Liputan6.com, Jakarta - Perubahan iklim merupakan ancaman serius bagi masyarakat di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Dampak dari perubahan iklim juga bisa memicu bencana alam, misalnya kekeringan, banjir, hingga tanah longsor.
Namun, pemberitaan atau isu soal perubahan iklim ini ternyata kurang menjadi perhatian masyarakat. Hal ini yang disorot oleh Founder Indonesian Journalists For Climate (IJ4C), Dewi Safitri.
Advertisement
Baca Juga
Ia mengatakan, isu iklim termasuk baru di Indonesia dan muncul dalam 10 tahun terakhir. Padahal, isu perubahan iklim sangat penting diketahui publik dan pemerintah agar bisa ditangani dengan baik.
"Di Indonesia dan beberapa negara di Asia Tenggara, isu iklim paling sedikit di angkat. Kami ingin mendorong supaya kuantitas liputan iklim di Indonesia naik. Kenapa isu iklim ini perlu didorong, ini isu terbesar bagi generasi kita. Kalau krisis iklim ini tidak bisa ditangani, kita sudah wasalam aja, kiamat," kata Dewi saat diskusi bertajuk 'A Press for the Planet : Journalism in the Face of the Environmental Crisis' yang digelar UNESCO di Jakarta, Rabu (10/7/2024).
Dewi mengakui, hingga kini masih sedikit media massa atau kantor berita yang mengangkat isu perubahan iklim. Ia menyebut, ada beberapa faktor yang menyebabkan minimnya pemberitaan soal perubahan iklim.
Pertama yaitu faktor eksternal. Menurutnya, data soal penyebab dan dampak dari perubahan iklim masih terbatas.
"Kemudian juga persoalannya riset tidak dilakukan mendalam. Arus informasi yang dari luar terbatas," ungkap Dewi.
Selanjutnya adalah faktor internal. Pemberitaan soal perubahan iklim kurang menjadi sorotan, apalagi jika dibandingkan dengan pemberitaan artis dan peristiwa yang viral.
Selain itu, memproduksi berita terkait perubahan iklim memerlukan waktu yang tidak sebentar. Jurnalis perlu melakukan riset, membaca jurnal, hingga menunggu konfirmasi dari narasumber.
"Jadi kalau faktor eksternal dan internalnya tidak diperhatikan maka akan makin sulit mendorong banyaknya informasi yang baik untuk audience tentang iklim," tambah dia.
Sementara, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Desmiwati memastikan, pihaknya sangat terbuka terhadap para jurnalis yang ingin melakukan riset dan membuat pemberitaan terkait perubahan iklim.
BRIN, kata dia, sudah beberapa kali bekerja sama dengan jurnalis baik dari dalam negeri maupun internasional untuk membantu dalam pemberitaan perubahaan iklim,
"Kalau secara institusi ada kerjasama dengan jurnalis, ketika ada riset-riset dalam skala internasional dan besar. Kami melakukan media brief atau menginformasikan apa yang sedang dilakukan," kata Demiwati.
Program Director for Justice, Anti-Corruption and Human Right dari Kemitraan, Rifqi Sjarief Assegaf menyebut, media massa punya peran penting dalam merespons perubahan iklim, terutama lewat berbagai pemberitaan.
Bagi dia, tugas-tugas jurnalistik tidak hanya memberikan edukasi ke masyarakat untuk mewaspadai dampak dari perubahan iklim. Tetapi yang terpenting yaitu mengawasi kebijakan pemerintah dalam menangani perubahan iklim.
"Media punya dua peran, satu edukasi masyarakat, dan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah. Mengedukasi ini PR besar, kita berharap media punya peran lebih adalah meminta pertanggung jawaban negara dalam melaksanakan tugasnya," kata Rifqi.
Tentang Cek Fakta Liputan6.com
Melawan hoaks sama saja melawan pembodohan. Itu yang mendasari kami membuat Kanal Cek Fakta Liputan6.com pada 2018 dan hingga kini aktif memberikan literasi media pada masyarakat luas.
Sejak 2 Juli 2018, Cek Fakta Liputan6.com bergabung dalam International Fact Checking Network (IFCN) dan menjadi patner Facebook. Kami juga bagian dari inisiatif cekfakta.com. Kerja sama dengan pihak manapun, tak akan mempengaruhi independensi kami.
Jika Anda memiliki informasi seputar hoaks yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan di email cekfakta.liputan6@kly.id.
Ingin lebih cepat mendapat jawaban? Hubungi Chatbot WhatsApp Liputan6 Cek Fakta di 0811-9787-670 atau klik tautan berikut ini.
Advertisement