Liputan6.com, Jakarta - Bela Guttmann bukan pelatih sepak bola biasa. Ada dua kutipannya yang menjadi legenda dan terbukti kebenarannya.Â
Pertama menyangkut durasi kerja. Guttmann menyebut pelatih tidak boleh bekerja di satu tempat terlalu lama.
Baca Juga
Jika ada yang demikian, sosok berkebangsaan Hungaria tersebut menilai yang bersangkutan bakal kesulitan merebut prestasi karena semakin besarnya tantangan. "Pada musim pertama, sang pelatih bisa bekerja tenang. Periode kedua lebih sulit. Sementara kampanye ketiga adalah fatal," ungkapnya.
Advertisement
Pandangan Guttmann terbukti tepat. Jose Mourinho kerap terpuruk di musim ketiga bersama sejumlah tim yang dipimpinnya. Pep Guardiola juga letih setelah terlalu lama menangani Barcelona.Â
Guttmann juga menjalankan sendiri filosofi tersebut. Dia maksimal bekerja dua tahun bersama 17 klub sejak menjadi pelatih pada 1933.
Beberapa nama besar yang pernah ditanganinya dalam periode itu adalah AC Milan, Sao Paulo, dan FC Porto. Sebelum akhirnya Guttmann tiba di Estadio da Luz untuk menakhodai SL Benfica pada 1960.
Saksikan Video Benfica Berikut Ini
Kemenangan Beruntun Berbuah Petaka
Guttmann membawa Benfica mempertahankan status juara Portugal pada musim pertamanya. Selain itu, dia juga membantu As Aguias memenangkan Piala Champions (cikal Liga Champions). Benfica pun menjadi klub kedua yang menguasai Eropa setelah Real Madrid menguasai lima edisi pertama.
Prestasi itu jadi modal baginya di kampanye berikut. Gelar liga lepas, namun Benfica memenangkan Piala Portugal. Guttmann juga sukses mempersembahkan titel Piala Champions kedua.
Pemain andalannya ketika itu adalah Mario Coluna, Jose Aguas, dan tentunya Eusebio. The Black Panther mencetak dua gol di final Piala Champions 1962 ke gawang Real Madrid dan membawa timnya menang 5-3.
Prestasi itu meyakinkan Guttmann untuk mencoba tinggal di Benfica dan melakoni musim ketiga. Namun, dia juga meminta bonus yang dijanjikan manajemen atas prestasi yang diraih.
Namun, direksi Benfica ingkar. Guttmann kemudian menyumpahi Benfica. Tidak ada yang tahu kalimat persis yang diucapkannya. Namun, banyak yang mengklaim dia mengutuk As Aguias tidak akan menjadi juara kompetisi Eropa selama 100 tahun. Guttmann kemudian mundur dan beralasan Benfica tidak membutuhkan jasanya lagi.
Â
Advertisement
Doa Eusebio di Makam Guttmann
Betapa anggapan tersebut benar adanya. Benfica lolos ke fina kompetisi Eropa yakni Piala Champions (1963, 1965, 1968, 1988, 1990) dan Piala UEFA/Liga Europa (1983, 2013, 2014), tapi selalu tumbang.
Coba mengubah peruntungan, Eusebio mengunjungi makam Guttmann, yang dikubur di Wina, jelang final Piala Champions 1990. Benfica dijadwalkan bersua AC Milan di kota sama.
Di sana Eusebio berdoa dan meminta mantan pelatihnya membatalkan sumpah. Usaha itu tidak berbuah manis. Benfica tumbang 0-1 akibat gol Frank Rijkaard.
Kutukan Guttmann hingga kini masih membayangi psikologis Benfica saat berkompetisi di Eropa, terlepas dominasi klub pada pentas domestik. Musim ini mereka bahkan sudah tersisih di kualifikasi ketiga Liga Champions.
Guttmann terus bekerja hingga 1973. Dia bahkan sempat kembali ke Benfica dan melatih tim pada periode 1965.
Namun Guttmann gagal mengulang kesuksesan. Benfica mengakhiri Liga Portugal di posisi dua, serta tersingkir di perempat final Piala Portugal dan Piala Champions. Dia kemudian memutuskan hengkang dan menakhodai klub Swiss Servette.
Selamat dari Holocaust
Kutukan Benfica hanya jadi salah satu kisah menarik dalam hidup Guttmann, yang meninggal dunia pada 1981. Berdarah Yahudi, dia harus meninggalkan tanah kelahiran demi menghindari antisemitisme yang diusung pemimpin Hungaria Miklos Horthy. Guttmann kemudian kabur ke Amerika Serikat.
Di Negeri Paman Sam, dia juga mengajar dansa, membuka bar, serta menanam investasi di pasar saham demi bertahan hidup. Namun, Guttmann hampir kehilangan seluruh hartanya akibat keruntuhan Wall Street 1929.
Gutmann kembali ke Eropa untuk melatih pada 1932. Ketika Nazi Jerman menginvasi Hungaria, dia sempat bersembunyi di loteng iparnya.
Sayang Guttmann tetap ketahuan dan dikirim ke kamp konsentrasi. Dia sukses melarikan diri pada Desember 1944 sebelum dikirim ke Auschwitz. Namun, sang ayah Abraham, kakak perempuan Szeren, serta keluarga besarnya tidak berhasil lolos dan dibunuh di sana.
Advertisement