Pengusaha: Larangan Jual Barang Impor di Bawah Rp 1,5 Juta di Marketplace Langgar Perjanjian WTO

cross-border trading merupakan bentuk perdagangan masa depan dan telah berlaku universal dengan asas resiprokal atau timbal balik sesama negara.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 06 Agu 2023, 19:00 WIB
Diterbitkan 06 Agu 2023, 19:00 WIB
Ilustrasi belanja online, ecommerce, e-commerce, toko online
Pengusaha meminta revisi Permendag No 50 tahun 2020 dibatalkan karena pelarangan perdagangan barang yang berada di bawah harga USD 100 atau kurang lebih Rp 1,5 juta yang dijual secara cross-border melanggar perjanjian WTO. (Foto:Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Pengusaha Logistik E-commerce (APLE) menyoroti rencana Kementerian Perdagangan yang tetap melanjutkan revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, Dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

Perubahan aturan ini dinilai bakal mengancam perdagangan Indonesia dan UMKM, khususnya di tingkat internasional.

Ketua Umum APLE Sonny Harsono menyatakan, ada tiga poin yang harus dikedepankan dalam revisi tersebut. Pertama, mengenai dilarangnya perdagangan barang yang berada di bawah harga USD 100 atau kurang lebih Rp 1,5 juta yang dijual secara cross-border harus dibatalkan.

Sebab, proteksi dengan cara pelarangan dapat dikategorikan melanggar prinsip-prinsip perdagangan internasional sesuai kesepakatan bersama berdasarkan perjanjian World Trade Organization (WTO) sebagai organisasi perdagangan dunia.

"Oleh karena itu apabila dilanggar, Indonesia akan menghadapi kesulitan dalam kancah perdagangan internasional," ujar Sonny, Minggu (6/8/2023).

Perdagangan Masa Depan

Kedua, Sonny meningatkan bahwa cross-border trading merupakan bentuk perdagangan masa depan dan telah berlaku universal dengan asas resiprokal atau timbal balik sesama negara.

Saat ini, ia menyebut UMKM Tanah Air telah menikmati dan sangat diuntungkan sebagai merchant ekspor secara cross-border ke enam negara ASEAN.

"Apabila terjadi pelarangan impor ke Indonesia, maka keberlangsungan bisnis puluhan juta UMKM dengan pasar ekspor pun akan terancam. Sebab, ada asas resiprokal yang diterapkan oleh negara-negara lain," ungkapnya.

Pemasukan Negara 

Poin ketiga dalam hal pemasukan negara, Sonny menyarankan pajak atas barang hasil impor cross-border dinaikkan, bukan dilarang tindakan impornya. Pasalnya, ada pemasukan negara dari pajak triliunan setahun dari proses importasi cross-border ini.

"Dan, sebenarnya telah digunakan sistem delivery duty paid (DDP) dengan menerapkan e-catalog. Untuk memastikan pemenuhan pembayaran bea masuk dan pajak impor barang e-commerce. Sistem ini pun diakui sebagai yang terbaik di Kawasan ASEAN," imbuhnya.

Sonny pun mengingatkan, pembeli barang impor cross-border bukanlah market UMKM karena barang-barang tersebut tidak tersedia di dalam negeri. Pembelinya pun harus menunggu delapan sampai sepuluh hari.

"Kecil kemungkinannya barang yang diperdagangkan adalah barang yang bersentuhan dengan produk UMKM. Lazimnya, produk UMKM dapat diperoleh dengan mudah di dalam negeri," kata Sonny.

"Revisi aturan oleh pemerintah mengenai kebijakan impor ini tidak mempertimbangkan, apabila keran jalur resmi impor e-commerce cross-border ditutup, maka barang tersebut pasti akan diimpor secara ilegal," pungkasnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Mendag: Larangan Jual Barang Impor di Bawah Rp 1,5 Juta Hanya Berlaku di Marketplace

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Mendag Zulhas) usai membuka pasar murah Bazar ramadhan di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (4/4/2023).
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Mendag Zulhas) usai membuka pasar murah Bazar ramadhan di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (4/4/2023).  

Sebelumnya, Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan alias Zulhas mengatakan, perubahan dari peraturan Menteri Perdagangan 50/2020 tentang Ketentuan Terkait Perizinan Usaha, Iklan, Pembinaan dan Pengawasan Agen Niaga Dalam Perdagangan masih dalam proses.

Hingga kini, Mendag berkata, aturan mengenai sistem perdagangan elektronik itu masih dalam harmonisasi bersama Kementerian Perindustrian (Kemenperin) serta Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (KemenkopUKM).

"Revisi permendag sudah selesai sekarang tanggal 1 lagi diharmonisasi berarti hari ini di Kemenkumham," Kata Mendag Zulhas di Jakarta, pada Selasa (1/7/2023).

"Iya (cross border), itu saja," sambungnya

Kemudian, Ketua Partai Amanat Nasional (PAN) itu menambahkan, Kemendag tidak mengizinkan para social commerce dari luar negeri bisa menjual produk impor di bawah harga USD 100 atau Rp 1,5 juta. Juga, karena adanya perjanjian lisensi yang berbeda, dilarangnya bagi platform digital menjadi produsen.

"Kalau misalnya A di marketplace dia tidak bisa menjadi produsen karena izinnya lain lembaganya dia beda," papar Mendag Zulhas.

Harus Bayar Pajak

Selanjutnya, pemerintah juga mewajibkan social commerce memiliki izin usaha dan harus membayar pajak.

"Perlakuannya nanti harus sama dengan UMKM kita, perizinan, bayar pajak. Kalau diimpor barang harus bayar pajak gitu ya," pungkasnya.


Ketua MPR Dukung Revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020

Sedangkan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mendukung keputusan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Teten Masduki yang mendesak agar Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 50/ 2020 tentang Ketentuan Terkait Perizinan Usaha, Iklan, Pembinaan dan Pengawasan Agen Niaga dalam transaksi elektronik,untuk segera diperbaiki.

Dalam isi pemendag yakni adanya larangan ritel online perdangangan melalui lintas batas. Semata-mata hal ini bisa melindungi UMKM di dalam negeri dari gempuran dunia maya, khususnya social commerce Project S TikTok Shop.

Menurutnya, apapun produk dari luar negeri yang masuk ke Indonesia wajib hukumnya mematuhi sistem impor pada umumnya tanpa pengecualian.

"Selain diatur melalui Permendag, pemerintah juga perlu membuat peraturan yang lebih tinggi melalui Peraturan Pemerintah (PP) untuk membatasi dan melindungi penggunaan data pribadi oleh platform digital, sekaligus sebagai turunan dari UU No.27/2022 tentang Perlindungan Data Pribadi. Mengingat saat ini, platform digital dengan mudahnya mengumpulkan berbagai data pribadi yang diakses melalui handphone," Jelas Bamsoet dalam Forum Bisnis Ikatan Alumni UPN Veteran Yogyakarta.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya