Depresi Usai Melahirkan dan RUU Kesehatan

Pendiri Mother Hope Indonesia (MHI) Nur Yanayirah memberi masukan soal pelayanan primer bagi kelompok rentan yakni ibu hamil dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang atau RUU Kesehatan.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 30 Mar 2023, 19:00 WIB
Diterbitkan 30 Mar 2023, 19:00 WIB
depresi pasca melahirkan
Pendiri Mother Hope Indonesia (MHI) Nur Yanayirah memberi masukan soal depresi pasca melahirkan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang atau RUU Kesehatan, Jakarta (29/3/2023). Foto: Liputan6.com/Ade Nasihudin.

Liputan6.com, Jakarta Pendiri Mother Hope Indonesia (MHI) Nur Yanayirah memberi masukan soal pelayanan primer bagi kelompok rentan yakni ibu hamil dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang atau RUU Kesehatan.

Ia mengharapkan RUU Kesehatan memberi perhatian pada ibu yang mengalami masalah kejiwaan usai melahirkan. Seperti depresi pasca melahirkan atau postpartum depression, baby blues, dan psikosis post partum.

Perempuan yang karib disapa Yana ini adalah penyintas depresi pasca melahirkan yang ia alami pada 2011.

“Saya mendirikan MHI juga berawal dari pengalaman saya setelah mengalami depresi pasca melahirkan di mana masalah saya adalah komplikasi dari masalah obstetri dan masalah kejiwaan."

"Di mana pada masa kehamilan, bayi saya meninggal dunia. Saya juga mengalami masalah perdarahan dan anemia,” kata Yana yang hadir secara daring dalam temu dengar RUU Kesehatan bersama Kementerian Kesehatan di Jakarta, Rabu 29 Maret 2023.

Ketika mengalami depresi, Yana tidak mengetahui bahwa masalah kejiwaan pasca-melahirkan seperti baby blues dan lain-lain itu ada. Tidak hanya Yana, banyak ibu lain yang juga tidak mengetahui bahwa masalah ini ada.

Kondisi depresi dipersulit dengan ketidaktahuan tentang cara mencari bantuan. Saat mengalami gangguan jiwa, ibu kerap dianggap sebagai ibu yang buruk, ibu yang jahat, dan ibu yang tidak mampu mengurus bayinya.

Baby blues dan masalah kejiwaan lain pada ibu sangat berpengaruh pada pemberian air susu ibu (ASI) dan makanan pendamping ASI (MPASI). Masalah serupa pun dialami langsung oleh Yana ketika memiliki anak kedua.

Depresi Bikin Anak Kedua Stunting dan Speech Delay

Saat hamil anak kedua, Yana cenderung lebih cemas dan panik dengan berbagai hal. Depresi pasca-melahirkan masih menjadi tantangan yang ia hadapi saat itu.

Akibatnya, saat hamil anak kedua pun nutrisinya tidak terpenuhi secara optimal sehingga anak yang dilahirkan pun stunting dan speech delay atau keterlambatan bicara.

“Anak kedua saya stunting dan speech delay karena saya-nya depresi. Saya sebetulnya ahli gizi, tapi saya bingung kenapa seorang ahli gizi anaknya stunting. Ya karena saya mengalami depresi dan saya nggak tahu bagaimana cara mengurus anak saat depresi.”

Depresi ini bahkan membuatnya sempat melakukan upaya bunuh diri. Yana tak ingin ibu-ibu lain mengalami hal yang sama sehingga berharap RUU Kesehatan memberi perhatian soal depresi pasca melahirkan.

“Depresi berkaitan dengan kondisi anak, jadi kalau anak mengalami stunting, mohon ibunya juga diperiksa,” ujar Yana.

Fokus pada Upaya Cegah Orang Menjadi Sakit

RUU Kesehatan
Direktur Kesehatan Usia Produktif dan Lanjut Usia Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) drg. Kartini Rustandi, M.Kes (tengah) menyampaikan soal Rancangan Undang-Undang atau RUU Kesehatan yang mengatur layanan primer bagi kelompok rentan. Foto: Liputan6.com/Ade Nasihudin.

Sebelumnya, dalam kesempatan yang sama, Direktur Kesehatan Usia Produktif dan Lanjut Usia Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) drg. Kartini Rustandi, M.Kes menyampaikan soal Rancangan Undang-Undang atau RUU Kesehatan. Khususnya yang mengatur layanan primer bagi kelompok rentan.

Menurutnya, RUU Kesehatan akan menciptakan layanan kesehatan yang berfokus pada upaya untuk mencegah orang sehat menjadi sakit.

Permasalahan yang terjadi saat ini dalam layanan kesehatan primer yakni:

  • Layanan kesehatan yang fokus ke upaya penyembuhan (kuratif) menghabiskan biaya lebih banyak.
  • Layanan kesehatan berfokus ke penyakit yang dialami.
  • Masyarakat masih sulit mendapatkan layanan kesehatan, termasuk layanan laboratorium.

Sementara, solusi yang ditawarkan RUU Kesehatan yakni:

  • Memperkuat upaya pencegahan penyakit (promotif dan preventif).
  • Memberikan layanan kesehatan yang berfokus ke pasien dengan menangani masalah kesehatan secara menyeluruh.
  • Menjangkau masyarakat melalui unit layanan kesehatan di desa atau kelurahan dan membangun sistem laboratorium kesehatan masyarakat berjenjang.

Lingkup Masyarakat Rentan dalam RUU Kesehatan

Kartini juga menyampaikan bahwa penyelenggaraan upaya transformasi layanan primer menyasar pada seluruh masyarakat termasuk masyarakat rentan.

Lingkup masyarakat rentan yang dibahas dalam RUU Kesehatan yakni:

  • Perempuan termasuk perempuan hamil dan menyusui
  • Bayi dan balita
  • Remaja
  • Lanjut usia
  • Disabilitas
  • Gangguan jiwa
  • Tersisihkan sosial karena kepercayaan/agama, etnis/suku, gender/seksualitas
  • Penyakit kronis yang terstigma
  • Tinggal di wilayah terdepan, terpencil, tertinggal (3T) termasuk masyarakat adat.

Saat ini, RUU Kesehatan tengah menghimpun masukan dari berbagai pihak termasuk dari MHI. Masukan-masukkan tersebut akan dipertimbangkan dan dikaji ulang.  

 

Infografis Ketok Palu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Masuk Prolegnas 2021. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Ketok Palu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Masuk Prolegnas 2021. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya