Liputan6.com, Jakarta Sudan tengah menjadi sorotan di seluruh dunia, menyusul pecahnya konflik antara militer dan pasukan paramiliter. Sejauh ini, dilaporkan ada sekitar 400 orang yang tewas dalam peristiwa tersebut. Kejadian perang di Sudan bermula pada 15 April lalu.
Dilansir dari BBC, Rabu (26/4/2023) pecahnya perang Sudan bermula pada 15 April lalu, ketika aksi penembakan antara militer dengan kelompok paramiliter terjadi di Khartoum, menyusul ketegangan selama berhari-hari.Â
Baca Juga
Menyusul konflik, disepakati gencatan senjata selama 72 jam yang mulai berlaku tengah malam pada Senin (24/4/2023) waktu setempat.
Advertisement
Iini adalah gencatan senjata ketiga yang diumumkan sejak konlik terjadi. Namun, tidak ada satupun yang dijalankan secara penuh.
Dengan konflik yang memicu kekhawatiran di antara masyarakat lokal maupun internasional, bagaimana kondisi ekonomi Sudan?
Bank Dunia melihat, pemisahan Sudan Selatan telah menyebabkan guncangan ekonomi yang cukup besar, termasuk hilangnya pendapatan dari minyak yang menyumbang lebih dari setengah pendapatan pemerintah Sudan dan 95 persen ekspornya.
Hal ini telah mengurangi pertumbuhan ekonomi Sudan dan mengakibatkan inflasi konsumen di negara itu mencapai dua digit, yang bersamaan dengan kenaikan harga BBM, memicu protes keras pada September 2013.
Mengutip laporan Bank Dunia Macro Poverty Outlook for Sudan per April 2023, pengambilalihan oleh militer pada Oktober 2021 melemahkan aktivitas domestik di Sudan, memperlambat kemajuan terhadap keringanan utang.
Namun pada tahun 2022, Bank Dunia memperkirakan laju kontraksi PDB Sudan akan melambat menjadi 1 persen, yang didorong oleh produksi pertanian dan peternakan yang stabil dan pertumbuhan moderat dalam ekspor emas.
Untuk tahun 2022, Bank Dunia mencatat, PDB Sudan adalah sebesar USD 51,7 miliar dan PDB per kapita Sudan USDÂ 1.102,2.
Sementara untuk tahun 2023, perekonomian Sudan diperkirakan akan pulih pada laju yang lemah sebesar 0,4 persen, hal ini dikarenakan lambannya resolusi krisis politik dan sosial yang meluas, serta kerusuhan dan ketidakamanan yang terus berlanjut.Â
Bank Dunia memprediksi rata-rata PDB Sudan akan menyentuh 2 persen antara tahun 2023 dan 2025, didorong dengan meningkatnya hasil pertanian dan ekspor peternakan, serta pertambangan dan jasa.
Inflasi di Sudan
Bank Dunia mencatat, inflasi Sudan diperkirakan akan terus menurun, dengan upaya otoritas negara itu untuk menahan defisit fiskal dan membatasi monetisasi.
Inflasi tahunan rata-rata Sudan telah menurun dari 359,7 persen pada 2021 menjadi 164,2 persen pada tahun 2022, didorong oleh perlambatan basis pertumbuhan uang karena berkurangnya monetisasi. Permintaan domestik yang lemah juga berkontribusi terhadap lambatnya inflasi.
Namun, inflasi Sudan diperkirakan akan tetap tinggi mengingat kekurangan pasokan domestik ditambah dengan impor yang tinggi serta harga barang konsumsi dan input produksi.
Advertisement
Kemiskinan di Sudan
Adapun cadangan internasional bruto Sudan yang menurun menjadi sekitar USD1,2 miliar pada tahun 2022 (1,4 bulan impor) dari USD 1,63 miliar pada akhir 2021.
Meskipun statistik kemiskinan resmi tidak tersedia setelah 2014, persentase dari penduduk Sudan yang hidup dengan biaya kurang dari USD 2,15 per hari (PPP 2017) diperkirakan meningkat dari 20,4 persen pada tahun 2018 menjadi 32,9 persen pada tahun 2023, menurut Bank Dunia.
Badan itu mengatakan, krisis yang berlarut-larut berkontribusi pada peningkatan kemiskinan ekstrem di Sudan yang diperkirakan sebesar 12 poin persentase.
Penyebab Konflik Sudan yang Kini Tewaskan Lebih dari 400 Warga Sipil
Sudan memanas. Negara ini kini dilanda bentrokan antara militer dan pasukan paramiliter. Sedikitnya sekitar 400 orang dilaporkan tewas.
Lantas, apa penyabab perang Sudan?
Dikutip dari laman BBC, Selasa (25/4/2023) penyebab perang Sudan bermula ketika negara tersebut dilanda kudeta tahun 2021. Sejak itu, Sudan dijalankan oleh dewan jenderal, yang dipimpin oleh dua orang petinggi militer, yang kemudian menjadi cikal bakal perselisihan ini.
Mereka adalah Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, kepala angkatan bersenjata dan presiden negara itu dan wakilnya serta pemimpin RSF, Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, lebih dikenal dengan nama Hemedti.
Masalah utama adalah rencana untuk memasukkan sekitar 100.000 Rapid Support Forces (RSF) ke dalam tubuh tentara, dan siapa yang kemudian akan memimpin pasukan baru tersebut.
Mengapa dan Kapan Perang di Sudan Pecah?
Aksi penembakan menjadi pemicu konflik Sudan, tepatnya pada tanggal 15 April setelah ketegangan berhari-hari terjadi.
Kala itu, anggota RSF ditempatkan kembali di seluruh negeri dalam suatu tindakan yang dianggap oleh tentara negara sebagai bentuk ancaman.
Ada harapan bahwa pembicaraan dapat menyelesaikan situasi tetapi ini tidak pernah terjadi.
Masih diperdebatkan siapa yang melepaskan tembakan pertama tetapi pertempuran dengan cepat meningkat di berbagai bagian negara. Akibatnya, lebih dari 400 warga sipil tewas, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Mengapa Warga Sipil Terjebak?
Meskipun konflik tampaknya berada di bawah kendali instalasi, namun hal ini banyak menimbulkan efek besar, terutama di daerah perkotaan. Bahkan, warga sipil menjadi korban.
Tidak jelas di mana pangkalan RSF berada, tetapi anggota mereka kerap pindah ke daerah padat penduduk.
Angkatan udara Sudan telah melakukan serangan udara di ibu kota, sebuah kota berpenduduk lebih dari enam juta orang, yang kemungkinan besar telah menyebabkan korban sipil.
Beberapa gencatan senjata telah diumumkan untuk memungkinkan orang-orang melarikan diri dari pertempuran tetapi hal ini belum dipatuhi.
Advertisement