Kebijakan Pemerintah Bukan Obat Gosok Pinggir Jalan

Kebijakan ekonomi pemerintah dan bank sentral akan menjadi fokus perhatian investor ke depan.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 04 Feb 2014, 13:30 WIB
Diterbitkan 04 Feb 2014, 13:30 WIB
chatib-basri-140204b.jpg
Pemerintah mengklaim kebijakan ekonomi yang dikeluarkan sejak pertengahan tahun lalu telah membuahkan hasil. Tercermin dari realisasi neraca perdagangan Indonesia yang membukukan kinerja positif sejak Oktober-Desember 2013.

Ini seolah menepis anggapan negatif dari sejumlah pihak terhadap kebijakan pemerintah tersebut. Menteri Keuangan Chatib Basri mengungkapkan, sejak sinyal pengakhiran quantitative easing (QE) dari Bank Sentral Amerika Serikat (AS) pada Mei 2013 hingga implementasi tapering off pada Januari ini sangat besar dampaknya terhadap negara-negara berkembang.

"Ini (tapering off) menandakan berakhirnya uang murah atau mudah. Sehingga negara-negara berkembang melakukan penyesuaian. Seperti Indonesia yang melakukan kombinasi kebijakan ekonomi dan moneter dengan Bank Indonesia (BI)," ujar Chatib di acara Peluncuran Road Map Tata Kelola Perusahaan di Jakarta, Selasa (4/2/2014).

Kebijakan ekonomi pemerintah bertujuan untuk mengurangi defisit neraca perdagangan, neraca transaksi berjalan dengan berbagai upaya, misalnya kenaikan PPh dari 2,5% menjadi 7,5%, aturan KITE, penyesuaian PPnBM barang mewah dan sebagainya.

Sedangkan BI fokus pada bauran kebijakan, pengetatan moneter termasuk menaikkan suku bunga acuan (BI Rate) hingga 175 basis poin dari pertengahan tahun lalu. Kebijakan ini dilakukan untuk mengendalikan laju impor serta mengendalikan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang sempat terperosok dalam.

"Indonesia masuk dalam negara fragile five, termasuk India, Turki, Afrika Selatan, Brazil. Di mana negara-negara ini mengalami depresiasi nilia tukar mata uang yang cukup tajam. Tapi rupiah stabil di bawah Rp 12.200 per dolar AS, padahal Turki sampai menaikkan interest rate sampai 400 basis poin dan India 200 basis poin dengan rata-rata 10%-11%," jelasnya.

Cermin positif bukan saja terjadi pada membaiknya nilai tukar rupiah, tapi juga neraca perdagangan. Chatib mengatakan, empat bulan setelah kebijakan pemerintah dan BI berjalan, neraca perdagangan Indonesia surplus sebesar US$ 2,3 miliar pada kuartal IV 2013.

"Ini menandakan bahwa kebijakan pemerintah bukan obat gosok di pinggir jalan yang bisa menyembuhkan gatal-gatal seketika. Tapi kita bisa tunjukkan dengan surplus dan perkiraan defisit neraca transaksi berjalan akan berada di bawah 2% terhadap PDB di 2014 sehingga ini merupakan gejala baik dan menimbulkan kepercayaan diri buat kita," tandas dia.

Hanya saja, tambah Chatib, isu krusial ke depan adalah mengenai neraca modal mengingat ada kekhawatiran modal akan kembali ke AS.

"Ke depan investor tak akan lagi melihat sebuah negara dari aset sumber daya alam, pasar besar, buruh murah tapi justru kebijakan pemerintah dan bank sentralnya seperti apa," tutur Chatib. (Fik/Ahm)


Baca juga:

The Fed `Cuek` Sama Negara Berkembang?

Kebijakan Pemerintah Selalu Direspons Salah, Menkeu: Karakter RI

Ini Alasan Bank Sentral AS Tetap Melanjutkan Tapering




POPULER

Berita Terkini Selengkapnya