Liputan6.com, Jakarta - Energy Shift Institute menilai daya tawar program hilirisasi nikel Indonesia untuk menyuplai bahan baku baterai kendaraan listrik (EV) sudah mentok. Terlebih perhatian publik saat ini banyak tertuju pada pesatnya pertumbuhan baterai tanpa nikel, semisal dengan lithium ferrophosphate (LFP), atau litium besi fosfat.
Namun demikian, Managing Director Energy Shift Institute Putra Adhiguna memandang, permintaan nikel dunia untuk baterai sangat mungkin akan terus melambung seiring dengan laju adopsi kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB), meskipun hadir teknologi alternatif.
Baca Juga
"Penting dicatat bahwa dalam sektor yang berkembang pesat, angka pertumbuhan absolut lebih penting dibandingkan pangsa pasar," tegas Putra dalam keterangan tertulis, Jumat (9/2/2024).
Advertisement
Berdasarkan perkembangan yang ada, ia menyebut produsen baterai lebih condong menempatkan investasi pabrik mereka mengikuti perkembangan pasar KBLBB. Di sisi lain, adopsi kendaraan listrik di Indonesia terkesan masih cukup lamban.
"Berita masuknya raksasa KBLBB, BYD, ke Indonesia patut diapresiasi. Namun kemungkinan tidak akan berimbas besar dalam pengembangan pabrik baterai berbasis nikel karena model kendaraan mereka yang kebanyakan menggunakan baterai tanpa nikel," imbuhnya.
"Ketatnya persaingan Indonesia dengan negara Asean lainnya untuk memberikan insentif guna mendapatkan investasi pabrikan kendaraan listrik dan baterai, juga menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas daya tawar hilirisasi nikel dalam mendorong industri baterai dan KBLBB Indonesia," sambungnya.
Ke depannya, ia mengingatkan, pengawasan investor terhadap praktik lingkungan, sosial, dan tata kelola (LST) dalam rantai pasokan nikel dan baterai akan terus meningkat. Hal ini semakin penting dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa yang akan menjadi pusat pertumbuhan kendaraan listrik berikutnya dengan standar rantai pasok yang lebih tinggi.
Â
Kobalt
Selain nikel, Putra menambahkan, yang kerap luput dari perhatian adalah bahwa Indonesia juga terus meningkatkan produksi kobaltnya sebagai produsen kobalt terbesar kedua di dunia. Hal ini semakin menekankan pentingnya pengelolaan sumber daya alam yang optimal.
"Kompetisi untuk mendapatkan modal dan pasar guna mengembangkan mineral untuk baterai dan KBLBB juga akan semakin ketat untuk memenuhi tuntutan investasi jangka panjang menuju target net zero 2050. Indonesia perlu memberikan keyakinan mengenai daya saing jangka panjangnya untuk menarik pemodalan tersebut," pintanya.
Alhasil, ia menyatakan berbagai situasi tersebut perlu direspons dengan cepat oleh pemerintah. Pasalnya, konstruksi kebijakan yang digulirkan untuk meningkatkan daya saing nikel Indonesia telah bersandar pada janji pengembangan industri baterai dan kendaraan listrik, terlebih lagi dengan penerapan standar lingkungan yang longgar.
"Dengan arah saat ini, kemungkinan Indonesia hanya akan bergeser dari eksportir produk nikel untuk baja tahan karat menjadi eksportir produk setengah jadi untuk industri baterai," ungkap dia.
Â
Advertisement
Meninjau Ulang
Menurut dia, dengan pesatnya pertumbuhan permintaan nikel dunia, penting untuk berbagai pihak yang terlibat agar tidak memandang enteng skala pertumbuhan ke depan karena revolusi KBLBB dunia baru saja memasuki babak awal.
"Para pemangku kepentingan patut bertanya apakah Indonesia telah benar memperoleh hasil yang optimal untuk sumber daya mineralnya. Dengan kapasitas produksi baterai yang sangat kecil, Indonesia tampaknya telah mencapai batas daya tawar hilirisasi nikelnya. Ini adalah saat yang tepat untuk meninjau ulang dan menata kembali rencana ke depan," pungkasnya.