Liputan6.com, Jakarta - Mantan Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan periode 2001-2006 Hadi Poernomo, mengungkapkan penyebab rasio perpajakan atau tax ratio di Indonesia yang sulit meningkat pesat.
Penyebabnya adalah tidak berjalannya aturan yang mewajibkan semua data mengenai perpajakan dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Hal itulah yang membuat rasio pajak dalam negeri masih rendah dibanding negara lain.
Baca Juga
"Di sinilah yang menjadi persoalan," kata Hadi Poernomo dalam Diskusi Universitas Paramadina 'Masalah APBN, Utang dan Tax Ratio Rendah: PR Presiden Yang Akan Datang', dikutip Selasa (6/2/2024).
Advertisement
Kendati begitu, kata Hadi, sebenarnya Pemerintah memiliki instrumen untuk membuka rahasia pajak melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan.
"Data yang dimiliki pajak itu seharusnya di atas yang dimiliki PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan)," ujarnya.
Menurutnya, dengan data tersebut maka Pemerintah melalui Ditjen Pajak bisa melakukan analisis link and match, untuk membentuk transparansi.
"Dengan adanya data ini harusnya kita bisa melakukan analisis link and match, sehingga terbentuk transparansi, kalau transparansi terbentuk Indonesia terpaksa jujur," jelasnya.
Jika aturan tersebut dilaksanakan, iya meyakini bahwa rasio pajak di Indonesia bisa meningkat sebesar 0,3 persen per tahun.
"Naiknya harusnya tinggi, UU perpajakan yang ada sekarang ini setingkat dengan negara lain, karena semua pihak monitoring perpajakan," ujarnya.
Sebagai informasi, rasio perpajakan alias tax ratio Indonesia masih rendah dibandingkan negara lain. Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, tax ratio Indonesia masih 10,21 persen pada 2023.
Kejar Malaysia-Kamboja, Prabowo Subianto Mau Kerek Rasio Pajak Naik 6%
Calon Presiden Nomor Urut 2, Prabowo Subianto membidik kenaikan rasio pajak sebear 5-6 persen dari capaian saat ini. Dengan begitu, posisi Indonesia disebut bisa sejajar dengan Malaysia hingga Kamboja.
Prabowo mengatakan, rasio pajak di negara-negara tetangga sudah jauh lebih tinggi dari Indonesia. Misalnya, Thailan dan Vietnam yang disrbut mencapai 16 persen dan 18 persen.
"Jadi rasio pendapatan kita pajak plus penghasilan yang lain itu sudah di sekitar 12 persen, tetapi benar Thailand, Vietnam, tetangga-tetangga kita sudah 16 persen sudah 18 persen," kata Prabowo dalam Dialog Capres Bersama Kadin Indonesia: Menuju Indonesia Emas 2045, di Jakarta, Jumat (12/1/2024).
"Saya bertanya, apa sih bedanya kita dengan orang Thailand dan orang Vietnam, apa kita lebih bodoh atau apa masalahnya. Jadi if they can do it, we must also do it, kita tidak boleh menyerah," tegasnya.
Dia pun meramu strategi untuk meningkatkan rasio pajak sebesr 5-6 persen kedepannya. Salah satu caranya berbasis pada keputusan politik.
Artinya, hal ini bergantung dari keputusan yang diambil oleh pemerintah guna meningkatkan rasio pajak tadi.
"Jadi pertama semua itu berasal dari will, kehendak politik, political will, ada nggak political will untuk sama dengan Malaysia Thailand Vietnam dan Kamboja sekalipun, dan kalau ada political will kita cari upayanya antara lain dengan komputerisasi dengan digitalisasi dan dengan efisiensi transparansi," tuturnya.
Guna mengejar Malaysia, Thailand, hingga Kamboja tadi, dia kembali mengungkit soal peran badan khusus penerimaan negara.
"Oleh karena itu kita mau pisahkan badan penerimaan tersendiri supaya lebih efisien si Menteri Keuangan tidak perlu untuk mikirin atau mengurusi itu, ada Badan Khusus kemudian kita pisahkan antara treasury antara pengelolaan kekayaan negara dan penerimaan. Sasaran kita kita harus naik dari 12 persen kita harus naik ke 5 persen atau 6 persen," sambung Prabowo.
Informasi, mengaca pada data Kementerian Keuangan, rasio pajak pada 2023 mencapai 10,21 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini lebih tinggi dari target awal sebesar 9,61 persen.
Advertisement
3 Janji Ganjar-Mahfud Benahi Pajak Jika Menang Pemilu 2024
Tahukah kamu sebenarnya tidak semua masyarakat enggan membayar pajak karena sengaja ingin ngemplang pajak? Sebagian rakyat merasa administrasi yang harus dijalani terlalu rumit, khawatir akan dicari-cari kesalahannya, bahkan ada yang curiga uang pajaknya akan dikorupsikan.
Jika ini terus berlanjut, maka Pemeritah akan sulit mengumpulkan pajak untuk mendanai pembangunan. Padahal, uang pajak sangat dibutuhkan untuk membangun jalan, sekolah, rumah sakit, bantuan sosial dan kemanusiaan hingga mendanai kelangsungan pemerintahan.
Pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden nomor urut 3Â Ganjar Pranowo-Mahfud MDÂ bertekad akan menciptakan budaya masyarakat yang patuh pajak tanpa merasa rumit atau curiga dan khwatir akan penggunaan dana tersebut.
Anggota Dewan Pakar TPN Ganjar-Mahfud Anton Gunawan mengatakan Ganjar-Mahfud telah memiliki strategi dalam menciptakan budaya kepatuhan pajak, sehingga pajak tidak lagi hal yang menakutkan bagi seluruh masyarakat.
Berikut 3 cara yang akan dilakukan Ganjar-Mahfud dalam menciptakan budaya kepatuhan pajak di masyarakat (culture of tax compliance).
Pertama, mempermudah dan menyederhanakan sistem administrasi pajak. Ganjar-Mahfud akan memperbaiki administrasi pajak menjadi lebih mudah untuk dipahami oleh masyarakat.
Caranya, dengan menyederhanakan prosedur, sehingga tidak rumit dan sulit dipahami.
Kemudian, dalam pelaksanaannya sistem administrasi pajak akan memaksimalkan teknologi informasi untuk memudahkan pelayanan dan pengawasan kepada Wajib Pajak, sekaligus menambah produktivitas petugas pajak.
Selain prosedur dan penggunaan teknologi, sistem administrasi pajak modern harus didukung Sumber daya Manusia (SDM) professional dan berkualitas yang memiliki sikap mental, adil, melayani dan responsif.
Dengan demikian, tidak ada satupun masyarakat yang takut dan curiga untuk membayarkan dan melaporkan pajaknya.Saat ini, Kementerian Keuangan sedang merancang core tax administration system (CTAS) atau Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP). Sistem ini ditargetkan rampung dan dapat mulai digunakan pada pertengahan 2024.