Jokowi Buka Keran Ekspor Pasir Laut, Pengamat: Rakyat Kecil Rugi

Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken aturan yang membolehkan adanya kegiatan ekspor pasir laut. Sayangnya, kebijakan ini dinilai akan berdampak negatif pada masyarakat kecil dan pesisir kedepannya.

oleh Arief Rahman H diperbarui 30 Mei 2023, 17:40 WIB
Diterbitkan 30 Mei 2023, 17:40 WIB
Pantai pasir putih situbondo
Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken aturan yang membolehkan adanya kegiatan ekspor pasir laut. Sayangnya, kebijakan ini dinilai akan berdampak negatif pada masyarakat kecil dan pesisir kedepannya.

Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken aturan yang membolehkan adanya kegiatan ekspor pasir laut. Sayangnya, kebijakan ini dinilai akan berdampak negatif pada masyarakat kecil dan pesisir kedepannya.

Pengamat Maritim dari Ikatan Alumni Lemhanas Strategic Center (IKAL SC) Marcellus Hakeng Jayawibawa menilai kehadiran Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo tersebut terkesan seperti dipaksakan.

"Karena dengan lahirnya PP tersebut, dalam pandangan saya malah berpotensi merugikan Indonesia dalam jangka panjang. Salah satu perhatian utama saya adalah mengenai rencana pemerintah untuk membuka kembali ekspor pasir laut, yang saya khawatirkan akan berdampak negatif pada masyarakat kecil, terutama nelayan dan masyarakat pesisir, sementara hanya memberikan keuntungan kepada pengusaha besar," ujarnya kepada Liputan6.com, Selasa (31/5/2023).

Ekspor Dibuka Usai 20 Tahun Dilarang

Dia turut merujuk pada terbitnya Surat Keputusan (SK) Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003. Beleid itu menyetop sementara ekspor pasir laut. Pertimbangan utamanya adalah kelestarian kehidupan laut. Namun, 20 tahun berselang, Jokowi kembali mengizinkan ekspor pasir laut.

"Oleh karena itu, pada kesempatan ini, saya ingin mengusulkan serta mengingatkan agar Peraturan Pemerintah tersebut dapat ditangguhkan pelaksanaannya atau ditinjau kembali," kata dia.

Terutama, kata Marcellus, terkait dengan kajian AMDAL yang perlu dilakukan sebelum mengeluarkan peraturan yang dinilai bertabrakan dengan SK Menteri sebelumnya. Pada skala yang lebih besar, sia menilai kalau langkah ini tak sejalan tujuan Indonrsia menjadi Poros Maritim Dunia.

"Terutama mengingat komitmen Presiden Jokowi untuk menciptakan laut yang sehat dan memperluas wilayah konservasi tentunya akan terdampak dengan aktivitas pengerukan tersebut," paparnya.

 

Nelayan Rugi

Perahu-perahu nelayan di Pantai Pasir, Ayah, Kebumen, rusak akibat berbenturan usai dihantam gelombang tinggi. (Foto: Liputan6.com/BPBD Kebumen/Muhamad Ridlo)
Perahu-perahu nelayan di Pantai Pasir, Ayah, Kebumen, rusak akibat berbenturan usai dihantam gelombang tinggi. (Foto: Liputan6.com/BPBD Kebumen/Muhamad Ridlo)

Lebih lanjut, Marcellus menilai ada dampak negatif yang cukup berarti dari sisi ekonomi. Sebut saja bagi kelompok masyarakat nelayan dan masyarakat di pesisir pantai.

Pengerukan pasir dengan skala besar akan berpengaruh langsung ke dua kelompok ini. Sebut saja, hasil penangkapan ikan yang disinyalir akan ikut menurun seiring kegiatan pengerukan pasir.

"Wilayah penangkapan ikan nelayan akan terganggu oleh aktivitas kapal yang melakukan penambangan pasir laut. Hal ini akan signifikan mengurangi pendapatan nelayan dari penangkapan ikan di wilayah tersebut," urainya.

Selain itu, penambangan pasir laut yang tidak terkendali juga dapat merusak sumber daya perikanan. Lalu, mengurangi produktivitas ekosistem perairan yang terkait dengan pasir laut.

"Namun demikian, juga dari sisi ekonomi, kita harus jujur mengatakan bahwa penambangan dan ekspor pasir laut dapat memberikan beberapa manfaat jika dilakukan secara terukur. Seperti dapat meningkatkan devisa negara dan menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar," jelasnya.

 

Tak Menguntungkan

Nelayan Muara Angke Keluhkan soal Pulau G
Seorang nelayan mencari ikan di kawasan Pulau G Reklamasi, Muara Angke, Jakarta Utara, Kamis (31/10/2019). Batu pondasi cakar ayam yang berfungsi untuk menahan pasir reklamasi terbawa arus sehingga sering membuat kapal nelayan tersangkut di Pulau Reklamasi itu. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Diberitakan sebelumnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi meneken aturan yang membolehkan adanya kegiatan ekspor pasir laut dari Indonesia. Namun, dampak terhadap ekonominya dinilai tidak akan terlalu signifikan.

Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi menilai, dampak terhadap ekonomi nya tidak sebanding dengan dampak buruk sisi ekologinya. Sehingga, itu disebut tak bisa jadi perbandingan.

Belum lagi jika dibandingkan dengan komoditas mineral yang memiliki nilai cukup besar. Misalnya, komoditas batu bara atau nikel yang juga diekspor oleh Indonesia.

"Pasir laut itu kan anu, kalau batu bara kan jelas ya, itu kan mineral ya. Nilainya itu signifikan lah, kalau pasir ya, tentu ada harganya, tapi kan tidak sebanding kenapa harus jadi bisnis ini?," ujar dia kepada Liputan6.com, Selasa (31/5/2023).

"Jual pasir kan ton-an, 1 ton pasir, tentu harganya tidak sama dengan satu ton batu bara, satu ton nikel, begitu. Karena apa? Ya pasir, kan gitu," sambungnya.

Dia mengisahkan, dampak buruk terhadap lingkungan dari kegiatan mengeruk pasir laut tak bisa dinilai dengan uang. Atas dasar ini juga nilai ekonomi yang digadang dari ekspor pasir laut dinilai tak sebanding.

"Jadi menurut saya dampak ekonomi yang digadang-gadang itu ya tentu kepada investor ya yang akan menjadi pengusaha nya ya, enggak signifikan juga. Jadi ya sudahlah rusak libgkungan dampak ekonominya salam bentuk penghasilan ya gak signifikan juga," paparnya.

 

Jokowi Bolehkan Ekspor Pasir Laut

Nelayan Muara Angke Keluhkan soal Pulau G
Suasana kawasan Pulau G Reklamasi, Muara Angke, Jakarta Utara, Kamis (31/10/2019). Batu pondasi cakar ayam yang berfungsi untuk menahan pasir reklamasi terbawa arus sehingga sering membuat kapal nelayan tersangkut di Pulau Reklamasi itu. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Diberitakan sebelumnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Salah satu isi dari aturan ini adalah memperbolehkan ekspor pasir laut.

Dikutip dari aturan tersebut, Senin (29/5/2023), aturan ini dirilis sebagai upaya pemerintah dalam bertanggung jawab untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2O14 tentang Kelautan.

Selain itu, aturan ini juga untuk perlindungan dan pelestarian lingkungan laut serta untuk mendukung keterpeliharaan daya dukung ekosistem pesisir dan laut, sehingga meningkatkan kesehatan laut.

Menarik, dalam Pasal 9 PP Nomor 26 Tahun 2023 ini, hasil sedimen di laut dapat dimanfaatkan untuk empat hal. Sedimen laut tersebut didefinisikan sebagai pasir laut dan atau material sedimen lain berupa lumpur.

Rinciannya adalah:

• Reklamasi di dalam negeri;

• Pembangunan infrastruktur pemerintah;

• Pembangunan prasarana oleh pelaku usaha; dan/atau

• Ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Meski pasir laut diperbolehkan diekspor, ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi pelaku usaha. Misalnya perizinan, syarat penambangan pasir laut, hingga ketentuan ekspor karena menyangkut bea keluar.

Aturan ini ditetapkan di Jakarta pada tanggal 15 Mei 2023 oleh Presiden Joko Widodo dan diundangkan pada 15 Mei 2023 oleh Menteri Sekretaris Negara Pratikno.

 

Ekspor Pasir Laut Dihentikan Sejak 2003

Pencari Kerang di Pesisir Pantai Pulau Pasir
Warga mencari kerang laut di pesisir pantai Pulau Pasir, Lombok Timur, Sabtu (3/8/2019). Mereka mulai menangkap kerang ketika Pulau Pasir yang membentang laut akan tampak ketika air laut surut. (Liputan6.com/Fery Pradolo)

Pemerintah sebelumnya sudah melarang total ekspor pasir laut sejak 2003 melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) Nomor 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.

Dituliskan dalam Surat Keputusan yang ditandatangani Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Sumarno pada 28 Februari 2003 disebutkan alasan pelarangan ekspor untuk mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas.

Kerusakan lingkungan yang dimaksud berupa tenggelamnya pulau-pulau kecil, khususnya di sekitar daerah terluar dari batas wilayah Indonesia di Kepulauan Riau sebagai akibat penambangan pasir laut.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya