Liputan6.com, Jakarta Pada abad ke-17, suasana di sekitar Gereja Salib (Kruiskerk) di dalam tembok kota Batavia mencerminkan pemandangan yang menakjubkan. Orang-orang yang berasosiasi dengan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) tampaknya memahami makna kehadiran mereka di gereja ini. Setiap pergi ke gereja, orang-orang VOC memperlihatkan penampilan mewah, mengenakan pakaian yang mencerminkan status sosial dan keberhasilan mereka di dunia dagang Hindia Timur.
Meskipun penampilan mewah ini menarik perhatian, para pendeta gereja tidak ragu untuk menegur mereka agar menjalankan hidup sederhana. Mungkin sebuah kontras yang menarik antara kemewahan dunia dagang dan panggilan rohaniah yang menuntut kesederhanaan. Gereja Salib, sebagai gereja termegah umat Protestan (Reformasi) pertama di dalam tembok kota Batavia pada 1640-an, menjadi saksi peristiwa ini.
Baca Juga
Gereja itu sendiri menjulang tinggi, menciptakan pemandangan yang mengesankan di tengah kota. Dengan tujuh jendela besar yang menyoroti bagian muka bangunannya, gereja ini menjadi pusat spiritual bagi para anggota VOC dan masyarakatnya. Lukisan karya J. Nieuhof pada tahun 1704 menjadi dokumentasi visual yang memukau, memperlihatkan keanggunan dan kebesaran Gereja Salib serta keramaian orang-orang yang mengelilinginya setelah beribadah pada hari Minggu.
Advertisement
Tanah lapang di sekitarnya dipenuhi oleh orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat, termasuk budak, pembesar, dan pegawai Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC). Hari Minggu menjadi momen dimana perbedaan sosial tampak redup, dan semua orang, termasuk orang-orang mardjikers, bersatu dalam ibadah dan kebersamaan.
1. Sebelum Ada Gereja Utama, Umat Protestan Batavia Beribadah di Gudang VOC
Awalnya, umat Protestan di Batavia melaksanakan ibadah di salah satu gudang VOC pada tahun 1625. Namun, pada era 1640-an, Gubernur Jenderal VOC, Van Diemens, menginisiasi pembangunan Kruiskerk sebagai gereja utama di Batavia. Nama "Kruiskerk" sendiri merujuk pada denah dasar bangunan gereja yang membentuk salib dengan keempat "tangannya" memiliki panjang yang sama, demikian ungkap Adolf Heuken dalam Sejarah Jakarta dari Masa Prasejarah sampai Akhir Abad ke-20. Gereja ini menjadi markah tanah penting, mencerminkan perkembangan kehadiran Protestan di kawasan tersebut.
Kruiskerk tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga menjadi tempat untuk mempertontonkan kekayaan. Suasana gereja selalu ramai, terutama pada hari Minggu, ketika para pegawai dan pembesar VOC beserta keluarga dan budak-budaknya berkumpul. Kehadiran mereka tidak hanya sekadar untuk melaksanakan ibadah, melainkan juga untuk menunjukkan kemewahan dan status sosial mereka. Gereja ini menjadi tempat di mana lapisan masyarakat yang berbeda-beda bersatu dalam penghormatan terhadap kepercayaan mereka, menciptakan gambaran keberagaman dan kehidupan sehari-hari di Batavia pada masa itu.
Seiring berjalannya waktu, Kruiskerk menjadi simbol keagungan dan pluralitas di tengah-tengah kota. Dengan struktur bangunan yang mencolok dan sejarahnya yang kaya, gereja ini tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga menjadi bagian integral dari kehidupan sosial dan budaya masyarakat Batavia pada masa itu.
Advertisement
2. Penampilan Mewah saat Beribadah yang Menuai Kritik
Pada paruh kedua abad ke-18, suasana ibadah di Gereja Salib Batavia mencapai tingkat kemewahan yang luar biasa, sebagaimana diungkapkan oleh Adolf Heuken dalam Gereja-Gereja Tua di Jakarta. Ibadah hari Minggu dianggap sebagai pertunjukan teater, di mana rombongan para pembesar dan pegawai VOC memerankan peran penting. Mereka tampil dengan pakaian yang mewah dan bermaterial eksklusif seperti sutra, beludru, satin, linen, kain songket, lurik, cindai, dan tegarun. Para istri pembesar VOC mengenakan kalung mutiara melingkar di leher mereka, sementara budak-budak membawa payung besar untuk tuan-tuan mereka.
Ironisnya, penampilan kemewahan ini kontras dengan ucapan para pembesar VOC tentang kesederhanaan. Adolf Heuken, mengutip catatan Nicolaus de Graaff, seorang dokter kapal dagang, mencatat bahwa rombongan tersebut, yang seharusnya menegakkan norma kesederhanaan, justru memperlihatkan kesombongan dan kemewahan yang luar biasa. De Graaff mencatat bahwa anak istri para pembesar bahkan terlibat dalam persaingan kesombongan yang gila, menyiratkan sebuah ironi yang mencolok dalam kehidupan sehari-hari di Batavia pada masa itu.
Pemandangan ini menciptakan gambaran yang menarik tentang kontras antara tampilan luar dan nilai-nilai yang dinyatakan. Ibadah hari Minggu, yang seharusnya menjadi waktu refleksi rohaniah, berubah menjadi panggung bagi pertunjukan kemewahan dan ketidaksesuaian dengan prinsip-prinsip kesederhanaan yang seharusnya dijunjung oleh para pemimpin VOC.
3. Hierarki dalam Posisi Duduk Saat Beribadah
Penampilan mewah rombongan para pembesar dan pegawai VOC di Gereja Salib Batavia tidak luput dari perhatian Dewan Gereja, lembaga penanggung jawab umat Protestan di Batavia. Adolf Heuken menjelaskan bahwa Dewan Gereja pernah memberikan teguran agar mereka tidak mempertontonkan kemewahan saat menghadiri ibadat. Sayangnya, rombongan ini kerap mengabaikan anjuran tersebut, mengekspresikan ketidakpatuhan terhadap nasihat rohaniah.
Dalam upaya untuk mengontrol suasana ibadah, VOC mengatur seremonial dengan cermat. Mereka menempatkan tentara di depan pintu gerbang gereja, membatasi akses hanya untuk mereka yang berpakaian pantas. Selain itu, posisi duduk peserta ibadat ditentukan berdasarkan pangkat dan posisi sosial mereka. Hal ini menciptakan suasana yang terkadang membuat jemaat lain merasa tidak nyaman dan muak dengan pemandangan serta aturan yang diterapkan. Mereka merasa bahwa pembesar dan pegawai VOC tidak sepenuhnya menghormati gereja dan tidak menjalankan ajaran agama mereka dengan penuh keseriusan.
Konflik antara rombongan VOC dan jemaat lainnya menjadi semakin mencolok, menciptakan divisi dalam umat Protestan di Batavia pada masa itu. Sementara VOC mencoba mengontrol tata ibadah dengan kedisiplinan militer, jemaat lainnya menyuarakan ketidaksetujuan mereka terhadap perilaku dan norma-norma yang diimpor oleh penguasa dagang tersebut.
Advertisement
4. Kendala Bahasa Untuk Khotbah
Khotbah para pendeta di Gereja Salib Batavia menjadi sarana yang digunakan untuk menyampaikan anjuran hidup sederhana, yang secara tegas menyentuh hati para pembesar dan pegawai VOC. Meskipun awalnya khotbah-khotbah ini hanya disampaikan dalam bahasa Belanda, seiring berjalannya waktu, para pendeta juga mulai menyampaikannya dalam bahasa Portugis. Keputusan ini diusulkan oleh para pendeta kepada VOC sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan umat Protestan di Batavia. Selama hampir dua dekade, jumlah umat Protestan di kota tersebut stagnan, sehingga diperlukan langkah-langkah inovatif untuk merangsang pertumbuhan komunitas tersebut.
Kendati upaya penyebaran ajaran Protestan terus dilakukan, penyebab utama terhambatnya pertumbuhan umat Protestan di Batavia adalah kurangnya dukungan dari VOC. Peraturan-peraturan ketat mereka mengenai tata ibadah, termasuk pemilihan bahasa penyampai khotbah, menjadi salah satu faktor yang memengaruhi pertumbuhan tersebut.
Bahasa Belanda yang menjadi bahasa utama gereja di dalam tembok kota Batavia menjadi kendala serius, karena sebagian besar penduduk tidak memahaminya. Seringnya waktu, VOC enggan memberikan dukungan penuh terhadap penyebaran ajaran Protestan, dan ini menciptakan kendala signifikan bagi mereka yang potensial untuk masuk ke dalam kepercayaan tersebut.
Dengan kendala bahasa sebagai hambatan utama, sebagian besar penduduk di dalam tembok kota Batavia enggan masuk ke dalam umat Protestan. Upaya untuk mendukung pertumbuhan umat Protestan membutuhkan langkah-langkah yang lebih inklusif dan mendukung dari pihak VOC, termasuk penggunaan bahasa yang lebih akrab dan dapat dimengerti oleh mayoritas masyarakat Batavia.
5. Perubahan Kebijakan oleh VOC
Perubahan kebijakan terkait penyebaran agama Protestan di dalam tembok kota Batavia terjadi ketika VOC menyadari urgensi untuk menjauhkan pengaruh Katolik. Konflik antara VOC dan orang-orang Katolik lebih bersifat politis dan ekonomis daripada perbedaan inti ajaran agama. Penganut Katolik yang mayoritas berasal dari orang Portugis atau bekas budak Portugis menjadi sumber ketidaksetujuan VOC karena bangsa ini merupakan lawan dagang dan politik yang signifikan. Menghadapi konflik ini, VOC memutuskan untuk mendukung pertumbuhan umat Protestan sebagai alternatif yang lebih mendukung kepentingan mereka.
Dalam perkembangannya, jumlah umat Protestan di Batavia mulai meningkat seiring dengan pergeseran kebijakan VOC. Para bekas budak orang Portugis yang memilih beralih ke agama Protestan, kemudian dimerdekakan dan dikenal sebagai mardjikers. Langkah ini bertujuan untuk membangun dukungan dalam masyarakat serta melemahkan basis pengaruh Katolik di kota tersebut. Untuk mendukung kebutuhan ibadah mardjikers, VOC setuju agar pendeta gereja memberikan khotbah dalam bahasa Portugis, menunjukkan upaya VOC dalam menciptakan keberagaman agama yang lebih inklusif.
Pengakuan VOC terhadap kebutuhan umat Protestan yang menggunakan bahasa Portugis menunjukkan adaptabilitas mereka dalam mengelola masalah agama di Batavia. Kebijakan ini tidak hanya memfasilitasi kegiatan ibadah, tetapi juga menjadi instrumen untuk meredakan ketegangan dan konflik yang mendasari perbedaan agama dan kepentingan politik di dalam tembok kota.
Advertisement
6. Pembagian 3 Bahasa Khotbah dalam Satu Hari
VOC menunjukkan fleksibilitasnya dalam menanggapi kebutuhan umat Protestan dengan mengizinkan pendeta gereja memberikan khotbah dalam bahasa Melayu. Konsep ini berasal dari Meester Cornelis Senen, seorang tokoh kaya asal Pulau Lontar di Nusa Tenggara Timur, yang diasingkan ke Batavia pada tahun 1621. Senen, seorang penganut Protestan yang taat, mempraktikkan agamanya dengan semangat dan berkeinginan kuat untuk menyebarkan ajaran Protestan kepada masyarakat setempat yang berbahasa Melayu.
Kemampuan Senen dalam berbicara dalam bahasa Melayu dan pengetahuannya yang mendalam tentang ajaran Protestan membuatnya mendapat pujian dari para pendeta Belanda. Sebagai kepala Kampung Banda, Senen menjalin hubungan baik dengan banyak orang dari Kepulauan Timur Hindia. Keterlibatannya memikat banyak orang untuk memeluk agama Protestan. Oleh karena itu, Senen mengusulkan agar gereja menyampaikan khotbah dalam bahasa Melayu, memfasilitasi pemahaman dan penerimaan ajaran agama yang lebih baik di kalangan masyarakat setempat.
Pada abad ke-18, upaya untuk memenuhi kebutuhan beragam umat Protestan semakin terlihat dengan pembagian waktu ibadat berdasarkan bahasa khotbahnya. Pagi disediakan untuk khotbah dalam bahasa Belanda, siang untuk bahasa Portugis dan Prancis, sementara sore hari diperuntukkan bagi khotbah dalam bahasa Melayu. Langkah ini mencerminkan upaya VOC untuk menciptakan inklusivitas dan mendukung pertumbuhan umat Protestan di Batavia, sekaligus mempertahankan kebijakan multikulturalisme dalam urusan agama.
7. Larangan Kelas Pamer Kekayaan Berdampak pada Jumlah Jemaat
Wilayah Depok tumbuh sebagai pusat kegiatan Protestan yang unik, berkat prakarsa seorang tuan tanah kaya dan taat bernama Cornelis Chastelein. Sebelumnya, Chastelein adalah mantan pegawai VOC yang merasa sangat kecewa dengan perilaku orang-orang VOC dalam berdagang dan beragama. Sebagai bentuk kritik terhadap situasi yang dianggapnya tidak ideal, Chastelein memutuskan untuk menciptakan komunitas Protestan di Depok, sebuah kawasan yang terletak sekitar 32 kilometer dari tembok kota Batavia. Penganut Protestan di Depok mayoritas berasal dari budak-budak Chastelein yang telah dimerdekakan.
Meskipun Depok menjadi pusat kegiatan Protestan, pada masa itu belum memiliki gereja sendiri. Oleh karena itu, umat Protestan Depok masih harus melakukan perjalanan ke Batavia untuk beribadat pada hari Minggu. Semangat mereka untuk mempertahankan keyakinan berkontras dengan keadaan gereja pada masa itu, di mana jemaat mengalami penurunan drastis dibandingkan dengan masa sebelumnya.
Penyebabnya adalah larangan keras yang diberlakukan oleh Dewan Gereja terhadap pameran kekayaan selama ibadat, seperti membawa payung, berpakaian berlebihan, dan mengenakan perhiasan, menggambarkan perubahan nilai-nilai keagamaan dan praktik ibadah di tengah masyarakat Protestan.
Munculnya Depok sebagai pusat Protestan memberikan gambaran tentang upaya individu seperti Chastelein dalam menciptakan suatu komunitas yang sesuai dengan visinya. Meskipun harus mengatasi keterbatasan, seperti belum adanya gereja sendiri, semangat umat Protestan di Depok mencerminkan keteguhan dalam menjalankan keyakinan agama mereka pada masa yang penuh tantangan.
Advertisement
Berapa gereja Protestan?
Disebutkan dalam portal 'Satu Data Kementerian Agama', pada tahun 2021, jumlah Gereja Kristen di Indonesia 72.233 atau meningkat 23,46% dari tahun 2019 yang berjumlah 55.287. Jumlah Gereja Protestan pada tahun 2021 berjumlah 13.749 atau meningkat 14,66% dibanding tahun 2019 yang berjumlah 11.734.
Apa yang dimaksud dengan sejarah Gereja Indonesia?
Sejarah Gereja Indonesia dapat didefinisikan sebagai kisah tentang aktivitas misionaris (misi) dan respon orang-orang di Nusantara terhadap panggilan Yesus Kristus melalui pemberitaan Injil oleh para misionaris.
Advertisement
Apa nama gereja pertama di Indonesia?
Gereja yang pertama ada di Indonesia adalah gereja Ortodoks, hal ini ditandai dengan corak gereja Nestorian di daerah Barus, Mandailing, Sumatera Utara.
Dimana gereja pertama di Indonesia?
Gereja pertama di Indonesia diberi nama Gereja Sion. Gereja ini dikenal juga dengan nama Portugeesche Buitenkerk atau Gereja Portugis berada di sudut Jalan Pangeran Jayakarta dan Mangga Dua Raya.
Advertisement
Siapa yang membawa agama Kristen di Indonesia?
Masuknya Agama Kristen ke Indonesia yang dibawa oleh bangsa Belanda yaitu dengan mengirimkan para Zending ke Indonesia. Bangsa Belanda juga mengirim para Zending ke seluruh tanah jajahannya.