Liputan6.com, Jakarta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif memasang mata terhadap penetapan harga gas murah untuk industri di Malaysia. Pasalnya, Negeri Jiran bisa menetapkan harga gas bumi tertentu (HGBT) lebih murah ketimbang di Indonesia.
Arifin menilai, secara bisnis produksi minyak dan gas (migas) di tiap lapangan berbeda. Itu juga turut mempengaruhi ongkos dan faktor lainnya. Dalam hal ini, Malaysia bisa menetapkan harga gas lebih rendah daripada HGBT untuk 7 sektor industri di Tanah Air senilai USD 6 per MMBTU.
Baca Juga
"Nah kita benchmark dengan misalnya harga gas di mMalaysia, variannya angkanya USD 3 sampai 6-7 (per MMBTU)," ujar Arifin di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (4/8/2023).
Menurut dia, luas wilayah Malaysia memang tidak terlalu besar. Ditambah adanya sumber gas dari wilayah Serawak yang dekat dengan Kalimantan Utara. "Kita sedang pelajari bagaimana bisa mengatur pada benchmark yang demikian," imbuhnya.
Advertisement
Thailand dan Vietnam
Tak hanya Malaysia, Pemerintah RI juga bakal mencontek penetapan harga gas murah di negara tetangga lain. "Kita juga kaji Thailand, Vietnam kita akan kaji," kata Arifin.
Adapun untuk pemanfaatan harga gas murah di 7 sektor industri, Arifin menambahkan, realisasinya saat ini belum optimal di kisaran 85 persen. Untuk memperbesar, ia buka opsi untuk memperluas penyaluran untuk sektor industri lain.
"Jadi dari seluruh volume yang dialokasikan ini yang akan kita optimalkan dulu. Ya mungkin kita extend ke industri sejenis yang belum bisa mendapatkan. Sehingga bisa mentok tuh alokasinya yang 100 persen," tuturnya.
Â
SKK Migas Bantah Batasan Harga Gas Bikin Sektor Hulu Menderita
Sejumlah pengusaha gas di sektor hulu (upstream) dan tengah (midstream) mengeluhkan kebijakan insentif harga gas bumi tertentu (HGBT), lantaran dianggap hanya menguntungkan sisi hilir (downstream) saja.
Terdapat 7 sektor industri yang dikenai patokan harga gas bumi di bawah harga keekonomian, senilai USD 6 per mmBtu. Antara lain, industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.
Namun, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menilai, ketentuan itu tidak akan menghambat pengembangan di sektor industri hulu gas.
Wakil Kepala SKK Migas Nanang Abdul Manaf mengatakan, masih lebih banyak pelaku di hulu yang bisa menjual gas sesuai harga pasar. Sementara hanya sekitar 30 persen sektor industri yang terkena HGBT.
"Berapa persen sih porsinya untuk yang HGBT? Lebih besar yang B2B gas yang memang mengikuti harga pasar, dan sesuai drngan perjanjian antara penjual dan pembeli. Mungkin tidak sampai 30 persen yang kita aplikasikan HGBT," jelasnya di sela-sela acara IPA Convex 2023, Kamis (27/7/2023).
Nanang menilai, kebijakan HGBT justru jadi peluang bagi kontraktor hulu migas untuk menjual produknya dengan harga lebih tinggi ke daerah-daerah yang kekurangan gas.
Peluang lainnya, pelaku industri hulu juga bisa memanfaatkan potensi ekspor gas alam cair (LNG) bila kebutuhan di pasar domestik sudah terpenuhi.
"Itu banyak hal, termasuk gas pipa yang kita ke Singapura. Sebagian kan beberapa KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) juga menjual melalui Singapura. Sehingga harganya kalo di-blend tetep tinggi," tuturnya.Â
Advertisement
Harga Gas Industri Resmi Naik, Kementerian ESDM Bongkar Alasannya
Sebelumnya, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) resmi menaikan harga gas untuk sebagian konsumen industri yang mendapat insentif maksimal USD 6 per MMBTU.
Kebijakan kenaikan harga gas tersebut ditetapkan dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 91.K/MG.01/MEM.M/2023 tentang Pengguna Gas Bumi Tertentu dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri.
Dikutip dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 91.K/MG.01/MEM.M/2023, kebijakan kenaikan harga gas berlaku 19 Mei 2023. Akan ada penyesuaian perjanjian jual beli harga gas yang mengalami perubahan antara konsumen dan produsen.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji mengatakan, kenaikan harga gas industri disebabkan oleh kenaikan biaya operasi sumur gas. Kondisi ini menyulitkan pemerintah untuk memotong besaran biaya agar lebih efisien.
"Kalau biaya besar otomatis kita juga enggak bisa potong juga lebih banyak," kata Tutuka di Jakarta, Kamis (15/6/2023).