Pungutan Ekspor CPO periode 16–30 Juni 2023 Dipatok USD 723,45 per MT

Penurunan Harga Referensi CPO dipengaruhi beberapa faktor, antara lain melambatnya permintaan atas kelapa sawit dunia akibat peningkatan stok.

oleh Arthur Gideon diperbarui 17 Jun 2023, 19:19 WIB
Diterbitkan 17 Jun 2023, 19:19 WIB
Potret Pekerja Perkebunan Kelapa Sawit di Aceh
Nilai Pungutan Ekspor CPO ini turun USD 88,23 atau 10,87 persen dibanding periode 1–15 Juni 2023 yang tercatat USD 811,68/MT. (AFP Photo/Chaideer Mahyuddin)

Liputan6.com, Jakarta- Kementerian Perdagangan (Kemendag) menetapkan Harga Referensi (HR) produk minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO) untuk penetapan Bea Keluar (BK) dan tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BLU BPD-PKS) atau biasa disebut Pungutan Ekspor (PE) periode 16–30 Juni 2023 yakni USD 723,45 per MT.

Nilai ini turun USD 88,23 atau 10,87 persen dibanding periode 1–15 Juni 2023 yang tercatat USD 811,68/MT.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Budi Santoso menjelaskan, penetapan ini tercantum dalam Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 1040 Tahun 2023 tentang Harga Referensi Crude Palm Oil yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit periode 16–30 Juni 2023.

“Saat ini HR CPO turun menjauhi ambang batas sebesar USD 680/MT. Merujuk pada PMK yang berlaku saat ini maka pemerintah mengenakan BK CPO sebesar USD 3/MT dan PE CPO sebesar USD 65/MT untuk periode 16—30 Juni 2023,” kata Budi Santoso dalam keterangan tertulis, Sabtu (17/6/2023).

BK CPO periode 16–30 Juni 2023 merujuk pada kolom angka 3 lampiran huruf C Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK/0.10/2022 jo. Nomor 123/PMK.010/2022 sebesar USD 3/MT.

Sementara itu, PE CPO periode tersebut merujuk pada lampiran huruf C Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103/PMK.05/2022 jo. Nomor 154/PMK.05/2022 sebesar USD 65/MT. Nilai BK dan PE CPO tersebut menurun dibandingkan periode 1–15 Juni 2023.

Menurut Budi, penurunan HR CPO dipengaruhi beberapa faktor, antara lain melambatnya permintaan atas kelapa sawit dunia akibat peningkatan stok.

Selain itu, terjadi penurunan harga minyak nabati lainnya seperti kedelai yang menyebabkan menurunnya ekspor kelapa sawit dari Malaysia, penurunan kurs Ringgit Malaysia terhadap Dolar Amerika Serika, serta kekhawatiran pasar terkait peningkatan pasokan produksi kelapa sawit global dari Indonesia dan Malaysia.

Austindo Nusantara Jaya Bidik Produksi CPO Tumbuh hingga 8 Persen

20160308-Ilustrasi-Kelapa-Sawit-iStockphoto
Ilustrasi Kelapa Sawit (iStockphoto)

PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (ANJT) membidik peningkatan produksi CPO sekitar 7-8 persen pada 2023.

Wakil Direktur Utama Austindo Nusantara Jaya Geetha Govindan mengatakan, pihaknya optimistis produksi bisa meningkat. Sebab, harga CPO diproyeksikan bakal naik hingga akhir tahun ini.

"Target produksi 2023 kita perkirakan akan mencapai lebih kurang 7-8 persen lebih besar dari 2022. CPO yang akan kita kejar dan akan dapat hampir 255 ribu ton CPO pada 2023," kata Geetha dalam paparan publik, ditulis Kamis (8/6/2023).

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama Austindo Nusantara Jaya Lucas Kurniawan mengatakan, pihaknya tidak bisa menentukan harga. Maka sebab itu, hal yang bisa perusahaan lakukan adalah mengendalikan biaya alias efisiensi.

"Contohnya, kami melakukan pengolahan limbah yang bisa digunakan kembali dengan pengolahan kembali pembelian pupuk dapat berkurang," kata Lucas.

Sementara itu, Direktur Keuangan Austindo Nusantara Jaya, Nopri Pitoy mengatakan, harga CPO nampak cukup bullish pada 2023.

"Untuk harga 2023 kita lihat tajam koreksinya, jadi tadinya 2023 outlook CPO cukup bullish sekitar USD 800 itu di rapat GAPKI 2022. Kalau kita lihat penurunan di kita 20 persen daripada 2022. Pada 2022 kita peroleh USD 850, kalau turun 20 persen bisa di USD 700," imbuhnya.

Faktor yang Pengaruhi Harga CPO

Dengan demikian, ia menilai proyeksi harga CPO dalam jangka panjang tetap bullish. Adapun, beberapa faktor yang menentukan peningkatan harga CPO, yakni gangguan pasukan dan krisis energi karena ketegangan politik berkepanjangan di Ukraina-Rusia serta China-Taiwan.

Selain itu, kekurangan pasokan karena tingkat penanaman yang rendah dalam beberapa tahun terakhir, moratorium konsesi baru serta standar keberlanjutan yang lebih ketat dan kebijakan biodiesel yang mendukung di Brazil, Indonesia dan Malaysia.

Ia juga mengatakan, potensi El Nino berpotensi mengganggu produksi CPO dan pasokan global dan pembukaan kembali aktivitas ekonomi China akan menentukan harga CPO pada masa mendatang.  

infografis journal
infografis 10 Daerah Penghasil Kelapa Sawit Terbesar di Indonesia pada 2021. (Liputan6.com/Tri Yasni).
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya