Liputan6.com, Jakarta - Status hukum cryptocurrency dan perannya dalam ekonomi nasional di India hingga saat ini masih belum jelas. Oleh karena itu, Mahkamah Agung India telah meminta kejelasan kepada pemerintah tentang apakah Bitcoin legal atau ilegal.
Langkah tersebut dilakukan saat Mahkamah Agung India mendengar kasus terkait penipuan GainBitcoin. Penipuan tersebut dilaporkan telah menipu 87.000 Bitcoin, atau sekitar Rp 37,9 miliar, seperti dilansir dari FX Empire, Sabtu (12/3/2022).
Penipuan itu melibatkan 'konspirasi kriminal', menipu lebih dari 8 ribu orang dalam skema Ponzi yang menjanjikan pengembalian lebih tinggi kepada investor Bitcoin. Menurut laporan media lokal, pengadilan telah secara lisan meminta pemerintah untuk menjelaskan skeptisisme yang berlaku atas masalah hukum kripto di India.
Advertisement
Baca Juga
Menteri Keuangan India, Nirmala Sitharaman sebelumnya telah memberikan kejelasan tentang perpajakan aset digital selama presentasi Anggaran Union 2022-2023. Dia telah mengenakan pajak 30 persen atas keuntungan yang diperoleh dari aktivitas terkait kripto.
Namun, masih timbul pertanyaan dan kebingungan mengenai apakah cryptocurrency adalah alat pembayaran yang sah di India. Terutama setelah wakil gubernur Reserve Bank of India, T Rabi Sankar, menyerukan larangan soal kripto.
Sankar saat itu memaparkan berbagai ancaman terhadap sistem perbankan dan moneter negara ketika kripto digunakan. Dia juga mencatat, kripto dapat merusak beberapa peraturan perbankan dan mengancam kedaulatan keuangan India.
Sementara itu, para menteri dan anggota serikat parlemen telah dengan jelas menyatakan Bitcoin atau kripto lainnya tidak akan pernah menjadi alat pembayaran yang sah di India.
Hingga saat ini, beberapa lembaga di India memberikan pandangan yang berbeda soal adopsi kripto di negara tersebut. Namun pemerintah masih belum memberikan kejelasan atau finalisasi mengenai status kripto di India yang membuat resah berbagai pihak.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Joe Biden Resmi Tanda Tangani Perintah Eksekutif Kripto
Sebelumnya, Presiden Joe Biden pada Rabu waktu setempat telah resmi menandatangani perintah eksekutif soal kripto. Perintah tersebut mengarahkan badan-badan di seluruh pemerintah federal untuk mengoordinasikan upaya untuk mengukur manfaat dan risiko yang ditimbulkan oleh kepemilikan cryptocurrency.
Aset digital, termasuk cryptocurrency, telah meledak dalam popularitas dalam beberapa tahun terakhir dan melampaui nilai USD 3 triliun atau sekitar Rp 42 kuadriliun pada November 2021, menurut lembar fakta Gedung Putih.
Sekitar 16 persen orang dewasa Amerika, atau sekitar 40 juta orang, telah berinvestasi, memperdagangkan, atau menggunakan kripto, kata pemerintah.
Gedung Putih menambahkan perintah tersebut akan menginstruksikan berbagai lembaga pemerintah, termasuk departemen Perdagangan dan Keuangan, untuk mengoordinasikan pendekatan federal mengatur aset digital.
"Kami membutuhkan kerangka kerja pemerintah yang komprehensif untuk mengatasi risiko dan peluang yang muncul yang ditimbulkan oleh aset digital," kata Direktur Dewan Ekonomi Nasional Biden, Brian Deese, dikutip dari CNBC, Kamis, 10 Maret 2022.
"Inovasi keuangan dan inovasi teknologi yang mendasari ledakan ini memiliki banyak potensi manfaat, tetapi risiko dan biaya semakin menjadi nyata,” tambahnya.
Deese menuturkan, gedung putih membutuhkan struktur pemerintahan abad ke-21 untuk benar-benar mengatasi hal ini.
Banyak regulator dan badan pengawas, termasuk SEC, Commodity Futures Trading Commission dan Financial Stability Oversight Council, telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mencoba mem-bootstrap kerangka hukum yang ada untuk memantau pasar baru untuk Bitcoin, Ethereum, dan ribuan token serta aset lainnya.
Namun, investor dan anggota parlemen sama-sama mengatakan tindakan setengah-setengah seperti itu tidak cukup untuk mengawasi munculnya apa yang menjadi salah satu pasar terbesar di dunia, dan memposisikan AS sebagai pemimpin di bidang ini.
Advertisement