Kronologis Transaksi Mencurigakan Rp 349 Triliun di Kemenkeu versi Mahfud MD Vs Sri Mulyani

Soal tramsaksi mencurigakan, DPR akan menghadirkan Menko Polhukam Mahfud MD, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, hingga Kepala PPATK Ivan Yustiavandana

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 11 Apr 2023, 14:15 WIB
Diterbitkan 11 Apr 2023, 14:15 WIB
transaksi mencurigakan Rp 300 triliun.
Soal tramsaksi mencurigakan, DPR akan menghadirkan Menko Polhukam Mahfud MD, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, hingga Kepala PPATK Ivan Yustiavandana

Liputan6.com, Jakarta Komisi III DPR RI akan menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), Selasa (11/4/2023), membahas kelanjutan adanya transaksi mencurigakan Rp 349,8 triliun yang melibatkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sejak 2009-2023.

Rencananya, RDPU ini akan menghadirkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, hingga Kepala PPATK Ivan Yustiavandana.

Adapun, ini merupakan lanjutan dari rapat selama 7 jam dengan bahasan serupa per 29 Maret 2023 lalu. Namun, saat itu yang hadir hanya Mahfud MD dan Ivan Yustiavandana, minus Sri Mulyani.

Pembahasan mengenai transaksi janggal di lingkungan Kementerian Keuangan ini jadi bola liar. Pasalnya, informasi hingga angka yang tercantum telah dilakukan klarifikasi berulang.

Mulanya, polemik informasi transaksi mencurigakan di lingkup Kemenkeu dibocorkan Mahfud MD pada 8 Maret 2023. Tak lama seusai temuan harta bos pajak Jakarta Selatan, Rafael Alun Trisambodo yang mencapai Rp 56 miliar.

Kala itu, Mahfud menyebut nilai transaksi mencurigakan sekitar Rp 300 triliun. Nilai transaksi itu merupakan akumulasi dari 160 laporan lebih selama kurun waktu 2009 hingga 2023 dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

"Itu tahun 2009 sampai 2023. Ada 160 laporan lebih sejak itu, tidak ada kemajuan informasi, sesudah diakumulasikan semua melibatkan 460 orang lebih di kementerian itu. Sehingga akumulasi terhadap transaksi yang mencurigakan itu bergerak di sekitar Rp 300 triliun," kata Mahfud.

Membesar Jadi Rp 349 Triliun

Dalam klarifikasi berikutnya, Mahfud menyatakan bahwa itu merupakan temuan dari tindak pidana pencucian uang (TPPU), bukan korupsi. Nilainya pun membesar dari Rp 300 triliun menjadi Rp 349,8 triliun.

"Ini bukan laporan korupsi, tapi laporan tentang dugaan TPPU yang menyangkut pergerakan transaksi mencurigakan. Saya waktu itu sebut Rp 300 t. Sesudah diteliti transaksi mencurigakan itu lebih dari itu, Rp 349 t," jelasnya pada 21 Maret 2023.

Mahfud lantar memaparkan enam modus tindak pidana pencucian uang di lingkungan Kemenkeu, antara lain;

1. Kepemilikan saham atas nama keluarganya2. Kepemilikan aset berupa barang bergerak maupun tidak bergerak atas nama pihak lain3. Membentuk perusahaan cangkang4. Mengelola hasil kejahatan sebagai upaya agar keuntungan operasional perusahaan jadi sah5. Menggunakan rekening atas nama orang lain atas hasil kejahatan6. Menyembunyikan hasil kejahatan dalam safety deposit box (SDB) atau tempat lain

Lebih lanjut, Mahfud mengatakan, nilai temuan dari tindak pidana pencucian uang itu sering menjadi besar lantaran menyangkut kerja intelijen keuangan. Ia mengibaratkan, uang yang sama mungkin berputar 10 kali secara aneh, tapi hanya dihitung dua atau tiga kali.

"Misalnya, saya kirim uang ke Ivan (Kepala PPATK). Ivan kirim ke sekretarisnya, sekretarisnya kirim ke sana, terus kirim ke saya lagi. Uang yang sama, itu tetap dihitung sebagai perputaran uang yang aneh. Itu lah yang disebut tindak pidana pencucian uang," terangnya.

"Jadi jangan berasumsi, wah, Kementerian Keuangan korupsi Rp 349 t. Ndak, ini transaksi mencurigakan, dan itu melibatkan banyak dunia luar, orang yang punya sentuhan-sentuhan dengan mungkin orang Kementerian Keuangan," sebut Mahfud.

 

Sri Mulyani Heran

Menteri Keuangan Sri Mulyani Bahas Dana Bagi Hasil Bersama Komisi XI DPR
Selain Sri Mulyani, rapat itu juga nantinya akan dihadiri Ketua Komite Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Mahfud MD. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Atas temuan tersebut, Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Senin (27/3/2023) mengaku belum menerima surat pemberitahuan dari Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), sejak laporan awal transaksi janggal senilai Rp 300 triliun.

"Tanggal 8 Maret, pak Mahfud menyampaikan di publik. Kami menyampaikan, kami belum menerima surat apapun. Menurut pak Ivan ada surat yang dikirim. Saya cek semuanya belum ada. Ternyata baru dikirim tanggal 9, dengan tertanggal tanggal 7 Maret," ungkapnya.

Sri Mulyani pun heran, surat PPATK kepada Kemenkeu per 8 Maret tersebut tidak mencantumkan angka. Sang Bendahara Negara hanya menerima surat kompilasi PPATK yang dikirim sejak 2009-2023.

"Ini juga baru pertama kali PPATK menyampaikan sebuah kompilasi surat kepada Kementerian Keuangan. Jadi ini agak di luar pakem memang," kelih Sri Mulyani.

Baru pada 13 Maret 2023, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menyampaikan surat kedua. Terdiri dari kompilasi 300 surat dengan total transaksi mencurigakan Rp 349 triliun.

"Formatnya hampir mirip, seluruh daftar surat yang PPATK kirimkan kepada berbagai instansi sebanyak 300 surat, dengan total transaksi mencurigakan Rp 349 triliun. Artinya, format surat Kepala PPATK sampaikan kepada kami dalam bentuk rekap itu belum pernah terjadi," tuturnya.

Hanya Rp 3,3 Triliun dari Kemenkeu

Setelah melakukan penyidikan, Sri Mulyani menjelaskan, nilai transaksi janggal yang menjerat Kemenkeu selama 14 tahun hanya sekitar Rp 3,3 triliun.

"Jadi yang benar-benar nanti berhubungan dengan Pegawai Kemenkeu itu Rp 3,3 triliun. Ini 2009 hingga 2023," ujar Sri Mulyani.

Menurut penjelasannya, ngka Rp 349 triliun merupakan total transaksi yang dianalisa oleh PPATK periode 2009-2023. Laporan tersebut disampaikan PPATK ke Kementerian Keuangan dan aparat penegak hukum.

Sebanyak 100 surat yang disampaikan PPATK ke aparat penegak hukum, nilai transaksinya sebesar Rp 74 triliun. Sementara surat yang disampaikan ke Kementerian Keuangan total transaksinya mencapai Rp 253 triliun yang berasal dari transaksi debit kredit operasional perusahaan-perusahaan, dan korporasi yang tidak ada hubungannya dengan pegawai Kementerian Keuangan.

"Jadi Rp 253 triliun adalah sebetulnya transaksi dari korporasi, Rp 74 triliun itu ada surat PPATK ke APH (aparat penegak hukum)," ucapnya.

"Sehingga yang benar-benar berhubungan dengan kami terkait dengan kalau ini menyangkut tupoksi pegawai Kemenkeu itu ada 135 surat nilainya Rp 22 triliun. Bahkan Rp 22 triliun ini Rp 18,7 triliun itu juga menyangkut transaksi korporasi yang enggak ada hubungan dengan Kemenkeu," imbuh Sri Mulyani.

 

Kata PPATK

Konferensi Pers Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU oleh Menko Polhukam Mahfud MD, Menkeu Sri Mulyani dan Ketua PPATK Ivan Yustiavandana, Senin (10/4/2023).
Konferensi Pers Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU oleh Menko Polhukam Mahfud MD, Menkeu Sri Mulyani dan Ketua PPATK Ivan Yustiavandana, Senin (10/4/2023).

Di luar Mahfud MD dan Sri Mulyani, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana turut menjelaskan asal usul Rp 349 triliun transaksi mencurigakan yang dilaporkan ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Ivan mengatakan, Rp 349 triliun tersebut bukan merupakan tindak pidana yang terjadi di Kemenkeu. Tetapi laporan yang disampaikan kepada Kemenkeu yang memiliki kewenangan melakukan penyidikan. Sebab indikasi TPPU tersebut berkaitan dengan kasus impor ekspor sampai perpajakan.

"Itu kebanyakan terkait dengan kasus impor-ekspor, kasus perpajakan. Di dalam satu kasus saja kalau kita bicara ekspor-impor itu bisa lebih dari Rp 100 triliun, lebih dari Rp 40 triliun, itu bisa melibatkan," ujar Ivan.

Ivan menjabarkan, laporan hasil analisis (LHA) PPATK itu pertama terkait oknum. Kedua, terkait oknum dan institusinya misalnya dalam kasus ekspor impor dan perpajakan.

"Kedua ada LHA yang terkait oknum dan tusinya, misalnya kita temukan kasus-ekpor impor perpajakan, tapi kita ketemu oknumnya," ujar Ivan.

Ketiga, PPATK tidak menemukan oknumnya tetapi temuan dari tindak pidana asal. Tindak pidana asal itu berkaitan dengan ekspor impor dan pajak.

"Jadi tindak pidana asal misalnya kepabeaan, perpajakan, itu yang kita sampaikan kepada penyidiknya," pungkas Ivan Kepala PPATK.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya