Lingkungan Anti Bullying Perlu Diciptakan Termasuk untuk Difabel Intelektual

Lingkungan anti bullying perlu diciptakan demi iklim yang lebih ramah bagi difabel. Difabel intelektual yang kini berjumlah sekitar 5 juta orang perlu perhatian yang lebih serius.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 18 Feb 2020, 14:28 WIB
Diterbitkan 18 Feb 2020, 14:28 WIB
Dialog SOIna dan Angkie Yudistia
Foto: Doc. SOIna. Angkie Yudistia, Staf Khusus Presiden berpendapat, lingkungan anti bullying perlu diciptakan demi iklim yang lebih ramah bagi difabel. Dialog dilakukan bersama Pengurus Pusat Special Olympics Indonesia (SOIna) terkait hak difabel intelektual. Jakarta, Senin (17/2/2020).

Liputan6.com, Jakarta Lingkungan inklusif anti bullying perlu diciptakan demi iklim yang lebih ramah bagi difabel. Hal tersebut terungkap dalam dialog terkait hak difabel intelektual yang dilakukan bersama Pengurus Pusat Special Olympics Indonesia (SOIna).

“Lingkungan anti bullying perlu diciptakan agar iklim yang lebih ramah hadir. Ini merupakan salah satu syarat penting yang dibutuhkan,” ujar Angkie Yudistia, Staf Khusus Presiden, di Kantor Sekretaris Negara, Jakarta, Senin (17/2/2020).

Dialog juga berisi pemaparan permasalahan yang dialami difabel di Indonesia. Salah satunya, kesulitan mereka dalam berinteraksi dalam masyarakat. Hak difabel intelektual di bidang olahraga tak luput dari bahasan.

Menanggapi hal tersebut Ketua PP SOIna, Warsito Ellwein mengatakan, kondisi kaum difabel intelektual perlu perhatian yang lebih serius. Hingga kini jumlah difabel intelektual di Indonesia sekitar 5 juta orang.

“Di samping perhatian yang lebih besar, termasuk pemberian anggaran bagi pembangunan fasilitas olahraga di berbagai daerah,“ ujar Warsito yang memimpin SOIna sejak November 2019.

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

The Ringer

Untuk melihat contoh positif dari pemberdayaan difabel, pihak SOIna memutar adegan sebuah film di tengah dialog. Film tersebut berjudul The Ringer, bercerita tentang 6 atlet difabel yang mengikuti Special Olympic.

Film dibintangi langsung oleh atlet difabel, menunjukan bahwa industri film Amerika berhasil memberikan contoh baik. The Ringer sengaja ditayangkan untuk menjawab pertanyaan Angkie terkait seberapa jauh potensi difabel intelektual bisa dikembangkan.

Pihak SOIna menyebut, ada berbagai faktor yang menentukan, selain usaha dari para pegiat difabel, dukungan pemerintah dan sikap masyarakat ikut menentukan.

“Kalau kita ingat dahulu kaum kulit hitam hidup amat terpinggirkan di Amerika Serikat, setelah lewat perjuangan yang panjang akhirnya ada yang kemudian bisa menjadi presiden,” kata Warsito.

Warsito menambahkan, upaya pengembangan yang baik akan mengantar kaum difabel menjadi manusia mandiri. Hal seperti ini sampai ke tingkat tertentu telah dilakukan di Indonesia.

Namun, lanjutnya, yang dibutuhkan kini adalah konsistensi dan perhatian lebih luas semua pihak. “Sebuah organisasi seperti SOIna saja, tak akan mampu bekerja untuk 5 juta orang difabel intelektual,” pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya