Liputan6.com, Jakarta - Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) mengingatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal yang terjadi di beberapa perusahaan antara lain Sritex, Sanken, dan Yamaha Music dapat menjadi indikasi adanya tantangan serius yang dihadapi oleh pelaku bisnis dalam negeri.
Sekretaris Jenderal HIPMI Anggawira mengatakan, faktor-faktor antara lain perubahan kondisi ekonomi, restrukturisasi perusahaan, dan perkembangan teknologi dapat mempengaruhi stabilitas bisnis dan memicu PHK massal.Â
Advertisement
Baca Juga
Maka dari itu, untuk menghadapi situasi ini dan bertahan di tengah tantangan, Angga membagikan beberapa strategi yang dapat dipertimbangkan perusahaan untuk menghindari kebangkrutan dan pengurangan pekerja.
Advertisement
Strategi pertama, adalah berfokus pada pengembangan keterampilan dan pelatihan karyawan. "Meningkatkan akses terhadap program pelatihan yang relevan dapat membuat karyawan lebih adaptif terhadap perubahan dalam lingkungan kerja. Dengan keterampilan yang tepat, karyawan dapat berkontribusi lebih efektif dalam menghadapi tantangan bisnis," kata Angga kepada Liputan6.com di Jakarta, Senin (3/3/2025).
Kedua, fokus pada diversifikasi produk dan layanan. Angga menjelaskan, menyesuaikan produk atau layanan sesuai dengan kebutuhan pasar dapat membantu perusahaan tetap kompetitif.Â
"Misalnya, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menekankan pentingnya menyediakan produk yang dicari konsumen sebagai langkah antisipasi terhadap gejolak ekonomi," ujar dia.Â
Badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) melanda sejumlah perusahaan di berbagai sektor yang mengalami kebangkrutan.Â
Salah satu perusahaan yang mengalami kebangkrutan yakni PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex. Kondisi tersebut membuat raksasa tekstil nasional itu melakukan penutupan operasional salah satu pabriknya per 1 Maret 2025, dan melakukan PHK terhadap ribuan pekerjanya.
Kemudian ada PT Sanken Indonesia yang juga mengumumkan penutupan semua lini produksinya di kawasan industri MM 2100, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Sebanyak 400 pekerja diperkirakan akan terdampak keputusan tersebut pada Juni 2025.
Adapun di sektor manufaktur alat musik, PT Yamaha Music Manufacturing Indonesia yang dilanda badai PHK imbas pemberhentian produksi dan merumahkan 2.700 karyawan.
Â
Â
Â
Pengusaha Soroti Tantangan Industri Padat Karya pada 2025
Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), menilai dinamika ketenagakerjaan saat ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang bersifat mikro atau terkait kondisi internal keuangan perusahaan masing-masing, maupun faktor yang sifatnya makro termasuk kondisi ekonomi global, perubahan tren industri, kenaikan biaya produksi dan kompetisi dengan produk impor, serta kebijakan ketenagakerjaan yang berlaku.
"Dalam menanggapi dinamika ini, perlu dilakukan analisis secara komprehensif dan berbasis data dengan melihatnya secara case by case. Penting untuk memahami apakah dinamika ketenagakerjaan yang terjadi merupakan keputusan bisnis yang bersifat individual atau mencerminkan tantangan industri secara makro," kata Ketua Umum APINDO, Shinta Kamdani di Jakarta, Senin (3/3/2025).
Shinta mengungkapkan, pihaknya mencermati beberapa sektor industri saat ini menghadapi tekanan ekonomi yang signifikan, yang berdampak pada keputusan bisnis yang sulit, termasuk pengurangan tenaga kerja.
Dia mengutip Outlook Ekonomi dan Bisnis 2025 yang telah dirilis APINDO sebelumnya, industri padat karya diprediksi masih menghadapi berbagai tantangan besar sepanjang tahun ini.Â
"Salah satu isu fundamental yang harus kita hadapi bersama adalah gejala deindustrialisasi dini, yang ditandai dengan terus menurunnya kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB, dari 29% pada tahun 2001 menjadi hanya 19% pada tahun 2024. Tren ini menunjukkan bahwa sektor industri, khususnya padat karya, membutuhkan kebijakan yang lebih mendukung agar tetap mampu bersaing dan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional," paparnya.
Shinta pun menyoroti sejumlah tantangan yang dihadapi industri padat karya masih berkisar pada struktur biaya operasional yang tinggi.
Tingginya biaya tersebut mencakup logistik, kenaikan biaya produksi, kenaikan UMP yang cukup signifikan, serta tekanan dari kompetitor di negara lain yang memiliki biaya tenaga kerja lebih rendah, juga pergantian regulasi ketenagakerjaan yang terlalu sering yang menciptakan ketidakpastian yang berdampak pada minat investasi.
Â
Â
Advertisement
Pentingnya Reformasi Struktural
"Oleh karena itu, APINDO terus berkoordinasi dengan pemangku kepentingan terkait guna mencari solusi terbaik bagi dunia usaha dan tenaga kerja, termasuk melalui peningkatan keterampilan baik itu upskilling maupun reskilling, serta kebijakan ketenagakerjaan yang mendukung peningkatan investasi pada sektor padat karya," tutur Shinta.
Shinta lebih lanjut menyarankan Pemerintah agar memastikan berjalannya reformasi struktural yang berfokus pada efisiensi biaya operasional, seperti penurunan biaya logistik, efisiensi rantai pasok, dan penyederhanaan regulasi yang sering kali menjadi hambatan bagi pelaku usaha.Â
"Dalam hal ini, APINDO berharap agar pemerintah terus menjalin dialog terbuka dengan dunia usaha untuk menyempurnakan kebijakan yang ada, sehingga mampu menciptakan ekosistem bisnis yang lebih sehat, berdaya saing, dan berkelanjutan," kata Shinta.
"APINDO juga senantiasa mendorong perusahaan untuk mengedepankan dialog sosial dengan para pekerja serta mengupayakan langkah-langkah yang mendukung keberlangsungan usaha dan perlindungan tenaga kerja," tuturnya.
Â
