Liputan6.com, Jakarta Belanda memasuki daftar negara di zona euro yang masuk ke jurang resesi. Ekonomi Belanda telah memasuki resesi karena menyusut 0,3Â persen secara triwulanan di kuartal kedua 2023, menurut perkiraan pertama yang diterbitkan oleh Statistik Belanda.
Melansir US News, Jumat (18/8/2023), negara ekonomi terbesar kelima di zona euro itu menyusut untuk kuartal kedua berturut-turut, setelah mengalami kontraksi 0,4 persen dalam tiga bulan pertama tahun ini.
Baca Juga
Sebelumnya, pada 2021 dan 2022 lalu, ekonomi Belanda sempat dalam pemulihan cepat dari kemerosotan akibat COVID-19, hampir menyentuh 5 persen.
Advertisement
Resesi pertama sejak pandemi didorong oleh penurunan belanja konsumen dan ekspor, karena lonjakan inflasi mendorong harga pangan dan tagihan energi di Belanda serta mitra dagangnya.
Pengeluaran konsumen Belanda turun 1,6 persen, sementara ekspor 0,7Â persen lebih rendah dari tiga bulan pertama tahun ini.
Namun, inflasi di Belanda telah menurun sejak mencapai puncak 14,5Â persen pada September tahun lalu, namun masih relatif tinggi di sekitar 6 persen pada kuartal kedua 2023.
Selain Belanda, Italia juga menghadapi kontraksi ekonomi pada kuartal II 2023, mengalami penyusutan hingga 0,3 persen. Sebelumnya, ekonomi negara itu sempat tumbuh 0,6 persen di kuartal I.
Dilaporkan pejabat statistik Italia mengaitkan penurunan PDB dengan penurunan permintaan domestik, sementara ekspor bersih gagal berkontribusi pada pertumbuhan.
Jika tidak melanjutkan kontraksi, Dana Moneter Internasional memprediksi PDB Italia akan naik 1,1 persen di tahun ini.
Resesi Masih Hantui Eropa, Ekonomi Italia Terkontraksi 0,3 Persen Kuartal II 2023
Kawasan zona euro atau Eropa kembali dihantui ancaman resesi, ketika Italia menghadapi kontraksi ekonomi pada kuartal II 2023. Sebelumnya, ekonomi Italia tumbuh 0,6 persen di kuartal I.
Melansir Bloomberg, Selasa (1/8/2023) produk domestik bruto Italia menyusut sebesar 0,3 persen di kuartal II, jauh lebih buruk daripada pertumbuhan nol persen yang diperkirakan oleh analis, dan berbeda dengan ekspansi keseluruhan di kawasan euro.
Pejabat statistik Italia mengaitkan penurunan PDB dengan penurunan permintaan domestik, sementara ekspor bersih gagal berkontribusi pada pertumbuhan.
Data menggambarkan bagaimana aktivitas di negara ekonomi terbesar ketiga zona euro mulai terdampak kenaikan suku bunga, melemahnya permintaan ekspor global dan kembalinya dukungan fiskal.
Kontraksi PDB Italia menyusul seruan kebijakan ekonomi pemerintahan Perdana Menteri Giorgia Meloni yang mendorong ekspansi lebih cepat dari Prancis dan Jerman.
Bulan lalu, Menteri Keuangan Italia Giancarlo Giorgetti mengklaim bahwa ekonomi negaranya dapat mencapai pertumbuhan hingga 1,4 persen pada tahun 2023, didukung oleh ledakan turis di musim panas secara penuh, yang terjadi pertama kali sejak pandemi melanda.
Efek itu mungkin masih membantu Italia pada paruh kedua tahun ini, tetapi perlambatan global yang dipicu oleh perlambatan di China pada sektor manufaktur cukup memunculkan dampak, sama seperti hal itu juga memukul ekonomi Jerman.
Sebelum Italia, ekonomi Jerman telah mengalami kontraksi selama dua kuartal atau resesi, dengan penyusutan 0,2 persen di akhir 2022 dan berlanjut turun 0,3 persen di kuartal pertama 2023.
Advertisement
Kinerja Pabrik di Italia Sempat Loyo
Pada bulan Juni, pabrik-pabrik di Italia sempat mengalami bulan terburuknya sejak puncak lockdown pandemi pada awal tahun 2020, menurut data survei manajer pembelian negara itu awal bulan ini.
Di zona euro secara keseluruhan, ekonomi tumbuh 0,3 persen pada kuartal kedua, menurut data resmi. Ekonomi Prancis dan Spanyol pun tumbuh, melebihi stagnasi di Jerman dan kontraksi Italia.
Selain perang yang sedang berlangsung di Ukraina dan kelemahan di pasar ekspor China, terdapat ketidakpastian dari Bank Sentral Eropa.
Sementara pengetatan moneter yang paling agresif dalam sejarahnya hampir berakhir, belum diketahui secara jelas apakah masih akan ada kenaikan suku bunga lanjutan.
Yang akan menentukan adalah prospek inflasi. Inflasi utama Eropa melambat menjadi 5,3 persen, dan Italia lebih lambat dari yang diharapkan sebesar 6,4 persen.