Hoaks Bisa Bikin Anda Terpikat, Berikut Faktanya

Tak bisa dipungkuri lagi bahwa hoaks sudah merajarela kemana-mana. Lantas apa yang membuat hoaks begitu memikat ketertarikan kita? Simak berbagai alasannya.

oleh Nabila Lutvia Tanjung diperbarui 13 Mei 2024, 07:00 WIB
Diterbitkan 13 Mei 2024, 07:00 WIB
Waspada Sebaran Hoaks saat Hari Pemungutan Suara!
hoaks (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta-- Hoaks telah menjadi masalah di tengah perkembangan era digital dan beredar dengan luas, informasi bohong ini pun telah konsumsi sebagian masyarakat yang mudah mempercayainya.

Dikutip dari The Conversation Indonesia, Penelitian tentang hoaks dalam perilaku Voters di Amerika Serikat (AS) pada pemilu 2016, menunjukkan adanya korelasi kuat antara hoaks dan pengambilan keputusan politik. Hasil penelitian di Italia tahun 2018 juga menunjukkan fenomena yang sama.

Dampak yang muncul dapat berupa sikap memilih berdasarkan emosi, bukan track record, visi ataupun program kerja. Sikap ini dapat memperbesar peluang lahirnya pemerintahan yang tidak berkualitas, meningkatnya apatisme dan menurunnya tingkat kepercayaan.

Jadi apa sebenarnya yang membuat hoaks begitu memikat orang-orang untuk mempercayainya? Ada beberapa hal yang membuat hoaks begitu memikat dan memiliki pengaruh besar terhadap pola pikir dan emosi kita.

Perpaduan Teks dan Visual

Dikutip dari The Conversation Indonesia, perpaduan teks dan visual adalah alasan pertama yang membuat hoaks begitu Memikat. Hoaks kerap berupa paduan antara teks dan grafis yang menarik.

Peneliti Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mengungkap bahwa, konten berupa kombinasi antara teks dan gambar atau video mendominasi komposisi temuan dengan persentase hingga 79,2 persen. Dominan konten kombinasi ini difasilitasi oleh perkembangan teknologi, yang semakin memudahkan kreasi konten grafis dan video.

Sebuah penelitian tentang psikologi dan media di Inggris pada tahun 2022, juga menyimpulkan bahwa, teknologi telah mengaburkan batas antara citra visual yang nyata dan palsu. Selain itu, penelitian Asisten Profesor di Univestitas Amsterdam, Belanda Michael Hameleers mengungkap bahwa, disinformasi berbentuk visual, lebih memengaruhi audiens dibanding konten yang berupa teks saja.

 

Mengeksploitasi Emosi

Hoaks dapat memengaruhi emosi audiens melalui berbagai tipe konten. Seperti pemetaan yang dilakukan oleh Mafindo menunjukkan bahwa, hoaks paling banyak menggunakan tipe narasi Wedge Driver,yaitu narasi yang cenderung mendiskreditkan pihak tertentu. Lalu selanjutnya tipe narasi Pipe Dream, yang dimana tipe ini membangkitkan harapan dan tipe terakhir adalah Bagies, yang cenderung menakut-nakutin.

Tipe-tipe ini diadopsi dari konsep yang diperkenalkan oleh Profesor Psikologi di Universitas Wesleyan As Robert H.Knapp pada tahun 1944, yang menjelaskan tentang psikologi rumor.

Menurut penelitian tersebut, tipe-tipe itu menunjukkan cara rumor mengikat audiens melalui emosi, sehingga mereka merasa hal itu penting dan lantas mempercayainya.

Marak Kasus Video Hoaks Soal Uang Hilang di Bank
ilustrasi pengguna smartphone terpikat informasi hoaks. (Shutterstock/Pond Saksit)

Manipulasi Bukti

Hoaks sering kali menyajikan bukti untuk mendukung klaimnya agar audiens yakin, bukti disertakan seringkali palsu dan tidak relevan. Ada beragam jenis bukti yang dipakai dari pernyataan hoaks, mulai dari pengalaman langsung, Kutipan, menyertaan tautan URL, menyematkan gambar atau video dan menambahkan alasan. Namun, ada juga yang tidak menyertakan bukti sama sekali.

Bukti berupa pengalaman langsung banyak ditemui pada hoaks kesehatan. Umumnya berupa testimoni dari seseorang tentang kemanjuran pengobatan tertentu. Hoaks terkadang juga menyertakan tautan atau URL, agar terkesan seolah informasi di dalamnya mengacu pada sumber kredibel.

Cara lain meyakinkan audiens adalah dengan mencatut pernyataan pihak tertentu. Terkadang nama pihak tersebut jelas, sehingga dapat diminta klarifikasi, namun sering kali juga tidak jelas. Dari berbagai bukti yang disajikan oleh penyebar hoaks, penggunaan gambar atau video merupakan cara favorit untuk menyebarkan hoaks agar memikat audiensnya.

 

Hoaks Manfaatkan Ketidaktahuan Audiens

Pembuat informasi hoaks memanfaatkan Ketidaktahuan masyarakat untuk menyebarkan klaim tertentu. Seperti modus menjelang pelaksanaan pemilu 2024, dengan memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat tentang regulasi dan data kependudukan, dimanfaatkan produsen hoaks untuk menyebarkan klaim menyesatkan terkait pemilu 2024.

Seperti contoh, klaim bahwa warga negara asing (WNA) diberikan kartu tanda penduduk (KTP) untuk memenangkan kandidat tertentu. Ada juga klaim bahwa kode 00 pada data pemilih, merupakan kode KPU untuk mengondisikan pemenang pemilu.

Tetapi faktanya, WNA memang diberikan KTP elektronik, akan tetapi tidak memiliki hak memilih. Adapun kode 00 yang dipermasalahkan tersebut merupakan kode RT, yang sebagaimana tertulis dalam KTP dan direktorat jenderal kependudukan dan pencatatan sipil, yang kemudian dimasukkan ke dalam data KPU.

Tentang Cek Fakta Liputan6.com

Melawan hoaks sama saja melawan pembodohan. Itu yang mendasari kami membuat Kanal Cek Fakta Liputan6.com pada 2018 dan hingga kini aktif memberikan literasi media pada masyarakat luas.

Sejak 2 Juli 2018, Cek Fakta Liputan6.com bergabung dalam International Fact Checking Network (IFCN) dan menjadi partner Facebook. Kami juga bagian dari inisiatif cekfakta.com. Kerja sama dengan pihak manapun , tak akan mempengaruhi independensi kami.

Jika Anda memiliki informasi seputar hoaks yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan di email cekfakta.liputan6@kly.id.

Ingin lebih cepat mendapat jawaban? Hubungi Chatbot WhatsApp Liputan6 Cek Fakta di 0811-9787-670 atau klik tautan berikut ini.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya