Liputan6.com, Jakarta Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Nilai Tukar Petani (NTP) Juli 2023 sebesar 110,64 atau naik sebesar 0,21 persen dibandingkan bulan sebelumnya.
"Kenaikan NTP ini terjadi pada indeks harga yang diterima petani atau IT naik sebesar 0,34 persen lebih besar dari kenaikan indeks harga yang dibayarkan petani atau IB sebesar 0,13 persen," kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini, dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (1/8/2023).
Baca Juga
Adapun 4 komoditas yang menyumbangkan kenaikan indeks harga yang diterima petani, yaitu kelapa sawit, gabah, kopi, kakao, atau cokelat biji.
Advertisement
Ia mengatakan, peningkatan NTP tertinggi terjadi pada sub sektor tanaman perkebunan rakyat. BPS mencatat NTP tanaman perkebunan rakyat naik sebesar 1,34 persen.
"Kenaikan ini terjadi karena indeks harga yang diterima petani naik sebesar 1,52 persen, ini lebih besar dari kenaikan indeks harga yang dibayarkan petani yang mengalami kenaikan 0,81 persen," jelasnya.
4 Komoditas Dominan
Terdapat empat komoditas dominan yang mempengaruhi kenaikan indkes harga yang diterima petani sub sektor tanaman perkebunan rakyat ini diantaranya, kelapa sawit, kopi, kakao, dan karet.
Sementara itu, penurunan NTP terdalam terjadi pada sub sektor hortikultura. NTP hortikultura turun 3,22 persen.
"Penurunan terjadi karena indeks harga yang diterima petani turun sebesar 3,09 persen, sedangkan IB mengalami kenaikan 0,13 persen. Empat komoditas yang dominan memengaruhi penurunan IT sub sektor horti adalah bawang merah, cabai rawit, tomat, dan petai," pungkasnya.
Sederet Komoditas Ekspor Indonesia Ini Kena Imbas UU Anti Deforestasi Uni Eropa
Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan (Zulhas) secara terbuka mengkritik keputusan Uni Eropa untuk mengadopsi Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa atau Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR).
Memang, undang-undang tersebut kemungkinan akan menghambat perdagangan produk-produk tertentu dari Indonesia, yaitu kelapa sawit, kopi, kakao, kayu dan karet, termasuk ternak dan turunannya.
Ia yakin kebijakan yang disertai perlindungan lingkungan akan merugikan jutaan petani skala kecil di Indonesia. Undang-undang tersebut berpotensi diskriminatif, katanya, terutama dalam menentukan kelompok negara mana yang dianggap berisiko tinggi. Hal ini dapat mengakibatkan produk yang dibuat dari bahan baku ini dimasukkan dalam daftar hitam.
"Kebijakan antideforestasi Uni Eropa berpotensi menghambat perdagangan dan merugikan petani kita. Meliputi sekitar 8 juta petani kecil," katanya dalam dalam FoodAgri CNCB Indonesia, 'Melawan UU Anti-Deforestasi Uni Eropa', Selasa (1/8/2023).
"Kami akan meminta klarifikasi kepada Uni Eropa terkait kebijakan antideforestasi yang juga multiinterprestasi," sambungnya.
Advertisement
Perundingan
Untuk itu, kata dia, salah satu langkah yang dilakukan Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk merundingkan masalah ini adalah merundingkan rencana kerja sama ekonomi komprehensif Indonesia - Uni Eropa (I-EU CEPA).
Kemudian, sudah terkumpul 14 negara menandatangani tanda keberatan sehingga, bisa menentutkan apakah hal ini diskriminatif ke The World Trade Organization (WTO).
"Di forum multilateral kita aktif menyuarakan dan mengangkat isu ini dengan anggota WTO lainnya, Malaysia. Sebelumnya kita sudah menginisiasi surat keberatan dengan 14 negara. Target kita memperoleh sebanyak-banyaknya dukungan untuk Indonesia. Indonesia juga memiliki hak ke WTO," katanya.
Kemudian, Menurut Zulhas pentingnya kesadaran juga pemahaman masalah ini sangat penting. Perjuangan di forum internasional harus juga berimbang. kemendag juga konsisten dalam mengkomunikasikan kontribusi Indonesia terhadap perubahan iklim dan Kemendag siap mendukung upaya tersebut.
"Kesadaran dan pemahaman yang baik atas isu ini sangat penting. Perjuangan kita di forum internasional perlu diimbangi. Kita juga konsisten menyampaikan kontribusi Indonesia dalam perubahan iklim dan Kemendag siap mendukung upaya-upaya tersebut," pungkas Zulhas.