Indonesia Kantongi Rp 639,5 Triliun untuk Proyek Penyimpanan Emisi

Salah satu investasi Carbon Capture and Storage berasal dari ExxonMobil yang bakal membangun proyek CCS di Laut Jawa, dan mengembangkan pabrik petrokimia di atas lahan seluas 500 ha.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana Diperbarui 21 Apr 2025, 20:00 WIB
Diterbitkan 21 Apr 2025, 20:00 WIB
Carbon Capture
Ilustrasi Carbon Capture. (Foto by AI) ... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia Carbon Capture and Storage Center (ICCSC) menyebut sudah ada investasi senilai USD 38 miliar, atau setara Rp 639,54 triliun (kurs Rp 16.830 per dolar AS) untuk pengembangan proyek penangkapan dan penyimpanan emisi karbon (CCS).

"Investasi yang telah masuk sekarang untuk free project, karena project itu baru onstream di 2030. Investasi ini sekitar USD 38 billion, ini dari berbagai perusahaan, dari multinational companies dan juga national companies," jelas Executive Director Indonesia Carbon Capture and Storage Center (ICCSC), Belladona Troxylon Maulianda, dalam konferensi pers International & Indonesia CCS Forum 2025 di Pullman Thamrin, Jakarta, Senin (21/4/2025).

Belladona mengatakan, salah satu investasinya berasal dari ExxonMobil yang bakal membangun proyek CCS di Laut Jawa, dan mengembangkan pabrik petrokimia di atas lahan seluas 500 ha.

Menurut dia, CCS jadi hal krusial bagi Indonesia. Terlebih Indonesia memiliki 600 gigaton (setara 600 miliar ton) tempat penyimpanan emisi CO2 di bawah tanah yang bisa dipakai untuk kepentingan domestik maupun luar negeri.

"Kalau kita taruh dalam konteks emisi kita itu sekitar 600 juta ton per tahunnya, jadi 600 giga dibagi 600 juta ton (emisi yang dihasilkan Indonesia tiap tahun) itu bisa kita simpan sekitar 1.000 tahun kalau hanya untuk emisi domestik," terangnya.

"Tapi kalau kita ingin menyimpan CO2 dari negara-negara tetangga, itu dikombinasikan dengan emisi domestik, kira-kira kita bisa menyimpan sekitar 200 tahun," dia menekankan.

 

Butuh Investasi Besar

Hanya saja, pemasangan CCS masih jadi tantangan lantaran membutuhkan investasi yang lebih besar. Sehingga Indonesia butuh kolaborasi dengan berbagai pihak untuk bisaa mencapainya.

"Kita belajar dari negara-negara leading countries lainnya seperti Norwegia dan Amerika. Jadi ini yang membutuhkan kolaborasi antara public and private partnership, dan juga tentunya pemerintah, untuk bisa mencari solusi ya bagaimana kita bisa meng-handle investasi ini," ungkapnya.

Belladona menilai, keberadaan CCS di Indonesia juga jadi peluang untuk industri hilir semisal petrokimia, baja, hingga semen, yang sulit untuk menghilangkan atau mengurangi emisi gas rumah kaca (dekarbonisasi).

"Walaupun mereka melakukan elektrifikasi, mengganti mobil misalnya dengan mobil listrik atau mengganti fuel dengan biofuel dan sebagainya, mereka masih menghasilkan emisi yang cukup tinggi," kata dia.

"Jadi tentunya mereka harus melakukan dekarbonisasi lainnya dan secara volume, berdasarkan teknologi dan sains, CCS itu paling besar yang bisa mereduksi volume-nya," tutur Belladona.

 

Low Carbon Products

Kendati begitu, industri hilir disebutnya tak bisa lepas dari kewajiban melakukan CCS. Lantaran tren global saat ini beralih kepada produk yang lebih ramah lingkungan.

"Jadi di saat produk yang kita hasilkan itu bisa mereduksi emisinya dan kita bisa clean sebagai low carbon products, kita bisa jual lebih mahal. Nah, industri-industri hilir kita ini sudah mengekspor ke luar negeri. Contohnya baja, kita sekitar 8 persen dari total ekspor baja kita itu kita export ke EU, European Union, di tahun 2026 akan mengaplikasikan namanya CBAN, Carbon Border Adjustment Mechanism," bebernya.

"Jadi semua barang-barang yang import ke EU harus low carbon products. Kalau tidak mereka akan dikenakan pajak atau bisa sama sekali tidak bisa diimport ke EU. Jadi itu adalah peluangnya," pungkas Belladona.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Produksi Liputan6.com

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya