Tuli Mendadak Kerap Terjadi pada Usia 40 - 60 Tahun, Penyebabnya Belum Pasti

Tuli mendadak adalah kondisi penurunan pendengaran sensorineural 30 dB atau lebih, paling sedikit tiga frekuensi berturut-turut pada pemeriksaan audiometri dan berlangsung dalam waktu kurang dari 3 hari.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 23 Nov 2020, 13:00 WIB
Diterbitkan 23 Nov 2020, 13:00 WIB
Ilustrasi tuli mendadak
ilustrasi tuli mendadak Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels

Liputan6.com, Jakarta Tuli mendadak adalah kondisi penurunan pendengaran sensorineural 30 dB atau lebih, paling sedikit tiga frekuensi berturut-turut pada pemeriksaan audiometri dan berlangsung dalam waktu kurang dari 3 hari.

Peneliti menyebut bahwa tuli mendadak biasanya dipicu karena ada kerusakan di koklea dan sifatnya permanen.  Maka dari itu, tuli mendadak dimasukkan ke dalam keadaan darurat neurotologi.

Menurut peneliti dari Universitas Andalas (Unand), Hedo Hidayat , Yan Edward, dan Noza Hilbertina, tuli mendadak kebanyakan terjadi pada orang di kisaran usia 40-60 tahun. Data ini didapat berdasarkan penelitian di THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang pada 2010 hingga 2013.

“Kisaran umur penderita antara 8–79 tahun. Penderita terbanyak pada penelitian ini berada pada kelompok usia 40–60 tahun yaitu sebanyak 57,69 persen,” tulis peneliti, dikutip Sabtu (21/11/2020).

Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Wu et al di Taiwan yang menemukan penderita terbanyak berada pada kelompok usia 40–60 tahun sebanyak 40,51 persen.

Simak Video Berikut Ini:


Penyebab Tuli Mendadak

Gangguan vaskular dan infeksi virus disebut sebagai penyebab tuli mendadak. Namun, studi yang telah ada tidak mendukung secara pasti bahwa virus ataupun vaskular adalah penyebab umum.

Pembuktian teori imunologi sebagai penyebab umum dari tuli mendadak juga masih lemah. Penyebab umum dari tuli mendadak masih belum dapat dipastikan dan membutuhkan penelitian lebih lanjut, sehingga penyebab puncak usia penderita tuli mendadak berada pada kelompok 40 sampai 60 tahun belum dapat diketahui.

Di sisi lain, faktor risiko berupa hipertensi dan diabetes melitus ditemukan sama banyak pada penderita yaitu sebesar 11,54 persen. Hasil penelitian ini berbeda dengan Lin et al yang menemukan penderita dengan hipertensi sebanyak 6,8 persen dan diabetes melitus sebanyak 6,7 persen.

“Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh tidak meratanya pembagian sampel pada penelitian ini dan adanya sampel yang masuk kriteria eksklusi sehingga memengaruhi persentase hasil penelitian.”

Tinitus (suara yang bukan berasal dari luar telinga) merupakan gejala klinis terbanyak yang ditemukan pada penderita sebesar 76,92 persen. Sedang, vertigo merupakan gejala klinis kedua terbanyak yang ditemukan sebesar 38,46 persen dan rasa penuh ditelinga sebesar 15,38 persen.

Penelitian yang dilakukan Ballesteros et al menemukan data yang hampir sama yakni 69,5 persen penderita mengalami tinitus, 33,1 persen pasien mengalami vertigo dan 30 persen mengalami rasa penuh di telinga.

Tinnitus adalah gejala yang paling sering menyertai tuli mendadak. Ada ahli yang berpendapat bahwa adanya tinitus menunjukkan prognosis (prediksi mengenai perkembangan suatu penyakit) yang lebih baik. Sedangkan adanya vertigo menandakan prognosis yang buruk, meskipun tidak semua peneliti setuju mengenai hal ini.


Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas

Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas
Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya