Penerapan Energi Bersih Indonesia Kalah Jauh Dibanding India, China, dan Vietnam

Penerapan energi angin dan energi matahari, di mana Indonesia masih jauh dibandingkan India, China, dan Vietnam.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 21 Agu 2023, 19:00 WIB
Diterbitkan 21 Agu 2023, 19:00 WIB
Analis energi Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Putra Adhiguna dalam acara Expert Panel Yayasan Indonesia Cerah pada Senin (21/8/2023). 
Analis energi Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Putra Adhiguna dalam acara Expert Panel Yayasan Indonesia Cerah pada Senin (21/8/2023). 

Liputan6.com, Jakarta - Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menilai, Indonesia dalam hal penerapan energi bersih masih perlu memperbesar upaya dan kemajuan. Penerapan energi bersih Indonesia masih di bawah sejumlah negara lain.

Analis Energi IEEFA Putra Adhiguna memaparkan data dari lembaga think tank energi global asal Inggris, EMBER, yang menunjukkan bahwa Indonesia dan India telah mengadopsi energi bersih sekitar 20 persen dari tahun 2018 hingga 2022.

"Kalau kita berbicara (penerapan) energi bersih Indonesia masih mirip mirip dengan India secara umum," ujar Putra dalam acara Expert Panel Yayasan Indonesia Cerah pada Senin (21/8/2023). 

"(India, China, Indonesia dan Vietnam) semuanya adalah pengguna bahan bakar fosil yang besar. Yang membedakan Indonesia adalah serapan energi terbarukan yang lambat," paparnya.

Adapun penerapan energi dengan angin dan energi matahari, di mana Indonesia masih jauh dibandingkan India, China, dan Vietnam. 

Data dari EMBER menunjukkan, dari tahun 2018 hingga 2022 Indonesia baru menerapkan 0,1 persen energi angin dan solar. 

Sementara India, telah menggunakan energi angin dan solar di kisaran 3 persen mulai tahun 2012 hingga 2016, dan berlanjut hingga sekitar 8 persen pada tahun 2018 hingga 2022.

Kemudian ada China yang sudah menyentuh 9 persen untuk energi angin dan solar.

Adapun Vietnam yang tercatat memiliki penerapan energi angin dan solar tertinggi dari tahun 2018 hingga 2022 sebesar 14 persen.

"Jadi tak ada gunanya kalau Indonesia dibandingkan dengan Norwegia, dan Jerman misalnya (dalam hal penerapan energi terbarukan)," sebutnya.

Area Investasi

Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Hybrid Nusa Penida
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Hybrid Nusa Penida yang mulai beroperasi menjelang gelaran Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 November 2022 lalu, hingga saat ini terus konsisten memasok energi bersih bagi sistem kelistrikan PLN di Bali. (Dok. PLN)

Selain itu, Putra juga menyoroti beberapa area investasi negara di bidang energi berkelanjutan yang perlu menjadi perhatian pemerintah, yaitu industri nikel berkarbon tinggi dalam penyerapan kendaraan listrik global dan PLN Amazon yang menandatangani kesepakatan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya atau PLTS 210 MW di Indonesia. 

"Dagangan Indonesia yang paling favorit yaitu nickel, sudah semakin memunculkan pressure dari sisi ESG (Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola)," jelasnya.

"Kemudian PLN alhamdulillah menandatangani kesepakatan dengan Amazon untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya atau PLTS 210 MW di Indonesia. Hal ini akan menunjukkan bahwa kredibilitas Indonesia untuk tempat investasi akan menjadi faktor yang penting," tambah Putra.

Infografis Optimisme KTT G20 di Tengah Krisis Pangan, Energi, Keuangan
Infografis Optimisme KTT G20 di Tengah Krisis Pangan, Energi, Keuangan (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya