Liputan6.com, Jakarta - Belakangan gelombang penghentian hubungan kerja (PHK) banyak terjadi diberbagai industri. Hal ini menjadi perhatian Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan dewan pengawas dan direktur BPJS Ketenagakerjaan.
Industri tekstil menjadi salah satu yang bergejolak akhir-akhir ini. Menurut catatan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) setidaknya ada 21 pabrik tekstil dan garmen yang tutup.
Baca Juga
Puluhan lainnya terancam gulung tikar. Hal ini tentu akan berdampak pada pekerja. Untuk membantu pekerja yang telah di-PHK, ada program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dari BPJS Ketenagakerjaan.
Advertisement
“Saya melihat dari paparan BPJS Ketenagakerjaan, tidak semua pekerja yang mengalami PHK itu mendapat JKP,” kata Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto, Rabu (3/7/2024).
Politisi PDI Perjuangan itu menghitung dari 2022 ada 14.977 orang yang tidak mendapatkan JKP. Tahun lalu, 10.000 dan tahun ini 2.752 orang yang tidak memperoleh manfaat JKP.
"Yang belum dapat ini, dana JKP-nya ke mana? Ini harus ditelusuri,” imbuhnya.
Edy menyebutkan jika seharusnya semua pekerja yang mengalami PHK berhak memperoleh manfaat JKP. Sebab bantuan uang tunai selama maksimal enam bulan lalu mendapat pelatihan dan informasi pasar kerja akan meringankan kebutuhan hidup pasca PHK. Sehingga mengurangi potensi orang miskin baru.
“Mereka yang sudah lama bekerja di sektor garmen, lalu dipecat, maka butuh skill baru di luar garmen,” ujar Edy.
Program Pelatihan
Sementara pada program JKP ada manfaat memberikan pelatihan kemampuan yang dibutuhkan pasar kerja. Dia pun berharap agar manfaat ini bisa menyasar mereka yang telah diPHK.
"Dukungan anggaran pelatihan yang mumpuni juga sangat mendukung pergeseran skill pekerja yang terkena PHK dan saat ini anggaran untuk satu pelatihan di program JKP hanya rata-rata Rp 1 juta. Ini perlu ditingkatkan,” ujarnya.
Kendati begitu, ia mengakui memang ada beberapa faktor yang menyebabkan hilangnya kesempatan mendapatkan JKP. Pertama adalah pemberi kerja yang tidak mendaftarkannya, pekerja berstatus PKWT, dan pekerja tidak mengetahui hak ini.
“Sehingga sosialiasi terkait JKP ini harus terus dilakukan. Ini program baru yang bagus,” pungkasnya.
7.437 Pekerja di Jateng Kena PHK Massal, BI: Dampak Penurunan Permintaan
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Tengah menyebutkan setidaknya 7.437 pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Langkah PHK ini dilakukan seiring tutupnya sejumlah perusahaan di wilayah tersebut pada tahun ini.
Beberapa di antaranya adalah industri garmen, seperti PT Semar Mas Garmen di Boyolali, PT Cahaya Timur Garmindo di Pemalang, kemudian PT S. Dupantec di Kabupaten Pekalongan.
Tingkat PHK pada tahun ini hampir sama dengan 2023 yang mencapai 8.588 pekerja, seperti PT Tanjung Kreasi di Temanggung, PT Bamas Satria Perkasa (Purwokerto), PT Delta Merlin di Sukoharjo (tekstil).
Bahkan, pada tahun lalu ada perusahaan tekstil yang masih beroperasional turut melakukan PHK, yakni PT Apac Inti Corpora di Bawen yang pada 2023 melakukan PHK sebanyak 1.000 karyawan.
Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Tengah Ndari Surjaningsih menilai, adanya PHK massal industri tekstil ini akibat kesulitan memperoleh bahan baku. Hal ini diperparah dengan adanya penurunan permintaan.
"Kondisi global kan belum pulih, bisa ditandai dengan pertumbuhan ekonomi mereka yang belum bisa lebih cepat. Ada juga di beberapa negara yang laju ekonomi masih lambat," katanya dikutip dari Antara, Rabu (26/6/2024).
Banyaknya PHK dari industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dan alas kaki sebenarnya tidak lepas dari penurunan kinerja komoditas TPT akibat penurunan permintaan dari negara-negara buyer.
Apalagi, kata dia, kondisi global yang belum pulih dan permasalahan geopolitik, seperti perang Rusia dengan Ukraina yang tak kunjung usai juga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi negara-negara di dunia.
Advertisement
Inflasi Tinggi
Ia menyebutkan bahwa beberapa negara mengalami inflasi yang masih tinggi, terutama di negara buyer atau tujuan ekspor sehingga peningkatan permintaan terhadap produk tersebut tidak mengalami peningkatan.
Diakui Ndari, komoditas penyumbang ekspor utama di Jateng selama ini adalah TPT dan alas kaki ke berbagai negara tujuan, baik di kawasan Eropa maupun Amerika.
Dalam perkembangannya, kata dia, ekspor TPT dan alas kaki dari Jateng pada tahun 2023 ke Eropa turun 24 persen, demikian juga dengan Amerika mengalami penurunan.
Bahan Baku
Kendala lain, kata dia, industri TPT juga mengalami kesulitan dalam memperoleh bahan baku untuk produksi yang turut mempengaruhi produktivitas yang berdampak terhadap pengurangan tenaga kerja.
Produsen alas kaki di Indonesia, kata dia, masih melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan bahan baku, sedangkan kebijakan pemerintah yang membatasi impor mempersulit industri TPT.
"Ada kebijakan pemerintah terkait dengan impor, mengakibatkan produsen lokal yang memproduksi TPT kesulitan memperoleh bahan baku impor dari luar. Butuh impor tapi ada kendala mendatangkan bahan baku, sedangkan di sisi lain ada impor ilegal yang masuk," katanya.
Advertisement