Pelaku Bullying yang Paksa Teman Setubuhi Kucing Perlu Diperiksa Kejiwaannya

Kondisi kesehatan jiwa yang terganggu dapat memengaruhi perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Tak hanya merugikan bagi diri sendiri, orang yang memiliki masalah kejiwaan juga bisa merugikan orang lain.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 25 Jul 2022, 18:00 WIB
Diterbitkan 25 Jul 2022, 18:00 WIB
Stop bullying
Ilustrasi penghentian 'bullying' atau risak. (Sumber fioregroup.org)

Liputan6.com, Jakarta Kondisi kesehatan jiwa yang terganggu dapat memengaruhi perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Tak hanya merugikan bagi diri sendiri, orang yang memiliki masalah kejiwaan juga bisa merugikan orang lain.

Misalnya, orang tersebut berani melakukan kekerasan, mem-bully, atau bahkan membunuh orang lain.

Pada kasus bullying atau perundungan yang tengah viral, anak-anak di Tasikmalaya merundung teman sebayanya dan memaksanya menyetubuhi kucing. Diduga depresi, korban pun tak mau makan, menutup diri, dan akhirnya meninggal dunia.

Menurut kriminolog Haniva Hasna, para pelaku sangat perlu diperiksa kesehatan jiwanya.

“Sangat perlu, untuk mengetahui sejauh mana perkembangan fisik, psikis, dan sosialnya,” kata kriminolog yang akrab disapa Iva kepada Disabilitas Liputan6.com melalui keterangan tertulis.

Pelaku perundungan biasanya melakukan aksinya sebagai pelampiasan dari ketakutan, kecemasan, dan gejolak emosi yang ada dalam dirinya. Gangguan kejiwaan yang terjadi disebut dengan istilah oppositional defiant disorder. Karakteristik dari gangguan ini adalah sering marah dan memiliki sifat kasar.

Jika memang terdapat gangguan kejiwaan, pelaku perundungan perlu mendapatkan terapi psikologis untuk mengubah perilakunya. Tujuannya adalah supaya ia bisa meluapkan apa yang ia rasakan dengan cara yang lebih tepat. Jika tidak, pelaku tak akan pernah berhenti melakukan hal yang sama terhadap pihak yang dianggap inferior (lebih rendah).

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Faktor Pembentuk Pribadi Pem-bully

Dampak Keluarga Broken Home pada Anak
Ilustrasi bullying/credit: pexels.com/Mikhail

Iva menambahkan, ada beberapa faktor yang membentuk seseorang menjadi pelaku perundungan. Faktor-faktor tersebut yakni ingin berkuasa, mendapat pola asuh dengan kekerasan, konsumsi media yang mengandung kekerasan.

Mereka juga cenderung pernah menjadi korban kekerasan, krisis identitas, pemenuhan eksistensi diri, harga diri rendah, tidak terpenuhi kebutuhan kasih sayang, perhatian, penerimaan dari orangtua, serta kemampuan adaptasi yang buruk.

Dalam kasus ini, korban sudah meninggal dunia. Namun, di banyak kasus lain banyak korban perundungan yang bertahan hidup dalam kondisi psikis yang kurang baik.

Maka dari itu, penanganan terhadap korban sangat penting dilakukan. Kalau korban tidak tertangani dengan baik, ada kemungkinan menjadi pelaku di kemudian hari. Karena dendam atau persepsi yang salah atas peristiwa negatif yang telah menimpa dirinya.

Anak yang menjadi korban kekerasan seksual harus segera mendapat pendampingan psikologis profesional. Waktu yang dibutuhkan tidak bisa ditentukan, tergantung dari tingkat trauma anak tersebut.

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Pendampingan Psikologis Korban

Bullying Penindasan dan Kekerasan
Ilustrasi Foto Bullying (iStockphoto)

Pendampingan psikologis bertujuan untuk mengembalikan anak melakukan rutinitas sebagaimana anak seusianya.

Penempatan pada lingkungan yang tepat diharapkan dapat memberikan dukungan positif dengan tidak menyalahkan maupun mengungkit peristiwa yang telah terjadi.

Secara fisik, korban kekerasan seksual biasanya mengalami gangguan pola tidur, gangguan pola makan,  imunitas menurun, ketidaknyamanan, nyeri pada bagian kelamin dan anus, dan kehilangan kebiasaan positif.

Dampak Psikologis yakni menghindar, takut bertemu dengan orang, menyendiri, sensitif, menyakiti dan menyalahkan diri sendiri, mudah tersinggung dan cepat marah.

Korban juga bisa sering mengalami mimpi buruk dan merasa cemas berlebihan konsentrasi belajar terganggu, rendah diri, lebih lanjut bisa mengalami disorientasi seksual, dan depresi akibat trauma hingga kematian.

Dampak sosialnya yakni prestasi menurun, tidak semangat sekolah, sering membolos, menjauhi teman-teman, terjerumus dalam kenakalan remaja seperti tawuran, minum-minuman keras, hingga narkoba, kata kriminolog lulusan Universitas Indonesia (UI) itu.

Sedangkan, terkait pemikiran para pelaku untuk memaksa teman setubuhi kucing, Iva punya jawaban lain.

 

Terpapar Pornografi

Ilustrasi Smartphone Android, Gadget. Kredit: Pexels via Pixabay
Ilustrasi Smartphone Android, Gadget. Kredit: Pexels via Pixabay

Menurutnya, ini bukan kasus pertama di Indonesia. Pada 2013 pernah ada kasus pria 17 tahun yang menyetubuhi 300 ekor ayam, 150 ekor bebek dan itik, serta domba dan kambing. Penyebabnya adalah akibat terpapar pornografi.

“Nah anak juga demikian, tidaklah mungkin seorang anak memiliki ide untuk melakukan hal yang diluar pengetahuannya. Setiap anak melakukan pengamatan, penyimpanan memori dan siap memanggil memori tersebut untuk diwujudkan dalam aksi,” Iva mengatakan.

Adiksi gawai sangat memungkinkan anak-anak terpapar dengan pornografi, lanjutnya, sementara orangtua sering abai dengan hal ini. Orangtua sering merasa bahwa anaknya masih terlalu kecil untuk memahami pornografi. Padahal serangan di media luar biasa. Pilihan pornografi di media juga beragam, dari hubungan normal hingga abnormal termasuk dengan binatang.

“Kondisi saat ini adalah kondisi yang sudah kami prediksi belasan tahun lalu. Bahwa kita akan menghadapi badai pengasuhan, akibat ketidakmampuan orang tua melaksanakan tugas sebagai orangtua, akibat media yang sangat ekstrem mengekspos pornografi dan kejahatan yang disusupkan ke dalam semua hal,  termasuk game, film kartun dan lain-lain.”

Perkembangan Bullying di Indonesia
Infografis Kasus Bullying (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya