen dari PDB pada tahun 2021, mengutip data dari 190 negara.
Sedangkan utang publik, terjadi penurunan 4 poin persentase menjadi 96 persen dari PDB, menandai penurunan terbesar dalam beberapa dekade, kata IMF.
Disebutkan juga, negara maju mengalami penurunan utang terbesar, dengan utang publik dan swasta turun 5 persen dari PDB tahun lalu, diikuti oleh hasil serupa di pasar negara berkembang, kecuali China.
Tetapi negara-negara berpenghasilan rendah melihat total rasio utang mereka terus meningkat di 2021, didorong oleh utang swasta yang tinggi, dengan total utang mencapai 88 persen dari PDB.
Direktur urusan fiskal IMF Vitor Gaspar mengatakan, rasio utang global diperkirakan akan turun lebih lanjut di sebagian besar negara pada tahun 2022 mengingat pertumbuhan PDB nominal.
Tetapi untuk tahun 2023 mendatang, laju utang akan berjalan lebih datar mengingat perkiraan penurunan ekonomi di banyak negara dan meningkatnya biaya pembayaran utang.
Utang di Negara Berpenghasilan Rendah Berada pada Tingkat Tertinggi
Paulo Medas, yang mengawasi Monitor Fiskal IMF, mengatakan tingkat utang di negara-negara berpenghasilan rendah sekarang berada pada tingkat tertinggi sejak keringanan utang pada 1990-an dan awal 2000-an.
Medas mengungkapkan, adakekhawatiran tentang kemampuan negara berpenghasilan rendah dan menengah untuk membayar utang mereka, dengan perkiraan 25 persen negara pasar berkembang dan lebih dari 60 persen negara berpenghasilan rendah berada dalam kesulitan utang.
Dengan demikian, Gaspar, Medas, dan ekonom senior IMF Roberto Perrelli memperingatkan akan semakin sulit untuk mengelola tingkat utang yang tinggi jika prospek memburuk dan biaya pinjaman terus naik.
Tingkat inflasi yang tinggi memang membantu mengurangi rasio utang di 2022, tetapi pengeluaran fiskal kemungkinan akan meningkat jika inflasi terus berlanjut, yang dapat menyebabkan premi yang lebih tinggi, mereka memperingatkan.
Mereka pun menyarankan pemerintah di negara dengan utang besar untuk mengejar kebijakan fiskal yang membantu mengurangi tekanan inflasi dan kerentanan utang jangka panjang, sambil terus mendukung masyarakat rentan.
"Pada saat turbulensi dan kekacauan, kepercayaan terhadap stabilitas jangka panjang merupakan aset berharga," kata mereka.
Advertisement
Temui PM Li Keqiang, Bank Dunia Rayu China Ringankan Beban Utang Negara Miskin
Sebelumnya, Presiden Bank Dunia David Malpass telah meminta pejabat pemerintah China mengambil langkah untuk meringankan beban utang negara berkembang.
Bank Dunia mengungkapkan bahwa, dalam pertemuan antara Malpass dengan Perdana Menteri China Li Keqiang, Menteri Keuangan Liu Kun dan Gubernur Bank Rakyat China Yi Gang, para pejabat diminta untuk menerbitkan lebih banyak data terkait instrumen utang untuk membantu mempercepat restrukturisasi bagi negara-negara miskin.
"Presiden Malpass dan Perdana Menteri Li mengadakan diskusi mendetail tentang beban tingkat utang yang tidak berkelanjutan di banyak negara berkembang," kata Bank Dunia, dikutip dari Channel News Asia, Jumat (9/12/2022).
Malpass juga mengatakan bahwa meningkatnya pembayaran utang menguras sumber daya yang terbatas dari negara-negara pengutang, mengurangi pengeluaran untuk kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan prioritas iklim.
Selain itu, Malpass dan Menteri Keuangan China Liu Kun 'juga bertukar pandangan tentang transparansi utang, pelaporan dan rekonsiliasi, serta perbandingan perlakuan antara kreditur sektor bilateral dan swasta resmi dalam restrukturisasi", terang Bank Dunia.
Dia juga meminta Menteri Keuangan China untuk melakukan "kepemimpinan aktif" China dalam mengatasi utang yang tidak berkelanjutan dan mempercepat proses restrukturisasi utang Zambia yang sedang berlangsung.
Sebagai informasi, Malpass menghadiri pertemuan dengan pejabat China dan pejabat pemberi pinjaman negara itu di kota Huangshan, bersama dengan Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional Kristalina Georgieva (IMF), dan para pemimpin lembaga internasional lainnya untuk membahas berbagai isu ekonomi makro.
Malpass sebelumnya sudah mengkonfirmasi kehadirannya dalam pertemuan itu di konferensi Reuters NEXT, di mana mengungkapkan bahwa negara-negara termiskin di dunia sekarang terbebani utang bilateral tahunan senilai USD 62 miliar (Rp 956,6 triliun), naik 35 persen dari tahun sebelumnya.
IMF juga memperkirakan bahwa negara-negara berpenghasilan rendah akan membutuhkan dana hampir USD 500 miliar (Rp 7,7 kuadriliun) dalam pembiayaan eksternal hingga tahun 2026, dengan peningkatan kebutuhan sekitar USD 57 miliar selama tahun 2022 dan 2023 karena perang Rusia-Ukraina.
Bank Dunia Peringatkan Utang Negara Miskin Tembus Rp 956,6 Triliun
Presiden Bank Dunia David Malpass mengatakan bahwa negara-negara termiskin di dunia sekarang berutang sebesar USD 62 miliar atau sekitar Rp 956,6 triliun, kepada kreditur bilateral.
Angka itu menandai kenaikan utang hingga 35 persen selama setahun terakhir. Malpass pun memperingatkan peningkatan risiko gagal bayar.
"Saya khawatir tentang proses gagal bayar yang tidak teratur di mana tidak ada sistem untuk benar-benar mengatasi" utang untuk negara-negara miskin, kata Malpass dalam konferensi NEXT di New York, dikutip dari US News, Jumat (2/12/2022).
Malpass mengungkapkan bahwa dua pertiga dari beban utang negara-negara miskin ini sekarang berhutang ke China.
Selain itu, Presiden Bank Dunia juga prihatin dengan penumpukan utang di negara maju seperti Amerika Serikat, karena menarik lebih banyak modal dari negara berkembang.
"Dan begitu suku bunga naik, layanan utang naik untuk ekonomi maju, dan itu membutuhkan modal dalam jumlah besar dari negara lainnya d dunia," ungkapnya.
Dalam kesempatan, Malpass juga mengatakan bahwa dia akan mengikuti sebuah pertemuan di China pekan depan dengan pimpinan lembaga internasional lainnya dan otoritas China untuk membahas pendekatan negara tersebut terhadap keringanan utang untuk negara-negara miskin, kebijakan Covid-19, serta gejolak sektor properti, dan masalah ekonomi lainnya.
"China adalah salah satu kreditur besar, jadi...sangat penting bagi China untuk terlibat dalam masalah ini dan memikirkan ke mana dunia akan pergi dan tanggap untuk bekerja dengan apa yang perlu dilakukan guna mencapai keberlanjutan bagi negara-negara tersebut," pungkasnya.
Advertisement