Indonesia Deflasi 5 Bulan Beruntun, Ini Dampak Positif dan Negatifnya

Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa Indonesia kembali mengalami deflasi pada bulan September 2024. Artinya, Indonesia mengalami deflasi secara lima bulan berturut-turut hingga September 2024.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 08 Okt 2024, 12:40 WIB
Diterbitkan 08 Okt 2024, 12:40 WIB
Inflasi
Pedagang menata telur di pasar, Jakarta, Jumat (6/10). Dari data BPS inflasi pada September 2017 sebesar 0,13 persen. Angka tersebut mengalami kenaikan signifikan karena sebelumnya di Agustus 2017 deflasi 0,07 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa Indonesia kembali mengalami deflasi pada bulan September 2024. Artinya, Indonesia mengalami deflasi secara lima bulan berturut-turut hingga September 2024.

BPS mencatat, pada September 2024 terjadi deflasi sebesar 0,12% secara bulanan, atau terjadi penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 106,06 pada Agustus 2024 menjadi 105,93 pada September 2024.

Pengamat Pasar Modal, Lanjar Nafi menilai, deflasi Indonesia secara bulanan dalam 5 bulan beruntun dapat menjadi indikator terjadinya penurunan permintaan atau daya beli masyarakat. Meski begitu, kondisi demikian dapat secara tidak langsung mempengaruhi pasar modal, namun tergantung bagaimana kondisi makro ekonomi.

"Secara negatif, deflasi yang beruntun terjadi bisa mencerminkan melemahnya daya beli sehingga menimbulkan spekulasi sentiment negative ke sektor ritel, properti, konsumsi primer dan siklikal," kata Lanjar kepada Liputan6.com, Selasa (8/10/2024).

Penurunan Daya Beli

Dengan adanya penurunan daya beli, Lanjar mengatakan investor akan memproyeksikan bahwa margin keuntungan yang didapat emiten akan lebih rendah. Di sisi lain, emiten juga harus melakukan strategi efisiensi untuk menjaga biaya produksi berbanding dengan harga jual yang lebih ketat. Sehingga, sentimen dari sisi profitabilitas akan cenderung tertekan dan membuat investor akan berhati-hati dalam melakukan investasi di asset saham.

"Dampak secara positifnya, deflasi ini akan memaksa Bank Indonesia melonggarkan kebijakan moneter dengan menurunkan suku bunga lanjutan sebagai respon untuk mendorong sisi daya beli yang menurun," imbuh Lanjar.

Adapun penurunan suku bunga akan direspon positif untuk instrumen obligasi. Pasalnya, imbal hasil yang lebih tinggi dari suku bunga bank akan menjadi buruan investor. Secara jangka panjang, saham sektor properti, perbankan, konstruksi dan teknologi akan diuntungkan lebih besar. Secara keseluruhan, Lanjar mengatakan semua sektor akan tetap diuntungkan seiring biaya pinjaman untuk ekspansi yang lebih murah.

"Instrument yang menarik tentu, obligasi dengan kupon besar dan tenor yang lebih panjang. dengan pertimbangan penurunan suku bunga Bank Indonesia akan menarik minat investor ke instrumen obligasi, terutama obligasi pemerintah," ulas Lanjar. Selain itu saham sektor perbankan, properti, konstruksi dan teknologi juga memiliki peluang dengan pertimbangkan biaya pinjaman untuk ekspansi mereka yang dapat lebih mudah dengan penurunan suku bunga.

Deflasi 5 Bulan Beruntun: Emak-Emak Lebih Irit Belanja

Inflasi
Pedagang melayani pembeli di pasar, Jakarta, Jumat (6/10). Dari data BPS inflasi pada September 2017 sebesar 0,13 persen. Angka tersebut mengalami kenaikan signifikan karena sebelumnya di Agustus 2017 deflasi 0,07 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya deflasi dalam kurun waktu 5 bulan secara beruntun. Kondisi itu, tercermin dari minimnya belanja rumah tangga ke pasar tradisional.

Sekretaris Jenderal Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI), Reynaldi Sarijowan mengatakan transaksi di pasar tradisional sebetulnya masih terus berjalan. Utamanya, untuk barang-barang kebutuhan pokok.

Hal ini menunjukkan daya beli yang masih bisa berjalan ditengah kondisi deflasi dalam 5 bulan berturut-turut.

"Kalau untuk daya beli di pasar itu tetap bergeliat. Artinya kebutuhan bahan pokok tetap terseerap oleh rumah tangga karena kan wajib untuk memenuhi pasokan di rumah tangga," kata Reynaldi kepada Liputan6.com, Senin (7/10/2024).

Beberapa produk yang dibeli berkisar pada kebutuhan pokok. Seperti beras, cabai, gula pasir, hingga minyak goreng. Dia menilai, produk-produk itu masih terus dibeli oleh ibu-ibu rumah tangga.

Kendati demikian, Reynaldi mencatat ada volumen pembelian tersebut yang lebih rendah dari biasanya. 

"Walaupun, volume pembeliannya sedikit berkurang karena sebelum deflasi terjadi itu biasanya rumah tangga memasok minyal goreng yang kemasan sederhana yang 2 liter pouch, 2 liter botol," jelasnya.

Dia mencatat, ibu-ibu yang belanja ke pasar kini hanya membeli 1 liter minyak goreng. Bahkan, ada beberapa lainnya yang hanya mampu membeli kemasan lebih kecil.

"Sekarang mungkin hanya mampu membeli 1 liter, 1 liter atau bahkan yang curah belinya seperempat liter. Nah hal-hal ini yang menurut kami (perlu) jadi fokus perhatian pemerintah," pungkasnya.

Target Ekonomi 5 Persen Terancam

Inflasi
Pembeli membeli sayuran di pasar, Jakarta, Jumat (6/10). Dari data BPS inflasi pada September 2017 sebesar 0,13 persen. Angka tersebut mengalami kenaikan signifikan karena sebelumnya di Agustus 2017 deflasi 0,07 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani mengatakan konsumsi domestik cenderung melambat. Ini terlihat dari besaran inflasi tahunan (year on year) September 2024 sebesar 1,84 persen.

Pada saat yang sama, ada deflasi secara bulanan sebesar 0,12 persen pada September 2024. Angka tersebut mencatatkan deflasi dalam 5 bulan berturut-turut.

Shinta memandang, tingkat inflasi tahunan 1,84 persen tadi menunjukkan adanya konsumsi rumah tangga yang melambat.

"Jelas inflasi 1,84 persen ini mengindikasikan adanya pertumbuhan konsumsi pasar domestik yang sangat sluggish (lamban)," kata Shinta kepada Liputan6.com, Senin (7/10/2024).

Menurutnya, kondisi ini bisa mengancam tren pertumbuhan ekonomi nasional di atas 5 persen. Apalagi, ada target serupa hingga akhir tahun 2024 ini.

"Kalau dibiarkan tingkat inflasi yang terlalu rendah ini dapat menjadi beban bagi pemerintah untuk menciptakan pertumbuhan di atas 5 persen hingga akhir tahun," ujarnya.

"Perlu diingat, pertumbuhan ekonomi nasional sangat tergantung pada kinerja konsumsi dalam negeri, bila level konsumsi domestik sedemikian rendah, tentu pertumbuhan akan sulit dipacu," imbuh Shinta.

Di sisi lain, pelaku industri malah akan cenderung menahan aksi korporasinya (wait and see) seperti ekspansi bisnis. Pelaku ushaa industri khawatit ptoduknya tidak bisa diserap oleh pasar dengan tingkat konsumsi yang rendah.

"Karena itu, kami harap pemerintah dapat menciptakan stimulus-stimulus yang dibutuhkan untuk meningkatkan kinerja pasar," pintanya.

Bagaimana Caranya?

Shinta menjelaskan ada sejumlah cara yang bisa diambil pemerintah untuk meningkatkan konsumsi tadi. Misalnya, dengan melakukan penurunan suku bunga acuan.

Kemudian, bisa melakukan terobosan kebijakan untuk menciptakan produktivitas industri. Termasuk juga untuk memfasilitasi investasi.

"Khususnya dalam hal fasilitasi investasi, peningkatan kinerja ekspor, pemberdayaan UMKM dan upaya mentransformasikan sektor ekonomi informal menjadi sektor ekonomi formal agar pekerja di sektor informal memiliki tingkat produktifitas dan kesejahteraan (daya beli) yang lebih baik sehingga pertumbuhan pasar domestik bisa dipacu agar lebih supportif untuk menciptakan level pertumbuhan yang diinginkan," urainya.

September 2018, BPS Catat Deflasi 0,18 Persen
Pedagang bumbu masak melayani pembeli di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta, Senin (1/10). Deflasi terjadi karena adanya penurunan harga yang ditunjukan oleh turunnya beberapa indeks kelompok pengeluaran. (Liputan6.com/Johan Tallo)
Infografis Deflasi 5 Bulan Beruntun di Indonesia. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)
Infografis Deflasi 5 Bulan Beruntun di Indonesia. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya