PKPU Jadi Tren Pengambilalihan Aset, Jumlahnya Naik Setiap Tahun

Saat ini PKPU dijadikan sarana yang paling mudah untuk menagih utang.

oleh Gagas Yoga Pratomo diperbarui 25 Sep 2023, 20:48 WIB
Diterbitkan 25 Sep 2023, 20:48 WIB
PKPU dan Kepailitan.
PKPU dan Kepailitan. Webinar Diskursus Kepailitan dan PKPU yang diselenggarakan Indonesia Law and Democracy Studies (ILDES) di Jakarta Senin (24/9/2023).

Liputan6.com, Jakarta Banyak perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang dijadikan upaya untuk penyelesaian kewajiban debitur kepada kreditur. Hal ini karena perusahaan-perusahaan masih terbebani utang buntut dari pandemi.

Namun demikian, PKPU dan Kepailitan kini juga dijadikan upaya untuk mengambil alih aset debitur secara ilegal. “PKPU dan kepalilitan bukan hal baru. Namun sekarang bisa mengarah ke moral hazard, misalnya tidak suka dengan pesaing, orang dengan mudah mendapatkan aset dari pesaingnya dengan harga yang murah,” ujar Pakar Hukum PKPU dan Kepailitan Teddy Anggoro dalam Webinar Diskursus Kepailitan dan PKPU yang diselenggarakan Indonesia Law and Democracy Studies (ILDES) di Jakarta Senin (24/9/2023).

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) itu menambahkan, maraknya PKPU dan Kepailitan karena syarat pengajuannya sudah berubah.

Hal itu terjadi pasca krisis 1998 dimana syarat PKPU dan Kepailitan sebelumnya adalah ketidakmampuan membayar berubah menjadi jumlah debitor yang memiliki tagihan.

“Kepailitan dan PKPU selalu meningkat setiap tahun. Dengan berubahnya syarat kepailitan maka menjadi booming. Masalah Kepailitan bisa membuat orang jadi kaya raya,”paparnya. Biaya kepailitan pun mencapai 22% sehingga berpotensi disalahgunakan.

Dia mengatakan, tak hanya di Indonesia, di dunia pun terjadi hal yang sama. Dengan beberapa kali kejatuhan perekonomian dunia, International Mentary Fund (IMF) menyarankan salah satu cara menagih utang-utang yang tak dapat ditagih maka syaratnya harus diubah menjadi menggunakan syarat minimum kreditur. Hal itu terbukti efektif karena debitur harus menyampaikan proposal perdamaian.

“Tetapi dalam praktiknya banyak Moral Hazard dengan memanfaatkan PKPU ini,”tegasnya. Masalah moral hazard itu harus mendapatkan perhatian.

Sebab, dengan maraknya pengajuan PKPU dan Kepailitan, banyak juga penerapan hukum yang tidak tepat. “Bukan karena undang-undangnya nya tapi karena oknum-oknumnya,”paparnya.

Dia memberikan contoh, debitur pailit baik perorangan maupun berbadan hukum (perusahaan) tidak bisa diajukan PKPU kepada ahli warisnya. “Itu tidak ada jalur hukumnya. PKPU tidak diturunkan,”tegasnya.

Sementara Praktisi Hukum Damianus Renjaan mengatakan, ahli waris tidak dapat di PKPU karena tidak ada dasar hukumnya di undang-undang kepailitan. Jika dipaksakan, hal itu berpotensi menjadi dasar yang bisa digunakan oleh siapapun untuk merugikan masyarakat. “Bagaimana perlindungan hukum bagi ahli waris yang tidak mengetahui perjanjian yang dibuat pewaris,”tegasnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Perbedaan

Sedangkan Kurator dan Pakar Hukum Megawati Prabowo mengatakan, banyaknya pengajuan PKPU lantaran dalam proses penagihan utang melalui jalur perdata butuh waktu lama. Sedangkan proses PKPU lebih cepat.

“Jadi apabila majelis hakim yang memeriksa bahwa syarat yang sudah tertera dalam UU terpenuhi, maka majelis hakim bisa menutus PKPU. Apabila diajukan oleh kreditur waktunya 20 hari, jika oleh debitur cukup 3 hari,”ujarnya.

Dia mengatakan, ada perbedaan antara Kepailitan dan PKPU. Kepailitan ada proses pemberesan, kurator berwenang melakukan penjualan aset yang hasilnya akan dibagikan ke kreditur. Sedangkan di PKPU, kurator dan debitur bersama melakukan restrukturisasi dan tidak ada upaya pemberesan.

“Proses PKPU mensyaratkan kehadiran debitur, jika debiturnya meninggal maka yang mengajukan restrukturisasi siapa? Yang benar adalah kepailitan terhadap harta peninggalan,” tegasnya.

Dia pun menilai perlu adanya revisi UU No 37 Tahun 2004 tentang kepailitan untuk memberikan kepastian hukum bagi individu mapun badan hukum dalam menjalankan usahanya di Indonesia.

“Masalah moral hazard sehingga perlu revisi UU Kepalitan dan PKPU. Terutama terkait syarat pengajuan PKPU yang bisa disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu, termasuk pengurus untuk memperoleh fee. Karena debitur yang selayaknya mengajukan PKPU, karena debitur yang tau kondisi perusahaan,” paparnya.

 


Sarana Mudah

Sedangkan Anggota Tim Pembaruan Peradilan Mahkamah Agung Aria Suyudi mengatakan, dalam UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, tujuannya adalah restrukturisasi. Namun, saat ini PKPU karena dijadikan sarana yang paling mudah untuk menagih utang.

“Semestinya PKPU ranah bilateral antara kreditur dan debitur untuk menyelesaikan masalah utang. Sekarang trennya untuk mengganggu debitur. Segala sesuatu kini jadi masalah saat pintu mengajukan PKPU dibuka,” tegasnya.

Dia mengungkapkan, terjadi peningkatan pengajuan permohonan PKPU. Pada 2019 permohonan hanya 435, pada 2020 naik menjadi 635, dan menjadi 726 pada 2021.

Menurut Aria, sebelum 2004 tidak ada yang tertarik mengajukan permohonan PKPU. Ternyata sekarang dengan PKPU debitur dipaksa oleh kreditur untuk mengajukan perdamian. “Namun dengan maksud untuk menolak proposal perdamaian. PKPU itu boleh, asalkan untuk perdamaian dan restrukturisasi. Di Indonesia justru tujuannya menolak restrukturisasi,”paparnya.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya