Liputan6.com, Jakarta Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS pada perdagangan Jumat dibuka naik. Keperkasaan rupiah dipengaruhi sentimen Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS).
Pada awal perdagangan Jumat pagi, kurs rupiah menguat 29 poin atau 0,19 persen menjadi 15.410 per dolar AS dari sebelumnya sebesar 15.439 per dolar AS.
Baca Juga
"Rupiah diperkirakan menguat terhadap dolar AS yang masih tertekan oleh harapan jangka panjang bahwa dolar AS akan lebih lemah apabila Harris memenangkan Pilpres AS," kata analis mata uang Lukman Leong dikutip dari Antara, Jumat (13/9/2024).
Advertisement
Calon presiden Amerika Serikat (AS) yang mewakili Partai Demokrat Kamala Harris dan saingannya dari Partai Republik Donald Trump akan bertarung memperebutkan kursi kepresidenan pada pemilu presiden yang digelar pada 5 November 2024.
Baca juga: Rupiah merosot di tengah ekspektasi penurunan suku bunga AS Namun, penguatan rupiah akan terbatas karena investor cenderung masih menantikan Federal Open Market Committee (FOMC) pekan depan untuk melihat arah kebijakan suku bunga acuan bank sentral AS.
Bank sentral AS atau The Fed diperkirakan akan memangkas suku bunga acuan Fed Funds Rate (FFR) sebesar 25 basis poin (bps). Lukman memperkirakan nilai tukar rupiah bergerak di rentang 15.350 per dolar AS sampai dengan 15.450 per dolar AS.
Rupiah Loyo ke 15.400 per USD Usai AS Rilis Data Inflasi
Sebelumnya, rupiah mengalami pelemahan pada Kamis, 12 September 2024. Rupiah ditutup melemah 37 point terhadap Dolar Amerika Serikat (USD) pada perdagangan Kamis (12/9), walaupun sebelumnya sempat melemah 50 point dilevel 15.439 dari penutupan sebelumnya di level 15.402.
“Sedangkan untuk perdagangan besok, mata uang Rupiah fluktuatif namun ditutup menguat direntang 15.340-15.450,” kata Direktur PT. Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi dalam keterangan di Jakarta, Kamis (12/9/2024).
Pelemahan Rupiah terjadi setelah AS merilis data inflasi bulan Agustus 2024 sebesar 2,5%.
“Sementara inflasi IHK utama masih mereda, pembacaan inti menunjukkan bahwa inflasi mungkin terbukti lebih kuat dari yang diharapkan sebelumnya, yang mengharuskan pemotongan suku bunga yang lebih kecil dari Fed,” ungkapnya.
CME Fedwatch kini menunjukkan, perkiraan The Fed akan memangkas suku bunga hanya sebesar 25 basis poin ketika bertemu minggu depan tumbuh secara substansial setelah data inflasi AS terbaru, sementara taruhan pada pemotongan 50 bps berkurang lebih dari setengahnya.
Namun menjelang pertemuan The Fed pekan depan, pasar berfokus pada data inflasi indeks harga produsen yang akan dirilis pada Kamis malam, untuk isyarat lebih lanjut tentang inflasi.
“Prospek pemotongan suku bunga yang lebih kecil menjadi pertanda buruk bagi mata uang yang melawan dolar AS, mengingat skenario seperti itu menandakan kondisi moneter AS yang lebih ketat untuk waktu yang lebih lama,” beber Ibrahim. Selain itu, investor juga menunggu keputusan suku bunga Bank Sentral Eropa yang akan diumumkan hari ini.
Pasar juga akan lebih fokus pada komentar Presiden ECB Christine Lagarde, yang akan dirilis pada pukul 12.45 waktu setempat untuk mengonfirmasi apakah suku bunga lebih lanjut akan menyusul pada bulan Oktober dan Desember.
Advertisement
Perkembangan Ekonomi RI di Pemerintahan Baru Prabowo-Gibran
Seperti diketahui, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka akan segera di lantik untuk menjadi Presiden dan wakil presiden baru 2025-2029.
Ibrahim menyoroti periode pemerintahan Prabowo-Gibran akan mendapat tantangan yang berat ditengah situasi geopolitik yang terus memanas, terutama di kawasan Timur Tengah dan Eropa yang belum menunjukkan tanda-tanda akhir.
“Pemerintah harus memiliki terobosan dalam membuat kebijakan ekonom yang cermat dan terukur serta mampu merespons setiap dinamika global ini dengan kebijakan yang cerdas dan efektif, demi menjaga kepentingan nasional,” katanya.
Tensi geopolitik berimbas pada lonjakan harga minyak dunia, yang memperburuk tekanan inflasi global. Bank sentral negara-negara maju pun enggan menurunkan suku bunga, menambah ketidakpastian ekonomi global yang berpengaruh pada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Adapun penurunan ekonomi China sebagai salah satu mitra dagang terbesar Indonesia.
Hal ini mempengaruhi ekspor Indonesia lantaran dapat menekan sektor perdagangan luar negeri yang selama ini menjadi salah satu motor penggerak ekonomi nasional.