Liputan6.com, Jakarta Nyeri tulang belakang dapat berujung pada kelumpuhan atau disabilitas fisik bahkan mental. Menurut dokter spesialis ortopedi konsultan tulang belakang RS EMC Pulomas, Nicko Perdana Hardiansyah, kasus berat penyakit tulang belakang sebetulnya tidak banyak.
“Sebenarnya penyakit tulang belakang itu kasusnya yang berat tidak banyak, mungkin hanya sekitar 1 sampai 5 persen. Namun, ketika derajatnya cukup berat, kelumpuhan itu selalu menjadi risiko yang paling ditakutkan pasien,” kata Nicko dalam Liputan6 Update Spesial Healthy Monday di SCTV Tower, Jakarta, Rabu (6/11/2024).
Baca Juga
Secara umum, lanjutnya, kelumpuhan dibagi menjadi dua. Yakni disebabkan oleh penyakitnya sendiri atau potensi tindakan yang dilakukan di tempat atau titik saraf berbahaya.
Advertisement
“Jika itu terjadi memang pasien akan menjadi penyandang disabilitas dan perlu alat bantu. Namun, sekarang angkanya jauh lebih kecil dibandingkan zaman dahulu karena alatnya makin canggih dan modern,” papar Nicko usai Talkshow Hybrid Spine Center EMC Healthcare bertajuk Nyeri Tulang Belakang? No Worries, Ini Solusinya!.
Salah satu teknologi yang mengurangi potensi terjadinya disabilitas fisik usai tindakan operasi adalah eagle eye dengan teknologi augmented reality.
Teknologi ini membantu proses pemasangan pen atau implan di tulang belakang agar lebih presisi. Dengan bantuan alat seperti kacamata virtual reality, dokter dapat menentukan titik yang tepat untuk pemasangan pen dan menghindari titik saraf berbahaya yang bisa memicu kelumpuhan.
“Jadi, risiko menjadi sangat minimal, bukan berarti nol persen, tapi jadi sangat minimal,” ucap Nicko.
Apa Nyeri Tulang Belakang Berkaitan dengan Disabilitas Mental?
Selain disabilitas fisik, Nicko juga menerangkan bahwa nyeri atau penyakit tulang belakang bisa pula berkaitan dengan disabilitas mental.
“Disabilitas mental sebetulnya tidak berkaitan secara langsung, tapi pada penelitiannya ketika seseorang sakit tulang belakang tiga bulan berturut-turut tidak ada penanganan maka dia ada potensi depresi,” ucap Nicko kepada Disabilitas Liputan6.com.
Depresi dapat muncul lantaran pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari. Produktivitas pun menurun karena pasien tidak dapat bekerja. Bisa pula ada penurunan rasa percaya diri.
“Jadi sebaiknya konsultasi buat pastikan, karena 80-90 persen sebetulnya kondisinya enggak bahaya kok asal ketahuan.”
Advertisement
Tentang Mitos Skoliosis
Dalam kesempatan yang sama, Nicko juga membahas soal mintos skoliosis. Seperti duduk terlalu lama dan kebiasaan menyilangkan kaki yang disebut-sebut bisa jadi salah satu penyebab skoliosis. Menurut Nicko, anggapan ini tidak tepat.
“Jadi skoliosis itu yang paling sering bikin datang ke tempat praktik itu sebenarnya yang jenisnya idiopatik skoliosis. Yang dikatakan idiopatik artinya penyebabnya sampai sekarang kita enggak pernah tahu,” terangnya.
“Bukan akibat duduk lama, segala macam, yang paling sering adalah yang idiopatik tadi. Namun, memang kalau ada tendensi untuk dia skoliosis, punggungnya bengkok, maka posisi duduk salah dalam jangka panjang itu bisa jadi faktor risiko, membuat sudutnya tambah berat, tapi bukan yang menyebabkan,” tambahnya.
Kebiasaan Menyilangkan Kaki Saat Duduk Tak Berkaitan dengan Skoliosis
Kebiasaan lain yang juga disebut-sebut kurang baik untuk kesehatan tulang adalah menyilangkan kaki saat duduk. Apa kebiasaan ini dapat berpengaruh pada skoliosis?
“Enggak ada efek langsungnya,” ucapnya.
Ada pula anggapan di masyarakat bahwa penanganan skoliosis dinilai susah dan memerlukan biaya fantastis. Apa benar demikian?
Terkait penanganan skoliosis, Nicko menyampaikan kabar baik bahwa kondisi ini tidak sulit untuk ditangani jika pasien datang ke dokter di waktu yang tepat.
“Enggak (sulit), jadi penanganan skoliosis itu 60 sampai 70 persen kalau datang di usia yang pas terutama yang idiopatik itu penanganannya tergantung sudut sebenarnya. Sudut antara 20 sampai 40 derajat itu pakai korset that’s it, enggak perlu operasi,” jelas Nicko.
Dokter akan memfasilitasi badan pasien yang tadinya bengkok untuk seakan-akan lurus kembali dengan bantuan korset karena tulangnya tumbuh.
“Kalau kita enggak kasih korset, tumbuhnya semakin bengkok,” pungkasnya.
Advertisement