Belajar dari Vietnam, Revisi Aturan PLTS Atap Hindari Kerugian Negara

Persetujuan Pemerintah terhadap revisi Peraturan Menteri No. 26/2021 terkait dengan penggunaan PLTS Atap dinilai mampu menghindarkan negara dari berbagai bentuk kerugian secara masif seperti yang dialami oleh Vietnam.

oleh Septian Deny diperbarui 15 Feb 2024, 19:45 WIB
Diterbitkan 15 Feb 2024, 19:45 WIB
Penggunaan PLTS
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) saat ini menjadi alternatif energi ramah lingkungan di DKI Jakarta. (merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menilai persetujuan Pemerintah terhadap revisi Peraturan Menteri No. 26/2021 terkait dengan penggunaan PLTS Atap mampu menghindarkan negara dari berbagai bentuk kerugian secara masif seperti yang dialami oleh Vietnam.

 

“Keuangan negara akan terbebani jika aturan tersebut tidak direvisi. Contoh Vietnam, gara-gara tidak berjalan lancar dan merugikan, negara tersebut menyetop PLTS Atap mulai 2021 hingga 2030," kata Agus dikutip Kamis (15/2/2024).

Agus menjelaskan, keuangan negara akan tergerus saat negara harus membeli listrik dari PLTS atap. “Namun dengan adanya revisi yang sudah disetujui presiden, negara tidak jadi buntung karena skema jual beli-listrik antara pemilik PLTS atap dengan negara telah dihapus,” katanya.

Agus mengatakan Indonesia harus banyak belajar dari Vietnam yang APBN-nya sempat tergerus akibat penerapan PLTS Atap. Saat itu, Vietnam sebagai salah satu negara di Asia Tenggara yang gencar memakai PLTS atap akhirnya membatalkan regulasinya sendiri.

Diketahui, di Vietnam, selama kurun waktu 1 tahun yaitu periode 2019–2020, terjadi penambahan kapasitas hampir 8 GW untuk PV Rooftop dan hampir 8 GW untuk solar farm. Namun, hal tersebut meninggalkan persoalan baru bagi sistem kelistrikan Vietnam. Akhirnya Vietnam Electricity/EVN selaku offtaker harus menanggung pil pahit itu.

Perlu digaris bawahi, paparnya, persetujuan Pemerintah terkait dengan PLTS Atap itu menyelesaikan banyak masalah. “Terutama jual beli listrik hasil dari kelebihan pemasangan PLTS Atap oleh negara,” kata Agus.

Revisi Aturan

Untuk itu, Agus berharap, revisi aturan yang telah disetujui oleh Pemerintah segera diundangkan untuk mengantisipasi risiko kerugian negara. “Ini penting agar negara tidak rugi," tutur dia.

Selain berbagai masalah itu, kata Agus, intermintensi atau ketergantungan terhadap cuaca diakui menjadi salah satu kelemahan pembangkit listrik dari tenaga surya. Dengan demikian, kondisi ini mengganggu keandalan listrik sehingga kualitas layanan kepada masyarakat jadi tidak maksimal.

Menurutnya, pembangunan dan pengembangan transisi energi dari fosil ke energi baru terbarukan harus berlangsung tanpa membawa dampak yang berat untuk masyarakat dan negara.

“Pada COP28 terakhir di Dubai, bahkan saya juga belum melihat negara maju serius menjalankan transisi energi ke EBT. Uni Eropa saja menyalakan lagi pembangkit listrik batu bara saat Rusia menyetop gas,” pungkasnya.

Pemerintah Setuju Revisi Aturan PLTS Atap, Berdampak ke Pasokan Listrik?

Penggunaan PLTS
Teknisi Green Energy Nusantara Mandiri memasang PLTS Hybrid 6210 Wp battery 4,8 kwhpada atap rumah kantor di kawasan Manggarai Jakarta, Jumat (29/12/2023). (merdeka.com/Arie Basuki)

Direktur Eksekutif CESS (Center for Energy Security Studies) Ali Achmudi Achyak menilai penghapusan skema jual-beli daya listrik (ekspor-impor) pada revisi Permen ESDM No 26/2021 tentang PLTS Atap sangat berdampak positif terhadap kestabilan dan keandalan energi listrik bagi masyarakat.

Ali menjelaskan dengan menghapus skema jual-beli listrik, maka negara tetap mampu menjaga kestabilan dan keandalan pasokan daya listrik untuk masyarakat.

“Perlu diketahui, jika listrik dari PLTS Atap diperjualbelikan ke dalam jaringan dan transmisi milik negara, maka berisiko menggangu sistem kelistrikan karena daya yang dihasilkan PLTS pada dasarnya sangat tergantung pada sinar matahari. Bagaimana jika mendung, pasti dayanya turun,” katanya dikutip Selasa (13/2/2024).

Menurutnya, penghapusan skema jual-beli tersebut sangat berdampak positif bagi kedaulatan energi karena tidak mencampuradukkan antara sistem kelistrikan milik negara dan sistem kelistrikan sederhana yang dibangun secaraandiri mandiri melalui PLTS Atap.

“Dalam hal ini, sistem kelistrikan bagi masyarakat umum lah yang paling penting dicermati," ungkap dia.

Ali menjelaskan, hal yang paling penting dari sebuah sistem kelistrikan sebuah negara adalah jaringan dan transmisi. “Nah, kalau jaringan dan transmisi bisa digunakan atas nama liberalisasi, maka tidak akan ada lagi peran negara dalam menyediakan listrik,” kata Ali.

 

Skema Jual Beli Listrik

Pemanfaatan Tenaga Surya Sebagai Sumber Energi Listrik Alternatif
Teknisi melakukan perawatan panel PLTS di Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Selasa (6/8/2019). PT PLN menargetkan pengembangan lebih dari 1.000 megawatt PLTS atap yang terdiri dari inisiasi swasta dan PLN sendiri sesuai RUPTL dengan potensi tiga gigawatt untuk PLTS. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Lebih jauh dia menjelaskan, dengan tidak adanya skema jual-beli daya dalam revisi peraturan tersebut, kelebihan pasokan listrik dari PLTS Atap, tidak dapat dialihkan atau ditagihkan kepada sistem jaringan milik negara. Diketahui pada aturan sebelumnya, pengguna PLTS Atap bisa mentransmisikan kelebihan daya melalui jaringan negara.

“Nah saat itu juga, negara diminta untuk membeli atau membayar kelebihan daya yang dialirkan tersebut. Ini kan lucu, karena tidak ada urgensi bagi negara untuk membeli listrik dari PLTS Atap," tuturnya. 

Selain terkait dengan revisi Peraturan PLTS Atap tersebut, Ali juga memberikan perhatian pada klausul atau pasal power wheeling yang direncanakan untuk dimasukkan ke dalam rancangan Undang-undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET).

“Implementasi skema ini juga dapat menjadi beban, baik bagi masyarakat maupun pemerintah jika dijalankan. Terutama untuk penentuan tarif listrik ke depan dan tentunya terhadap keandalan listrik bagi masyarakat," tutup dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya