Kominfo Minta Mahasiswa Waspadai Era Post Truth

Kominfo berharap, mahasiswa bisa menjadi agen perubahan dengan meningkatkan literasi digital.

oleh Liputan6.com diperbarui 14 Nov 2020, 07:00 WIB
Diterbitkan 14 Nov 2020, 07:00 WIB
Nyala Lilin Sudahi Aksi Unjuk Rasa Tolak Pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja
Peserta aksi unjuk rasa memegang lilin saat doa bersama lintas agama di Kawasan Patung Kuda, Jakarta, Selasa (10/11/2020). Sejumlah massa gabungan dari berbagai organisasi buruh dan mahasiswa berunjuk rasa menolak pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) meminta, mahasiswa mewaspadai era post truth atau pascakebenaran menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020.

Hal ini disampaikan Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kominfo, Widodo Muktiyo saat mengisi kegiatan "Forum Diskusi Publik: Peran Mahasiswa dalam Menyukseskan Pemilihan Serentak 2020 di Ruang Digital".

"Era post truth, pada era virtual seolah-olah ada kebenaran, padahal kebenaran tersebut belum tentu benar," kata Widodo seperti dilansir Antara.

Widodo mengatakan bahwa era post truth sering kali dikecohkan dengan permainan narasi dan efek visual seolah apa yang disampaikan itu benar sehingga berdampak pada terganggunya akal kritis seseorang, termasuk mahasiswa.

Kondisi tersebut, lanjut Widodo, perlu menjadi catatan masyarakat yang memiliki karakteristik tinggi.

"Oleh karena itu, kita harus ingat punya hati dan pikiran. Ini membimbing pemahaman kita pada era informasi tersebut," katanya.

Widodo berharap, mahasiswa bisa menjadi agen perubahan dengan meningkatkan literasi digital. 

"Oleh karena itu, penerus berkewajiban membuat fondasi itu, termasuk menjadi pengontrol sosial," katanya.

Berdasarkan informasi yang dimilikinya, dari sekitar 90 persen berita tidak benar atau hoaks merupakan sesuatu yang disengaja dengan tujuan tertentu.

Dari berita-berita hoaks yang beredar di tengah masyarakat tersebut, dia menyebutkan 61 persennya bersifat menghasut.

"Jadi, tidak akurat datanya, mereka melakukan itu bukan karena iseng sehingga (penerima informasi) harus hati-hati, itulah yang jadi tugas mahasiswa untuk lebih kritis karena saat ini informasi sangat terbuka," katanya.

 

Simak vieo pilihan berikut ini:

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya