Liputan6.com, Jakarta - CEO JPMorgan Jamie Dimon memperingatkan bahaya yang dihadapi dunia dari berbagai ancaman. Pernyataan Jamie Dimon tersebut disampaikan di tengah rilis laporan keuangan perseroan pada kuartal III.
“Ini mungkin saat paling berbahaya yang pernah terjadi di dunia dalam beberapa dekade,” ujar CEO JPMorgan Jamie Dimon, seperti dikutip dari laman CNBC, Sabtu (14/10/2023).
Ia mengatakan, perang yang sedang berlangsung di Ukraina serta serangan yang dilancarkan Hamas terhadap Israel akhir pekan lalu mungkin berdampak luas pada pasar energi, pangan, perdagangan global dan hubungan geopolitik.
Advertisement
Selain konflik militer, Jamie Dimon menyebutkan meningkatnya utang nasional dan defisit fiskal terbesar di masa damai yang meningkatkan risiko inflasi suku bunga tetap tinggi.
Seiring suku bunga yang tinggi, ia menyebutkan upaya the Federal Reserve (the Fed) untuk mengurangi kepemilikan obligasinya. Proses itu yang dikenal sebagai pengetatan kuantatif mengurangi likuiditas dalam sistem pada saat kemampuan pembentukan pasar semakin dibatasi oleh peraturan.
Jamie Dimon baru-baru ini telah memperingatkan klien tentang kemungkinan suku bunga tidak hanya akan tetap tinggi tetapi juga dapat meningkat signifikan.
“Meskipun kami berharap yang terbaik, kami mempersiapkan firma tersebut untuk mencapai berbagai hasil sehingga kami dapat konsisten memberikan pelayanan kepada klien, apa pun lingkungannya,” tutur dia.
Sementara itu, kepada CNN, ia menuturkan, eksekutif bank di Amerika Serikat memanjat tembok kekhawatiran. Pasar tetap dapat kuat melalui ketidakpastian ekonomi dan berita negatif.
“Dan kita harus melakukannya. Itulah tugas kami untuk bersiap hadapi kemungkinan hasil yang tidak Anda harapkan,” ujar dia.
Jamie Dimon menuturkan, wall street sering kali fokus pada kondisi saat ini dibandingkan mempersiapkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Ekonom Prediksi Kemungkinan JPMorgan Ketimbang Resesi
Dimon mengatakan, pihaknya melakukan 100 stress tests dalam sepekan. “Biasanya geopolitik menampilkan sebagai resesi yang dalam atau resesi ringan. Kinerja pasar yang baik bukanlah alasan untuk mengatakan mereka akan terus berkinerja baik,” ujar dia.
Namun, ekonom JPMorgan mengatakan, saat ini soft landing lebih mungkin terjadi ketimbang resesi, ketika perekonomian melambat tanpa memicu penurunan yang parah dan tingginya penganggguran.
“Saya tidak terlalu mengkhawatirkan dampak ekonominya dibandingkan dampak geopolitiknya. Saat ini konsumen dan dunia usaha AS secara umum tetap sehat,” kata dia.
Dia mengatakan, pasar tenaga kerja yang ketat dan tingkat utang pemerintah yang tinggi dapat membuat inflasi tetap tinggi dan suku bunga dapat terus meningkat.
JPMorgan mencatat laba USD 13,15 miliar atau USD 4,33 per saham periode Juli-September. Laba itu melonjak 35 persen dari tahun lalu. Dimon memperingatkan kinerja tersebut berasal dari manfaat pendapatan bunga bersih dan biaya kredit yang kemungkinan tidak akan bertahan lama.
Advertisement
Harga Minyak Bakal Melonjak Terseret Sentimen Serangan Hamas ke Israel
Sebelumnya, harga minyak mentah bakal melonjak pada perdagangan Senin, 9 Oktober 2023 seiring serangan militan Hamas terhadap Israel. Namun, dampak serangan Hamas terhadap Israel akan terbatas secara keseluruhan asalkan konflik tidak bertambah parah.
“Kita mungkin melihat lonjakan harga minyak mentah ketika pasar dibuka pada Senin,” ujar CEO Vanda Insights, Vandana Hari seperti dikutip dari CNBC, Minggu (8/10/2023).
Hari menuturkan, kalau ada sejumlah risiko yang akan diperhitungkan sebagai default, hingga pasar yakin peristiwa tersebut tidak memicu reaksi berantai. Selain itu pasokan minyak dan gas di Timur Tengah tidak akan terpengaruh.
Militan Hamas yang ditetapkan oleh Amerika Serikat (AS), Uni Eropa dan Inggris sebagai organisasi teroris menyusup ke Israel melalui darat, laut dan udara pada Sabtu, 7 Oktober 2023 saat hari libur besar Yahudi. Serangan itu terjadi beberapa jam setelah militan menembakkan ribuan roket ke Israel dari Gaza.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menuturkan, warga sipil termasuk perempuan, anak-anak dan orangtua telah diculik dan lainnya dibunuh di rumahnya. "Israel telah memulai fase ofensif dan akan melanjutkan tanpa batasan atau jeda hingga tujuan tercapai,” kata Netanyahu.
Pada Sabtu malam, Israel memutuskan pasokan listrik, bahan bakar dan dan barang ke jalur tempat 2,3 juta warga Palestina tinggal.
Hingga CNBC memuat artikel tersebut, setidaknya sekitar 250 Warga Israel meninggal dunia, dan lebih dari 1.860 orang terluka termasuk 320 orang dalam kondisi serius, demikian laporan NBC News. Kementerian Kesehatan Palestina mencatat 256 kematian dan 1.790 orang luka-luka di Gaza.
Bagaimana Dampak ke Minyak?
Kepada CNBC, analis menuturkan, baik Israel dan Palestina bukanlah pemain minyak utama. Namun, konflik ini terjadi wilayah penghasil minyak utama yang lebih luas.
Analis memperingatkan konflik tersebut mempunyai potensi berkobar lebih jauh. Hari mencatat meski konflik tersebut tidak berdampak langsung pada produksi dan pasokan minyak. “Konflik tersebut masih berada di ambang wilayah penghasil dan pengekspor minyak yang penting,”
Israel memiliki dua kilang minyak berkapasitas hampir 300.000 barel per hari. Menurut US Energy Information Administration (EIA), negara tersebut hampir tidak memiliki produksi minyak mentah dan kondensat. Di sisi lain, berdasarkan data dari EIA, wilayah Palestina tidak hasilkan minyak.
“Dampaknya terhadap harga minyak akan terbatas kecuali kita melihat “perang” antara kedua belah pihak meluas dengan cepat menjadi perang regional yaitu AS dan Iran serta pendukung kedua pihak terlibat langsung,” ujar Direktur Pelaksana Facts Global Energy, Iman Nasseri.
Advertisement