Liputan6.com, Jakarta - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia memastikan, penyesuaian tarif royalti mineral dan batu bara (minerba) bakal berlaku efektif mulai April 2025.
Kebijakan itu tertuang dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Juga, PP Nomor 15 Tahun 2022 tentang Perlakuan Perpajakan dan/atau PNBP di Bidang Usaha Pertambangan Batubara.
Baca Juga
Bahlil mengatakan, tarif royalti minerba terbaru ini akan berlaku untuk beberapa komoditas tambang, semisal nikel dan emas.Â
Advertisement
"(Revisi) PP-nya sudah diselesaikan ya, bulan ini sudah berlaku efektif. Minggunya mungkin minggu kedua sudah berlaku efektif dan sudah tersosialisasikan," kata Bahlil di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (9/4/2025).Â
Adapun besaran kenaikan tarif bakal bersifat temporer, tergantung harga komoditas di pasaran. "Kalau harganya nikel atau emas naik ada range tertentu. Tapi kalau tidak naik, itu tidak juga naik," imbuh Bahlil.Â
Menurut dia, penyesuaian tarif baru ini bakal memberikan pemasukan lebih kepada negara. Sekaligus juga bakal menguntungkan pengusaha tambang.
"Ya kalau harga naik, otomatis perusahaan dapat untung dong. Masa kemudian kamu dapet untung, negara tidak dapat bagian? Kita mau win-win. Kita pingin pengusaha baik, negara juga baik," ungkap Bahlil.Â
Bahlil turut bersuara sial adanya permintaan dari kelompok usaha agar tarif royalti baru ini bisa ditunda. Ia menyebut kepentingan di negara harus di atas segalanya.Â
"Ya kita menghargai semua masukan, tapi kan kita melihat pada suatu kepentingan lebih besar terhadap bangsa kita," tegas dia.Â
Permintaan Pengusaha
Sebelumnya, para pelaku industri mineral dan batu bara mengusulkan pada pemerintah agar menunda pemberlakuan kenaikan royalti minerba.Â
Indonesia Mining Association (IMA) meminta agar aturan kenaikan royalti ini ditinjau karena akan berdampak langsung pada iklim investasi sekaligus daya saing minerba di tengah semangat hilirisasi.
"Bagi perusahaan pertambangan mineral, peningkatan tarif royalti akan memberatkan karena biaya operasional tinggi karena kenaikan biaya biosolar yang dapat berdampak siginifikan," kata Ketua Umum IMA, Rachmat Makkasau beberapa waktu lalu.Â
"Selain itu ada pula kenaikan PPN 12 persen, pengenaan kewajiban data retensi hasil ekspor sebesar 100 persen selama 12 bulan yang meningkatkan utang dan bunga," dia menegaskan.Â
Selain itu para pelaku industri minerba juga kini tengah berinvestasi besar pada pembangunan smelter sebagai bagian dari hilirisasi. Investasi itu menyedot dana yang besar dan berdampak pada dibukanya ribuan lapangan kerja.Â
Dikarenakan smelter dalam tahap awal dan baru akan menghasilkan dalam tempo dua atau tiga tahun, maka pelaku usaha berharap jangan dibebani kenaikan royalti yang akan memperberat arus kas.
Senada dengan IMA, Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) juga mengusulkan penundaan pemberlakuan kenaikan royalti nikel. Ini tak terlepas dari kenyataan berat yang dihadapi industri nikel yang kini harga jualnya di pasar internasional sedang jatuh ke titik terendah sejak 2020.
Â
Advertisement
Hilirisasi Nikel
Sebagai mitra pemerintah, FINI pun berkomitmen untuk menyukseskan hilirisasi nikel dan turunannya. FINI memaparkan sejumlah tantangan berat seperti harga yang sedang jatuh plus tantangan berat akibat perang dagang Cina-Amerika.
Oleh karenanya FINI memandang penundaan pemberlakuan kenaikan royalti akan menjadi insentif berharga untuk mendukung tetap eksisnya industri nikel dalam negeri di tengah tantangan global.
"Untuk menjaga iklim investasi dan daya saing produk hilirisasi nikel Indonesia di tengah situasi dunia yang tidak menentu, kami mengusulkan agar kenaikan royalti tidak dilakukan pada saat ini," ujar Ketua Umum FINI, Alexander Barus lewat keterangan resminya.
Â
Â
Â
