Demokrasi di Indonesia Lebih Liberal dari Amerika

Simposium Nasional PPI Yaman kembali menghadirkan salah satu tokoh Nasional. Kali ini adalah Dr Saleh Pertaonan Daulay.

oleh Liputan6 diperbarui 28 Agu 2013, 17:47 WIB
Diterbitkan 28 Agu 2013, 17:47 WIB
130828cyaman.jpg
Citizen6, Yaman: Simposium Nasional Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Yaman kembali menghadirkan salah satu tokoh Nasional. Kali ini, narasumbernya adalah Dr Saleh Pertaonan Daulay, Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah sekaligus Dosen Fisip di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam seminar bertajuk "Menakar Akar Krisis Nilai-nilai Kebangsaan" yang digelar pada 20-21 Agustus 2013, Saleh mengatakan, sejak Indonesia merdeka, terhitung telah terjadi 4 kali perubahan dalam sistem demokrasi, mulai dari sistem demokrasi perlementer sampai pereformasian beberapa sistem demokrasi yang telah pernah diterapkan sebelumnya. Revolusi pun tak terhindarkan hingga menghasilkan 6 agenda penting berdasarkan pada asas demokrasi.

"Demokrasi yang ada di Indonesia sangat liberal, bahkan lebih liberal dari Amerika," ucapnya.

Lebih lanjut, Saleh menjelaskan, pada taraf selanjutnya sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia menjadi semakin liar dan sangat liberal. Sehingga oleh sebagian kelompok hanya dijadikan senjata untuk mendulang keuntungan dan melakukan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Bahkan cita-cita demokrasi yang dulunya untuk seluruh warga harus kandas ditangan-tangan para pemangku jabatan. Pil pahit pun kembali harus ditelan warga Indonesia melihat praktik korupsi di negerinya telah berjalan secara desentralisasi, tidak hanya di pusat yang menghabiskan anggaran negara, namun juga telah merambah di daerah-daerah dan terus menggerogoti anggaran daerah pula.

Selain praktik korupsi yang telah membumi di Indonesia dan semakin pudarnya nilai-nilai bangsa pada setiap individunya, Saleh tak lupa menyinggung krisis persatuan yang sedang melanda bangsa Indonesia. Menurutnya contoh yang paling konkrit dalam hal tersebut adalah penggunaan kata "kita". Dulu, kata tersebut mampu meneguhkan rasa kebangsaan, namun hari ini, kata "kita" telah banyak diganti dengan kata "mereka" ataupun "kami" yang merepresentasikan sekelompok orang saja dan tidak bersifat menyeluruh.

"Prof Fuad Hassan, mantan Menteri Pendidikan RI mengatakan, kata "kita" hanya ada di dalam bahasa Indonesia. Di dalam bahasa Inggris menggunakan kata "we", sedangkan di bahasa arab menggunakan kata "nahnu", namun arti keduanya tidak sama dengan kata "kita", " jelas Prof Fuad.

Fuad juga menjelaskan peran para mahasiswa dan pelajar pun menempati posisi yang sangat strategis dalam mengawal nilai-nilai bangsa serta menahan laju krisis nilai-nilai kebangsaan yang terjadi di Indonesia. Penguatan peran civil society juga menjadi agenda yang penting, terbukti masyarakat madani dan terpelajar tersebut mampu menjadi kekuatan penyeimbang (balancing power) terhadap pemerintah yang berkuasa. (Zen Fani/Mar)

Zen Fani adalah pewarta warga.

Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas, Ramadan atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media, kuliner dan lainnya ke citizen6@liputan6.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya