Liputan6.com, Jakarta Wakil Menteri BUMN I menjamin Pelita Air tak akan hilang pasca perusahaan maskapai milik PT Pertamina (Persero) tersebut merger dengan anak usaha Garuda Indonesia, Citilink.
"Oh enggak, kita nggak hilang. Brand-nya masih hidup. Jadi kita justru senang dengan brand Pelita Air supaya sama Citilink ada dua brand yang di kelas menengah dan LCC (Low Cost Cartier/maskapai penerbangan bertarif rendah)," jelasnya di Jakarta, Selasa (3/10/2023).
Pria yang akrab disapa Tiko itu mengaku senang jika keduanya tetap beroperasi dengan brand masing-masing. Adapun pasca merger, Pelita Air bakal menyasar segmentasi pasar kelas menengah, sedangkan Citilink untuk di bawahnya.
Advertisement
"Itu sekarang tumbuh market sharenya dua-duanya, bahkan Pelita itu load factor-nya bisa 85 persen. Karena tinggi demand-nya di medium itu," imbuh Tiko.
Terkait rencana merger Pelita Air dan Citilink, Kementerian BUMN disebutnya tengah berdiskusi dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, untuk memindahkan lisensi dan armada Pelita Air kepada Citilink.
"Jadi tidak harus dalam bentuk merger PT-nya. Jadi idenya gitu, ya moga-moga, karena ini tergantung nanti secara kajian, kalau memang seperti itu kita lebih mudah," ujar Tiko.
"Karena kalau harus merger PT-nya kan, PT-nya kan berat, karena PT-nya kan kalau berita itu masih punya juga lapangan terbang. Ada Pondok Cabe, ada yang charter flight segala, itu yang kita inginnya hanya yang flight regular aja," tuturnya.
Kepastian Merger Garuda Indonesia dan Pelita Air Diputuskan Desember 2023
Sebelumnya, emiten pelat merah, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) angkat bicara soal merger dengan PT Pelita Air Service (Pelita Air). Rupanya, kepastian merger tersebut akan diputuskan pada Desember 2023.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra menuturkan, pihaknya tidak akan terburu-buru dalam mengambil keputusan merger. Sebab, banyak beberapa hal yang perlu diperhatikan, mulai dari keuangan, hukum maupun karyawan.
"Kita set up PMO Team. PMO Team itu akan berakhir 31 Desember. Project Management Office Team yang didesain oleh pemerintahan BUMN dan itu tenggat waktunya 30 Desember,” kata Irfan saat ditemui di Jakarta, Rabu (27/9/2023).
Dengan demikian, ia berharap keputusan akan merger dengan Pelita Air ini bisa rampung sebelum akhir tahun ini.
"(Merger) tidak terimpak ke Garuda, sekarang memang kita sedang mendiskusikan bersama Pertamina, Garuda, Citilink, bersama Pertamina dan Pelita bagaimana inisiatif ini kita bisa eksekusi dengan sebaik-baiknya Tapi terlepas dari apapun kita lagi melihat bagaimana nantinya Citilink dan Pelita ini bisa bersama-sama,” kata dia.
Meski demikian, Irfan mengaku bentuk merger ini belum ditetapkan akan seperti apa. Namun, kedua pihak akan memutuskan pilihan yang terbaik bagi perusahaan.
Adapun, ia menyebut, tujuan merger ini untuk kolaborasi dan menghadapi pasar bersama-sama. Alhasil, Garuda Indonesia dan Pelita pun mengadakan pertemuan secara rutin untuk membahas hal-hal yang diperlukan.
“Kita sering diskusi bersama-sama dengan Pelita dan kelihatannya (kolaborasi) jauh lebih bagus, daripada berkompetisi sesama BUMN ya, mungkin sebaiknya berkolaborasi,” imbuhnya.
Advertisement
Garuda Indonesia dan Pelita Air Bakal Merger, Berpotensi Dongkrak Laba?
Sebelumnya diberitakan, rencana merger maskapai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) dan PT Pelita Air Service (Pelita Air) diyakini bisa mendongkrak profitabilitas perusahaan.
Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori, Fajar Dwi Alfian menuturkan, rencana merger tersebut masih dalam tahap diskusi dan belum masuk ke tahap finalisasi. Jika rencana merger tersebut direalisasikan akan berdampak baik bagi Garuda Indonesia
"Jika terjadi, tentu hal ini baik, karena biaya bisa ditekan dan mendongkrak profitabilitas," kata Fajar kepada Liputan6.com, Kamis (24/8/2023).
Pengamat Pasar Modal Desmond Wira mencermati aksi merger yang dilakukan Garuda Indonesia, Citilink dan Pelita Air sebagai sebagai upaya menekan biaya operasional.
"Merger tersebut merupakan upaya untuk mempertahankan Garuda Indonesia yang akhirnya selamat setelah nyaris dibubarkan," kata dia.
Dengan demikian, ia menilai, dalam jangka pendek upaya merger ini akan mendapat sambutan positif dari investor. Harga saham GIAA pun berpeluang naik dalam jangka pendek.
"Tapi untuk jangka pendek saja. Untuk jangka panjang perlu dilihat bagaimana merger tersebut bisa menyehatkan kinerja keuangan Garuda," kata dia.
Analis PT MNC Sekuritas, Herditya Wicaksana menuturkan, harga saham GIAA naik dipengaruhi akan adanya rencana merger maskapai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di antaranya Garuda Indonesia, Pelita Air dan Citilink Ia menilai merger itu untuk adanya efisiensi dan menurunkan biaya logistic. Meski demikian, rencana merger masih tahap awal. Herdtiya menilai, merger maskapai BUMN tersebut akan berdampak positif.
“Ya tentu saja menjadi dampak yang positif. Di mana akan adanya efisiensi dan turunnya biaya logistik sehingga diharapkan kinerjanya akan menjadi lebih baik,” ujar dia saat dihubungi Liputan6.com.
Terkait pergerakan harga saham GIAA, Herditya melihat secara teknikal, dalam jangka pendek masih menarik. “Karena sudah break dari area resistance di 74, namun demikian investor tetap harus mencermati dari sisi volumenya yang baru dalam tiga hari belakangan ini cukup aktif,” ujar dia.
Rencana Merger
Sebelumnya, dikutip dari Kanal Bisnis Liputan6.com, Menteri BUMN Erick Thohir menuturkan langkah merger maskapai BUMN yang libatkan Garuda Indonesia, Pelita Air dan Citilink untuk menekan biaya logistik yang ada. Sebelumnya, proses merger untuk menekan biaya logistik juga terjadi di tubuh Pelindo.
"BUMN terus menekan logistic cost. Pelindo dari 4 (perusahaan) menjadi 1. Sebelumnya, logistic cost mencapai 23 persen, sekarang jadi 11 persen. Kita juga upayakan Pelita Air, Citilink, dan Garuda merger untuk menekan cost," ungkap dia saat berbincang dengan diaspora di Tokyo, Jepang, dikutip dari keterangannya, ditulis Selasa, 22 Agustus 2023.
Pada konteks biaya logistik dan maskapai, Erick menyampaikan Indonesia saat ini kekurangan 200 uni pesawat. Hitungan ini merupakan perbandingan antara Indonesia dan Amerika Serikat.
Dia menyebut, AS saat ini telah mengoperasikan 7.200 pesawat di rute domestiknya untuk menopang 300 juta populasi yang rata-rata (pendapatan per kapitanya mencapai USD 40 ribu.
Sementara di Indonesia terdapat 280 juta penduduk yang memiliki GDP USD 4.700. Itu berarti Indonesia membutuhkan 729 pesawat. Padahal sekarang, Indonesia baru memiliki 550 pesawat.
"Jadi perkara logistik kita belum sesuai," ujar Erick.
, langkah merger maskapai ini untuk menekan biaya logistik yang ada. Sebelumnya, proses merger untuk menekan biaya logistik juga terjadi di tubuh Pelindo.
Erick juga mengambil contoh, merger Pelindo secara resmi telah terlaksana, dengan ditandatanganinya Akta Penggabungan empat BUMN Layanan Jasa Pelabuhan.
Keempatnya adalah Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pelabuhan Indonesia I, Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pelabuhan Indonesia III, dan Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pelabuhan Indonesia IV. Mereka melebur kedalam Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pelabuhan Indonesia II yang menjadi surviving entity.
Advertisement