Liputan6.com, Jakarta Disabilitas intelektual terdiri dari 4 kategori yakni mild (ringan), moderate (medium), severe (berat), dan profound (mendalam/mayor).
Disabilitas intelektual sendiri menurut American Association of Intellectual Developmental Disabilities (AAIDD) adalah ketidakmampuan yang ditunjukkan dengan adanya keterbatasan pada fungsi intelektual dan perilaku adaptif yang membutuhkan kemampuan konseptual, sosial, serta praktis.
Baca Juga
Untuk mengetahui kategori disabilitas intelektual pada anak, Co-Founder Pijar Psikologi, Regis Machdy, menyarankan para orangtua untuk melakukan asesmen dengan ahli. Mengingat, proses asesmen dibutuhkan agar penanganan pada anak pun tepat.
Advertisement
“Butuh diasesmen, butuh diketahui, walaupun kalau kita enggak bisa asesmen karena kita enggak punya alatnya, setidaknya kita tahu keterbatasan anak apa dan perlu bantuannya apa,” ujar Regis dalam kuliah daring yang ditayangkan di YouTube pribadinya (Regis Machdy).
Regis menambahkan, proses asesmen biasanya fokus pada IQ terlebih dahulu. Perhitungan IQ dapat dihitung dengan rumus: IQ sama dengan mental age (usia mental) dibagi chronological age (usia biologis) dikali 100.
“Skor IQ sebaiknya tidak menjadi pertimbangan utama dalam menentukan disabilitas intelektual. Alat tes yang digunakan bernama Weschler Intelligence Scale for Children (WISC)."
Simak Video Berikut Ini
Asesmen Perilaku Adaptif
Setelah melakukan asesmen penghitungan IQ, ada pula asesmen perilaku adaptif, lanjut Regis. Asesmen ini dilakukan dengan wawancara, observasi, dan self report yang digunakan untuk menggali perilaku adaptif siswa.
“Kita bisa wawancara anaknya langsung kalau masih bisa bicara atau wawancara orangtua atau pakai alat tes namanya Vineland Social Maturity Scale (VSMS).”
VSMS digunakan untuk mengetahui kemampuan komunikasi, kemampuan menjalani hidup sehari-hari, sosialisasi, kemampuan motorik, dan perilaku maladaptif anak.
“Karena bagi anak yang profound biasanya kemampuan motoriknya juga terganggu, misal tangannya kaku atau kakinya enggak bisa jalan, itu perlu kita ketahui juga dengan observasi dan lain-lain.”
Selain data dari anaknya langsung dan orangtua, data dari guru dan pengasuh anak pun bisa digunakan, tutup Regis.
Advertisement