Sepanjang pekan ini, nilai tukar rupiah menderita pelemahan terparah dibandingkan seluruh mata uang lain di kawasan Asia. Ambruknya rupiah terpicu sentimen Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) yang memberikan sinyal kuat untuk segera menarik dana stimulusnya dalam beberapa bulan ke depan.
Munculnya pengumuman The Fed tersebut mengganggu aliran dana masuk ke sejumlah aset negara berkembang, termasuk Indonesia.
Seperti dikutip Bloomberg, Jumat (22/11/2013), rupiah sepanjang pekan ini telah anjlok 0,8% ke level 11.715 pada perdagangan pukul 09:38 waktu Jakarta. Sementara pada perdagangan hari sebelumnya, nilai tukar rupiah sempat menyentuh level 11.733, angka terendah sejak Maret 2009.
Dibandingkan mata uang negara-negara tetangga, rupiah merosot paling parah. Sepanjang pekan, nilai tukar baht merosot 0,7% menjadi 31,8 per dolar AS. Sementara ringgit hanya melemah 0,3% ke level 3,2113 dan peso melemah 0,4% ke level 43,835,
Selain pelemahan, mata uang negara Asia lain justru mencatat penguatan seperti rupee yang menguat 0,3% menjadi 62,94, won 0,3% ke level 1.060,74 dan tolar Taiwan 0,2% menjadi 29,571. Sementara yuan dan dong stabil masing-masing di level 6,0925 dan 21,095.
Berdasarkan hasil pertemuan rapat kebijakan Federal Open Market Committee (FOMC) yang berlangsung Oktober lalu, The Fed dapat mengurangi jumlah pembelian obligasinya kapanpun saat ekonomi AS membaik. Wakil Direktur Pelaksana IMF Zhu Min mengatakan, beberapa negara berkembang di Asia panik menghadapi risiko penarikan dana stimulus The Fed yang tak terduga.
"Spekulasi munculnya tapering akan berlangsung lebih cepat dari perkiraan, berdampak negatif bagi negara-negara berkembang," ungkap CEO FPG Securities Co. KOji Fukaya di Tokyo.
Pertemuan FOMC pada 17-18 Desember mendatang akan membahas dan menilai pertumbuhan ekonomi dan kemajuan di pasar tenaga kerja sebagai penentu rencana pengurangan pembelian aset yang dilakukan The Fed. Sejauh ini, klaim jumlah pengangguran hingga 16 November tercatat menurun sebanyak 21 ribu orang menjadi 323 ribu. Angka tersebut merupakan tingkat pengangguran terendah di AS sejak 28 September.(Sis/Shd)
Munculnya pengumuman The Fed tersebut mengganggu aliran dana masuk ke sejumlah aset negara berkembang, termasuk Indonesia.
Seperti dikutip Bloomberg, Jumat (22/11/2013), rupiah sepanjang pekan ini telah anjlok 0,8% ke level 11.715 pada perdagangan pukul 09:38 waktu Jakarta. Sementara pada perdagangan hari sebelumnya, nilai tukar rupiah sempat menyentuh level 11.733, angka terendah sejak Maret 2009.
Dibandingkan mata uang negara-negara tetangga, rupiah merosot paling parah. Sepanjang pekan, nilai tukar baht merosot 0,7% menjadi 31,8 per dolar AS. Sementara ringgit hanya melemah 0,3% ke level 3,2113 dan peso melemah 0,4% ke level 43,835,
Selain pelemahan, mata uang negara Asia lain justru mencatat penguatan seperti rupee yang menguat 0,3% menjadi 62,94, won 0,3% ke level 1.060,74 dan tolar Taiwan 0,2% menjadi 29,571. Sementara yuan dan dong stabil masing-masing di level 6,0925 dan 21,095.
Berdasarkan hasil pertemuan rapat kebijakan Federal Open Market Committee (FOMC) yang berlangsung Oktober lalu, The Fed dapat mengurangi jumlah pembelian obligasinya kapanpun saat ekonomi AS membaik. Wakil Direktur Pelaksana IMF Zhu Min mengatakan, beberapa negara berkembang di Asia panik menghadapi risiko penarikan dana stimulus The Fed yang tak terduga.
"Spekulasi munculnya tapering akan berlangsung lebih cepat dari perkiraan, berdampak negatif bagi negara-negara berkembang," ungkap CEO FPG Securities Co. KOji Fukaya di Tokyo.
Pertemuan FOMC pada 17-18 Desember mendatang akan membahas dan menilai pertumbuhan ekonomi dan kemajuan di pasar tenaga kerja sebagai penentu rencana pengurangan pembelian aset yang dilakukan The Fed. Sejauh ini, klaim jumlah pengangguran hingga 16 November tercatat menurun sebanyak 21 ribu orang menjadi 323 ribu. Angka tersebut merupakan tingkat pengangguran terendah di AS sejak 28 September.(Sis/Shd)