Liputan6.com, Jakarta Koalisi untuk Ketahanan Usaha Perikanan Nelayan (KUSUKA) yang terdiri dari Perkumpulan Inisiatif, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) dan didukung oleh International Budget Partneship (IBP) Indonesia melakukan kajian kredibilitasi anggaran Subsidi Dana Kompensasi BBM JBT Solar (Dakom JBT-S) dan Pendataan partisipatif akses subsidi BBMÂ untuk nelayan.
Pendataan partisipatif yang dilakukan KNTI bersama Koalisi KUSUKA Nelayan pada tahun 2023 di 25 Kabupaten/Kota menunjukkan terdapat 63 persen tidak pernah memakai BBM subsidi.
Advertisement
Baca Juga
Ketua umum KNTI Dani Setiawan mengungkapkan, beberapa faktor yang menyebabkan nelayan kecil/tradisional sulit mengakses BBM bersubsidi adalah pertama, kurangnya stok BBM (Solar) bersubsidi untuk sektor perikanan/nelayan.
Advertisement
Kedua, regulasi yang menyulitkan nelayan kecil/tradisional untuk mengakses BBM bersubsidi. Ketig, jarak SPBUN nelayan jauh dan cenderung berada ditengah kota.
Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum Nelayan
Meskipun demikian, pemerintah melalui Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemen UKM), Kementerian BUMN dan PT Pertamina pada tahun 2023 merencanakan pembuatan 58 SPBUN (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum Nelayan) yang tersebar diberbagai wilayah pilot project.
“Pada tahun 2021, Koalisi KUSUKA melakukan studi dimana 82 persen nelayan tidak dapat mengakses BBM subsidi dan angka ini menurun di tahun 2023 menjadi 63 persen, artinya sudah ada perbaikan, meskipun permasalah akses masih tetap ada, berdasarkan hasil survei Koalisi KUSUKA tahun 2023 sebanyak 64 persen responden setuju dengan mengalihan BBM Subsidi ke bentuk tunai," ujar Dani Setiawan, Rabu (1/11/2023).
Disisi lain, kajian Koalisi KUSUKA juga menemukan kelemahan dalam tata kelola subsidi BBM untuk sektor perikanan/nelayan hal ini ditunjukan dengan adanya deviasi anggaran Dakom Subsidi energi secara aggregat di tahun 2020 yang menunjukan overspending (pengeluaran yang melebihi perencanaan) sebanyak 607 persen.
Â
Akumulasi Utang Dana Kompensasi
Kondisi ini disebabkan akumulasi utang dana kompensasi akibat keterlambatan pembayaran serta tidak dilakukannya pemutakhiran besaran Harga Jual Eceran (HJE) sejak 2016. Wulandari peneliti koalisi KUSUKA menyatakan bahwa;
“Nomenklatur subsidi BBM itu diatur dalam Belanja Subsidi BA 999.07, sedangkan nomenklatur dana kompensasi BBM diatur dalam Belanja Lain-lain BA 999.08. Dua jenis belanja ini memiliki definisi yang berbeda dan mekanisme pembayaran yang berbeda," jelasnya.
Menurutnya, belanja subsidi BBM dapat dibayarkan secara rutin, namun dana kompensasi BBM pembayarannya disesuaikan dengan kondisi kemampuan keuangan negara sehingga penuh ketidakpastian. Hal ini berimplikasi pada keterlambatan pembayaran dana kompensasi kepada badan usaha. Pemerintah seharusnya bisa merencanakan hal ini dengan matang tiap tahun.
Dari permasalahan tersebut maka Koalisi KUSUKA merekomendasikan tiga hal. Pertama, mendirikan atau memberdayakan koperasi disekitar pesisir sebagai lembaga sub penyalur BBM sehingga nelayan kecil/tradisonal dapat mengakses BBM bersubsidi dengan mudah.
"Hal ini menjadi penting karena selama ini nelayan membeli BBM kepada pengecer yang harganya jauh lebih mahal dan belum masifnya pendirian SPBU-N baru di wilayah pesisir," ujarnya.
Â
Advertisement
Kebijakan Subsidi
Kedua, mendorong Kementerian keuangan untuk membuat instrumen kebijakan subsidi yang lebih efektif dan tepat sasaran. Belajar dari program BLT Solar dimana skema distribusi menggunakan cash transfer ke penerima manfaat/nelayan, hal ini memberikan manfaat secara langsung ke target penerima dibandingkan model penyaluran Subsidi BBM.
Ketiga, mendorong BPH Migas, PT Pertamina dan KKP untuk melakukan pemutakhiran dan penyempurnaan data nelayan. Hal ini sebagai dasar penentuan kuota BBM subsidi JBT-S.
Selain itu, ia mengusulkan BPH Migas dan PT Pertamina perlu secara aktif berkordinasi melakukan perhitungan yang matang dalam perencanaan alokasi Dakom JBT-S setiap tahun dengan memperhitungkan kapasitas fiskal APBN, fluktuasi harga minyak dunia, dan faktor-faktor lainnya, sehingga tidak ada overspending (pengeluaran yang berlebihan) maupun underspending (pengeluaran yang lebih kecil dari pada yang ditetapkan).