Liputan6.com, Jakarta Makhluk misterius yang sering dianggap sebagai mitos, yakni naga ternyata memiliki akar sejarah yang kokoh. Orang-orang pada masa lampau menggambarkan punggungnya yang tertutup rapat oleh barisan perisai sehingga tidak memungkinkan udara melewatinya. Lubang hidungnya bukan hanya sumber asap, tetapi juga pancaran api yang mampu menyulut batu bara akibat nafasnya yang kuat.
Dalam Kitab Ayub atau Book of Job, terdapat gambaran makhluk serupa yang disebut sebagai Leviathan yakni sebuah monster raksasa yang menakutkan. Kesamaan ini menambahkan misteri seputar keberadaan naga dalam sejarah.
Advertisement
Baca Juga
Naga tidak hanya menjadi bagian dari mitos dalam suatu wilayah, tetapi juga meninggalkan jejak dalam mitologi berbagai budaya di berbagai belahan dunia, seperti Amerika, Eropa, India, dan Tiongkok. Kisah-kisah mengenai naga tersebar luas dengan beragam variasi, menggambarkan naga memiliki ciri khas yang unik.
Advertisement
Seiring berlalunya waktu, citra naga menjadi semakin kompleks dan beraneka ragam. Ada yang digambarkan memiliki sayap, sementara yang lain tidak. Beberapa naga dapat berbicara dan menyemburkan api, sementara yang lain tidak memiliki kemampuan tersebut. Keberadaan naga tidak terbatas pada satu lokasi saja ada yang tinggal di istana atau di dasar laut, sementara yang lain hanya dapat ditemukan di dalam gua atau di kawasan pegunungan.
Naga juga dapat diinterpretasikan sebagai makhluk baik atau jahat, menambahkan elemen mistis pada cerita-cerita yang melibatkan mereka. Meskipun sulit dipastikan kapan pertama kali muncul, naga diyakini telah menjadi bagian dari mitologi sejak zaman Yunani dan Sumeria Kuno.
Berita kisah detailnya seperti dirangkum dari berbagai sumber, Rabu (19/6/2024).
1. Arti Naga
Asal-usul kata 'Dragon' dalam bahasa Inggris dapat ditelusuri ke bahasa Yunani Kuno, yakni 'draconta,' yang memiliki makna 'untuk mengawasi.' Dalam konteks ini, konsep naga sebagai makhluk buas mengacu pada perannya dalam menjaga harta karun, gunungan koin, atau emas, sebagaimana tergambar dalam trilogi film epik fantastis The Hobbit. Dalam narasi tersebut, naga dianggap sebagai penjaga yang menakutkan, menciptakan citra makhluk mitologis yang kuat dan menarik.
Keterlibatan naga dalam cerita-cerita Alkitab memberikan dimensi spiritual pada makhluk tersebut. Sebagai bagian dari warisan budaya dan keyakinan masyarakat, naga tetap menjadi simbol kekuatan dan ketakutan, merepresentasikan peran yang luas dan dalam dalam mitologi yang memengaruhi pandangan masyarakat terhadap makhluk ini.
Advertisement
2. Naga dalam Agama Kristen
Gereja Kristen membentuk legenda epik mengenai orang-orang kudus yang melawan dan mengalahkan setan dalam bentuk naga, dan salah satu cerita yang paling terkenal adalah kisah St. George the Dragon Slayer.
Dalam narasi ini, orang kudus menunjukkan keberanian dan keimanan mereka dengan menghadapi naga yang melambangkan kejahatan dan kegelapan. Kisah-kisah semacam ini menjadi simbol perlawanan terhadap kekuatan jahat dan menegaskan kekuatan kebaikan dalam kepercayaan Kristen.
Pada masa tersebut, kemungkinan besar orang Kristen meyakini eksistensi naga secara harfiah seperti yang diungkapkan oleh laman Livescience. Pemahaman harfiah terhadap naga mencerminkan pandangan keagamaan pada masa itu, di mana makhluk mitologis seperti naga diartikan sebagai simbol nyata dari kejahatan yang harus diatasi oleh kekuatan ilahi. Legenda St. George menjadi bukti bagaimana keyakinan dan simbolisme dapat membentuk pandangan dunia dan spiritualitas pada periode tersebut.
3. Naga dalam Tradisi Hindu maupun Buddha
Naga memiliki peran penting dalam tradisi Hindu dan Buddha, dianggap sebagai makhluk mistis yang sering dikaitkan dengan keberkahan.
Menurut John Miksic dalam bukunya 'Borobudur: Golden Tales of the Buddha', naga menjadi elemen khas dalam literatur dan seni Hindu. Di situs-situs seperti Borobudur, mereka dapat digambarkan dalam bentuk manusia atau sebagai hewan yang memiliki keunikan sendiri.
Kata 'Naga' diambil dari bahasa Sanskerta dan memiliki arti harfiah sebagai ular di Indonesia. Khususnya di Jawa, istilah 'Naga' lebih sering merujuk pada dewa ular yang sering diasosiasikan dengan unsur air dan kesuburan dalam budaya Jawa Kuno. Banyak cerita mengenai Naga di Jawa yang tertuang dalam pahatan di candi, terutama terkait dengan air amrta atau air kehidupan dalam cerita samudramanthana.
Advertisement
4. Naga dalam Tradisi Tiongkok
Dalam kebudayaan Tiongkok, Naga, atau yang dikenal sebagai 'Long,' menduduki posisi khusus sebagai makhluk yang tinggal di lautan, danau, sungai, bahkan diyakini memiliki pengaruh terhadap hujan.
Masyarakat Tiongkok melihat Naga sebagai simbol kehidupan, keberuntungan, dan kesuburan, meyakini bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mendatangkan hujan pada musim kemarau, memberikan berkah bagi tanaman dan kehidupan secara keseluruhan. Penjelasan mengenai penampilan fisik Naga mencakup gabungan elemen yang mencolok, seperti tubuh ular, sisik ikan, cakar elang, tanduk rusa, dan wajah Qilin, menambahkan sentuhan mistis dalam representasi mereka dalam mitologi Tiongkok.
Keberadaan Naga dalam budaya Tiongkok mencerminkan hubungannya dengan siklus alam, di mana mereka tidak hanya dianggap sebagai makhluk mitologis, tetapi juga sebagai pelindung harmoni alam. Keyakinan ini menjadi dasar spiritual bagi penghargaan terhadap alam dan unsur-unsur alam yang diwakili oleh Naga, menjadikannya simbol yang dalam dan bermakna dalam keyakinan dan tradisi Tiongkok.
5. Naga dalam Mesopotamia Kuno
Kisah naga juga memiliki akar dalam mitologi kuno Mesopotamia, di mana makhluk mitologis bernama Mušḫuššu atau ular ganas, menjadi entitas utama dalam teks tertulis Sumeria dan Babilonia. Mušḫuššu digambarkan sebagai makhluk drakonik bersisik, memiliki lidah dan kepala ular, serta cakar elang. Dewa Marduk, yang sering muncul dalam bentuk mirip naga, dianggap sebagai simbol kemenangan atas dewa Tiamat.
Keberadaan makhluk drakonik ini terdokumentasi dalam ukiran Gerbang Ishtar di Babilonia, yang berasal dari abad ke-6 SM. Meskipun asal-usul mitos naga ini tidak diketahui secara pasti, cerita ini tersebar ke berbagai wilayah.
Dalam kerangka Zoroastrianisme, salah satu agama tertua di dunia, Zahhāk dianggap sebagai putra Ahriman, personifikasi roh jahat. Mitologi Persia kuno menggambarkan naga sebagai makhluk yang sangat jahat dan dianggap sebagai pertanda buruk. Oleh karena itu, kisah naga mencerminkan kompleksitas mitologi yang melibatkan unsur kemenangan, kejahatan, dan pertanda buruk dalam sejarah dan keyakinan kuno.
Advertisement
6. Kekeliruan Terhadap Naga
Berabad-abad yang lalu, desas-desus mengenai keberadaan naga akhirnya mendapatkan konfirmasi dari saksi mata terutama para pelaut yang pulang dari Indonesia. Mereka melaporkan bertemu dengan makhluk yang mirip kadal, agresif, dan berpotensi mematikan, dengan panjang mencapai 10 kaki.
Namun, pada akhirnya, ternyata deskripsi tersebut merujuk pada komodo. Sebelumnya, gigitan komodo dianggap sangat mematikan karena bakteri beracun di mulutnya, namun mitos ini dibantah oleh tim peneliti dari Universitas Queensland pada tahun 2013.
Catatan menarik berasal dari abad ke-16, ketika Fei Xin, seorang personel militer yang berlayar bersama Cheng Ho, mengunjungi bagian utara Sumatera. Dalam bukunya ‘Catatan Umum Perjalanan di Lautan (Xing Cha Sheng Lan)’, ia menceritakan pulau yang sering didatangi oleh naga, seperti terbuktikan dari air liur yang ditinggalkan. Namun, berdasarkan terjemahan W.P. Groeneveldt, liur naga yang dimaksud sebenarnya adalah ambergris, dan naga tersebut merujuk pada paus.
Catatan lain dari Mu Huan dalam ‘Yingya Shenglan’ pada sekitar tahun 1416 juga menyebutkan keberadaan naga di pesisir Melaka, yang ternyata adalah kura-kura dan naga. Naga yang disebutkan memiliki empat kaki, tetapi berdasarkan terjemahan Groeneveldt, naga tersebut sebenarnya adalah buaya. Kesimpulannya, naga-naga ini, seiring berjalannya waktu, mengambil bentuknya sendiri dengan menyerap harapan dan imajinasi masyarakat setempat, sering kali meminjam sifat-sifat hewan yang nyata.