Liputan6.com, Jakarta Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan mengklaim penjualan produk minyak goreng MinyaKita terlalu sukses di pasaran. Padahal, produk MinyaKita sudah tidak tersedia lagi di pasar modern seperti supermarket atau market place.
"MinyaKita ini terlalu sukses. Orang mau membeli MinyaKita, sehingga (konsumen) yang premium pindah ke MinyaKita. Itu tentu nggak adil kan," ujar Mendag di JS Luwansa, Jakarta, Selasa (7/3/2023).
Baca Juga
Pria yang akrab disapa Zulhas ini pun tak menampik produk minyak goreng subsidi tersebut kini semakin langka. Oleh karenanya, pemerintah menaikkan stok di pasaran 50 persen, dari 300 ribu ton menjadi 450 ribu ton.
Advertisement
"Jatah sebelumnya kan 300 ribu ton. Oleh karena itu, saya take down MinyaKita di market place, masuk pasar lagi pasar rakyat. Dulu 300 ribu ton, sekarang jadi 450 ribu ton per bulan," sebut Mendag.
Namun begitu, Mendag mengkonfirmasi distribusinya ke pasar tradisional per Februari 2023 lalu belum tembus 450 ribu ton. "Februari (realisasinya) belum (sesuai target), mendekati (450 ribu ton), menjadi utang bulan ini," imbuhnya.
DMO
Mendag lantas bercerita, kelangkaan minyak goreng MinyaKita turut dipengaruhi aturan kewajiban pemenuhan pasar domestik, atau Domestic Market Obligation (DMO) minyak sawit mentah, alias CPO.
Dia buka kemungkinan, melambatnya ekspor CPO ke pasar internasional turut berdampak terhadap suplai minyak goreng di pasar domestik. Sehingga stok produk MinyaKita 450 ribu ton belum bisa terrealisasi di bulan lalu.
"Kalau ekspor sedikit, jatah dalam negerinya sedikit. Nah, itu sekarang sudah kita tetapkan berapapun ekspor itu, kita tetapkan 450 ribu ton. Itu baru percobaan, kita minta bulan ini diselesaikan," tuturnya.
Kebijakan Minyak Goreng Berubah-ubah, Ekonom: Tak Mungkin Ada Kartel
Ahli ekonomi Ine Minara Ruky menyoroti soal kebijakan minyak goreng yang berubah-ubah. Dia menilai tidak mungkin ada kesepakatan kartel di antara produsen ketika terjadi kenaikan harga yang diikuti dengan kelangkaan minyak goreng pada tahun lalu.
Hal ini disebabkan kartel minyak goreng tidak mungkin efektif dilakukan di saat pemerintah mengeluarkan kebijakan yang berubah-ubah dalam waktu singkat untuk mengatasi masalah minyak goreng.
“Berdasarkan konsepnya, kartel biasanya dilakukan di tengah kondisi pasar yang stabil. Sementara saat itu pemerintah mengeluarkan banyak kebijakan yang berubah-ubah dalam waktu yang singkat," kata Ine saat memberi keterangan dalam sidang perkaraa dugaan kartel minyak goreng yang digelar Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) secara daring, Minggu (26/2/2023).
"Melakukan kesepakatan kartel pada saat itu justru tidak rasional. Setiap kebijakan pasti akan mengubah perilaku pelaku usaha dan perhitungan cost yang harus dikeluarkan untuk melakukan kartel,” lanjut dia.
Menurutnya, kebijakan pemerintah yang terjadi saat itu harus dianalisis karena perilaku pelaku usaha tidak steril dari lingkungan kebijakan pemerintah. Di samping itu, motivasi pelaku usaha melakukan kartel adalah mendapatkan keuntungan jangka panjang.
Apabila kartel dilakukan dalam jangka pendek, maka probabilitas efektivitasnya menjadi kecil. Begitu juga, keuntungannya akan lebih kecil dan biaya yang harus dikeluarkan menjadi tidak rasional.
Misalnya, kalau ada kartel harga dalam dua atau tiga bulan, kemudian di tengah-tengah berhenti, karena ada structural break berupa kebijakan harga dari pemerintah. Namun, beberapa bulan kemudian kebijakan dicabut dan terjadi lagi kartel.
"Menurut saya itu tidak masuk akal. Pelaku usaha pasti rasional. Apabila ingin melakukan kartel biasanya jangka panjang, tidak sepotong-sepotong begitu,” katanya.
Advertisement
Masalah Kartel
Ine menegaskan, sesungguhnya keberhasilan kartel juga sangat bergantung berapa banyak pihak yang terlibat. Kartel semakin tidak efektif dengan semakin banyaknya peserta yang ikut dalam kesepakatan.
Dalam perkara ini, KPPU menduga sebanyak 27 perusahaan minyak goreng kemasan (Terlapor) melakukan pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 19 huruf c Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Antimonopoli).
Para Terlapor dituduh membuat kesepakatan penetapan harga minyak goreng kemasan pada periode Oktober - Desember 2021 dan periode Maret – Mei 2022, serta membatasi peredaran atau penjualan minyak goreng kemasan pada periode Januari – Mei 2022.
Ine mengingatkan KPPU agar berhati-hati dalam menyimpulkan adanya kartel terkait kenaikan harga minyak goreng pada periode tersebut. Keseragaman harga (price parallelism) yang terjadi tidak serta merta membuktikan adanya kartel.
“Hati-hati dalam mengartikulasikan price parallelism, karena bisa saja dibentuk oleh interdependensi (saling ketergantungan) pelaku usaha di pasar oligopoli. Interdependensi pasar oligopoli sangat tinggi. Setiap keputusan yang diambil perusahan, berdampak pada perusahaan yang lain. Keuntungan dan kerugian juga ditentukan strategi input-output perusahaan lain. Jadi, saling mengikuti, saling menyesuaikan harga itu wajar, selama tidak dilakukan melalui kesepakatan,” tegas Ine.