Miliki Anak Stunting dan Speech Delay, Ahli Gizi Ini Paparkan Biang Keroknya

Ahli gizi sekaligus pendiri Yayasan Mother Hope Indonesia (MHI) Nur Yanayirah bercerita bahwa dirinya memiliki anak yang stunting dan speech delay.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 31 Mar 2023, 14:09 WIB
Diterbitkan 31 Mar 2023, 14:07 WIB
Miliki Anak Stunting dan Speech Delay, Ahli Gizi Ini Paparkan Biang Keroknya
Miliki Anak Stunting dan Speech Delay, Ahli Gizi Ini Paparkan Biang Keroknya (pixabay.com)

Liputan6.com, Jakarta Ahli gizi sekaligus pendiri Yayasan Mother Hope Indonesia (MHI) Nur Yanayirah bercerita bahwa dirinya memiliki anak yang stunting dan speech delay.

Bukan tanpa alasan, hal ini terjadi lantaran dirinya mengalami depresi pasca-melahirkan.

“Anak kedua saya stunting dan speech delay karena sayanya depresi. Saya sebetulnya ahli gizi, tapi saya bingung kenapa seorang ahli gizi anaknya stunting. Ya karena saya mengalami depresi dan saya nggak tahu bagaimana cara mengurus anak saat depresi,” kata Yana yang hadir secara daring dalam temu dengar RUU Kesehatan bersama Kementerian Kesehatan di Jakarta, Rabu 29 Maret 2023.

Dalam pembahasan RUU Kesehatan, perempuan terutama ibu hamil masuk dalam lingkup masyarakat rentan yang perlu mendapatkan akses pada layanan primer. Menurut Yana, masalah kesehatan mental bagi para ibu yang baru melahirkan nyata adanya.

Ia pun memberi masukan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang atau RUU Kesehatan. Yana berharap RUU Kesehatan memberi perhatian pada ibu yang mengalami masalah kejiwaan seperti depresi pasca melahirkan atau postpartum depression, baby blues, dan psikosis post partum.

Yana sendiri adalah penyintas depresi pasca melahirkan yang ia alami pada 2011. Pada kehamilan pertama, buah hatinya meninggal di dalam kandungan.

“Saya mendirikan MHI juga berawal dari pengalaman saya setelah mengalami depresi pasca-melahirkan di mana masalah saya adalah komplikasi dari masalah obstetri dan masalah kejiwaan. Di mana pada masa kehamilan bayi saya meninggal dunia. Saya juga mengalami masalah perdarahan dan anemia,” kata Yana.

Stigma Negatif bagi Ibu yang Mengalami Masalah Mental Usai Melahirkan

depresi pasca melahirkan
Pendiri Mother Hope Indonesia (MHI) Nur Yanayirah memberi masukan soal depresi pasca melahirkan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang atau RUU Kesehatan, Jakarta (29/3/2023). Foto: Liputan6.com/Ade Nasihudin.

Ketika mengalami depresi, Yana tidak mengetahui bahwa masalah seperti baby blues dan gangguan kesehatan mental lain pada ibu baru melahirkan itu ada. Tidak hanya Yana, banyak ibu lain yang juga tidak mengetahui bahwa masalah ini ada.

Kondisi depresi dipersulit dengan ketidaktahuan tentang cara mencari bantuan. Saat mengalami gangguan jiwa, ibu kerap dianggap sebagai ibu yang buruk, ibu yang jahat, dan ibu yang tidak mampu mengurus bayinya.

Depresi pasca melahirkan pada ibu sangat berpengaruh pada pemberian air susu ibu (ASI) dan makanan pendamping ASI (MPASI). Hal ini pun dialami langsung oleh Yana ketika memiliki anak kedua.

Berpengaruh Besar pada Anak

Saat hamil anak kedua, Yana cenderung lebih cemas dan panik dengan berbagai hal. Depresi pasca-melahirkan masih menjadi tantangan yang ia hadapi saat itu.

Akibatnya, saat hamil anak kedua pun nutrisinya tidak terpenuhi secara optimal sehingga anak yang dilahirkan pun stunting dan speech delay atau keterlambatan bicara.

Depresi ini bahkan membuatnya sempat melakukan upaya bunuh diri. Yana tak ingin ibu-ibu lain mengalami hal yang sama sehingga berharap RUU Kesehatan memberi perhatian soal depresi pasca melahirkan.

“Depresi berkaitan dengan kondisi anak, jadi kalau anak mengalami stunting, mohon ibunya juga diperiksa,” ujar Yana.

Masalah yang Disoroti RUU Kesehatan dan Solusi yang Ditawarkan

Sebelumnya, dalam kesempatan yang sama, Direktur Kesehatan Usia Produktif dan Lanjut Usia Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) drg. Kartini Rustandi, M.Kes menyampaikan soal Rancangan Undang-Undang atau RUU Kesehatan. Khususnya yang mengatur layanan primer bagi kelompok rentan.

Menurutnya, RUU Kesehatan akan menciptakan layanan kesehatan yang berfokus pada upaya untuk mencegah orang sehat menjadi sakit.

Permasalahan yang terjadi saat ini dalam layanan kesehatan primer yakni:

  • Layanan kesehatan yang fokus ke upaya penyembuhan (kuratif) menghabiskan biaya lebih banyak.
  • Layanan kesehatan berfokus ke penyakit yang dialami.
  • Masyarakat masih sulit mendapatkan layanan kesehatan, termasuk layanan laboratorium.

Sementara, solusi yang ditawarkan RUU Kesehatan yakni:

  • Memperkuat upaya pencegahan penyakit (promotif dan preventif).
  • Memberikan layanan kesehatan yang berfokus ke pasien dengan menangani masalah kesehatan secara menyeluruh.
  • Menjangkau masyarakat melalui unit layanan kesehatan di desa atau kelurahan dan membangun sistem laboratorium kesehatan masyarakat berjenjang.
Infografis Ciri-ciri Ibu rumah tangga Punya Masalah Kesehatan Mental
Infografis Ciri-ciri Ibu rumah tangga Punya Masalah Kesehatan Mental.
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya